
Opini
Manula, Tetap Berdaya
Pada masa pandemi Covid-19 saat ini, kondisi mental manula boleh jadi berubah.
SETO MULYADI, Ketua Umum LPAI, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Beberapa tahun silam, saat bertandang ke beberapa wilayah di Jepang, saya tercengang oleh satu kenyataan, yakni kehidupan petugas kebersihan di sana.
Kontras dengan gambaran petugas kebersihan yang umumnya diidentikkan dengan usia muda, di salah satu kota di negeri matahari terbit tersebut, justru saya jumpai tukang sapu ruang publik yang sudah tua.
Dibantu penerjemah, dialog pun terbangun. Ternyata usia harapan hidup di sana sangat tinggi.
Saat yang sama, kebiasaan orang Jepang (setidaknya tukang sapu yang saya ajak bicara) untuk bekerja keras dan prinsip hidup tak menggantungkan diri pada anak-anak, justru mendatangkan kegelisahan seiring merambatnya usia.
Kegelisahan itu yang coba diatasi dengan menyibukkan diri, termasuk bekerja sebagai petugas kebersihan. Menjadi tenaga kebersihan memang mulia, meski kadang berada di dekat lalu-lalangnya kendaraan yang terhitung cukup berbahaya, terlebih bagi lansia.
Kebahagiaan dan usia memang memiliki saling keterhubungan beragam.
Namun dari obrolan dengan sang tukang sapu tersebut, mengemuka kompleksitas sekaligus ironi kehidupan manula.
Saat negara menaruh perhatian tinggi pada peningkatan kualitas kesehatan masyarakatnya dan menjadi kenyataan dengan meningkatnya usia harapan hidup, ternyata tak serta-merta selalu diiringi meningkatnya kebahagiaan.
Tentu, diperlukan kajian lebih mendalam atas asumsi tersebut. Betapa pun secara kualitatif di tataran empiris, saya menemukan fakta demikian di Jepang sana.
Kebahagiaan dan usia memang memiliki saling keterhubungan beragam. Tergantung lokasi dan waktunya. Studi Dilip Jeste, misalnya, menemukan, kadar stres dan kecemasan manula lebih rendah daripada di kalangan muda usia.
Mengacu survei di Inggris oleh Office for National Statistics pada 2015/2016, orang-orang antara 65 dan 79 tahun adalah kelompok usia yang hatinya paling berbunga-bunga. Baru setelah melewati usia 80 tahun, tanda-tanda berkurangnya kebahagiaan muncul kembali.
Oleh ilmuwan, penurunan kebahagiaan itu diperkirakan terkait kondisi masing-masing individu. Yaitu, kesehatan yang menurun, hidup sendirian, dan perasaan kesepian. Banyak pula riset lain yang kesimpulannya berbeda tentang dinamika hidup kaum lansia.
Pada masa pandemi Covid-19 saat ini, kondisi mental manula boleh jadi berubah. Ada kekhawatiran, wabah virus korona mendatangkan dampak buruk yang lebih besar terhadap kelompok usia tersebut.
Dengan pemberian vaksin sedini mungkin, diharapkan faktor-faktor risiko yang ada pada manula dapat dikendalikan.
Komplikasi penyakit lebih berat, tingkat kematian lebih tinggi, kendala untuk menjalani kegiatan rutin, hambatan ke akses kesehatan, kesulitan beradaptasi dengan teknologi komunikasi, serta hidup terisolasi, semuanya menambah beban mental warga lansia.
Penelitian lain justru sebaliknya: manula memiliki daya lenting (resiliensi) yang lebih kokoh terhadap kecemasan, depresi, dan beragam sumber stres yang dapat mengganggu kesehatan mental.
Sampai di situ, membawa butir-butir di atas ke Tanah Air, tersedia justifikasi bagi manula sebagai kelompok usia yang diprioritaskan untuk memperoleh vaksin Covid-19.
Dengan pemberian vaksin sedini mungkin, diharapkan faktor-faktor risiko yang ada pada manula dapat dikendalikan. Setidaknya, imunitas terhadap virus korona tidak akan menambah, maaf, beban perawatan kesehatan masyarakat yang sebetulnya sudah sedemikian berat harus ditanggung pemerintah.
Namun, sebagaimana tertulis di alinea-alinea awal, “so what” pascavaksinasi bagi manula tetap belum tersedia gambarannya. Konkretnya, apa gerangan bentuk aktivasi kehidupan para manula di Tanah Air setelah mereka divaksin, sepatutnya juga masuk dalam rencana pembangunan nasional.
Memang, tampaknya tidak mudah menemukan jawabannya. Namun secara mendasar, jawaban itu akan dapat diperoleh hanya apabila seluruh pihak sudi merevisi persepsi mereka tentang kelompok warga lansia.
Usia lanjut tidak boleh diasosiasikan secara pukul rata dengan gloom and doom — kesuraman dan “akhir zaman”.
Usia lanjut tidak boleh diasosiasikan secara pukul rata dengan gloom and doom — kesuraman dan “akhir zaman”.
Tak lagi bijak untuk menasihati manula dengan kalimat berkutub, “kurangi berpikir, perbanyak zikir.” Sebagaimana keberbakatan anak yang diyakini variatif dan multidimensional, potensi dan resiliensi manula pun demikian pula.
Seiring dengan pola pikir tersebut, di forum-forum internasional, sambil berkelakar saya sering menyatakan penolakan saya terhadap ekspresi ‘how old are you’? Yang saya usulkan adalah ‘how young are you’?
Di balik anekdot itu, sesungguhnya saya sedang berbicara serius, age is only a matter of calendar, while youthfulness is forever. Usia hanya masalah almanak, sementara perasaan muda berlaku sepanjang hidup.
Cara pandang
Sampai saat ini, katakanlah, negara telah memberikan prioritas kepada warga lansia untuk bertahan hidup mengarungi masa pandemi. Namun,bagaimana kondisi mental para manula di musim pageblug ini, belum tersedia jawabannya.
Idealnya, negara senantiasa berupaya melontarkan para manula, seperti kelompok usia masyarakat lainnya, agar bisa hidup bahagia dan sejahtera.
Saya berharap, tidak berbeda dengan para manula di banyak negara, manula di Indonesia pun memiliki stabilitas batin yang baik bahkan lebih baik dibandingkan warga muda usia.
Apa pun itu, ageism atau cara pandang yang menstereotipkan umur manusia selayaknya dibatasi. Musim pandemi ini patut menjadi momentum penting perubahan cara pandang.
Sejak sekarang agenda pembangunan manula di Indonesia seharusnya tidak lagi dibingkai sebagai “hidup atau tidak hidup” belaka. Jangan sebatas “sehat atau sakit”. Itu semua terlalu minimalis.
Idealnya, negara senantiasa berupaya melontarkan para manula, seperti kelompok usia masyarakat lainnya, agar bisa hidup bahagia dan sejahtera.
Dan, contoh seorang tukang sapu lansia di Jepang tadi menjadi cerminan bahwa potensi hidup produktif itu sesungguhnya tetap ada meskipun senja kala pada manula tak terhindarkan lagi datangnya. Manula adalah warga yang tetap berdaya! Semoga.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.