TGH Umar Kelayu merupakan seorang ulama karismatik dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. | DOK MTSN 2 Mataram

Mujadid

TGH Umar Kelayu, Sesepuh Para Tuan Guru

Banyak murid TGH Umar Kelayu yang di kemudian hari menjadi ulama-ulama besar.

OLEH MUHYIDDIN

 

 

 

 

Tuan Guru Haji (TGH) Umar Kelayu merupakan seorang ulama karismatik dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di antara julukannya adalah “gurunya para tuan guru". Sebab, murid-muridnya tersebar di banyak pulau. Banyak pula dari mereka yang kemudian menjadi dai-dai berpengaruh.

TGH Umar Kelayu menguasai berbagai disiplin keilmuan Islam. Di antaranya adalah ilmu Alquran, hadis, tauhid, syariat, tasawuf, dan gramatika bahasa Arab. Dilihat dari corak pemikirannya, tokoh dari Pulau Seribu Masjid—julukan Lombok—tersebut dapat digolongkan sebagai ulama ahlussunah waljamaah (aswaja).

Dalam pengantar kitab Manzarul Amrad disebutkan bahwa TGH Umar Kelayu lahir di Desa Kelayu, Lombok Timur, pada 1268 Hijriah atau bertepatan dengan 1851 Masehi. Ia merupakan putra dari pasangan Kiai Ratana alias Syekh Abdullah dan Hajjah Siti Aminah.

Dalam konteks sosial-keagamaan, leluhurnya terkenal alim dan taat menjalankan syariat agama Islam. Tidak hanya itu, dia pun masih berdarah biru, yakni kalangan bangsawan Kerajaan Selaparang.

Ayahnya, Kiai Ratana, dikenal sebagai sosok yang sangat peduli terhadap fakir miskin. Lantaran penguasaannya akan ilmu-ilmu agama, tokoh yang akrab disapa Syekh Abdullah itu kemudian diangkat sebagai kadi di Istana Selaparang. Kakek Umar Kelayu, yakni Kiai Nurul Huda, merupakan putra dari seorang penghulu agung Selaparang.

Saat masih kecil, Umar belajar membaca Alquran kepada Tuan Guru Amin di kampung halamannya. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan agamanya ke Lombok Daerah. Di sana, dia menuntut ilmu kepada Tuan Guru Mustafa Sekarbela dan Tuan Guru Muhammad Amin Sesela.

 
Saat menginjak usia 14 tahun, ia pun diberangkatkan oleh kedua orang tuanya ke Tanah Suci Makkah.
 
 

 

Saat menginjak usia 14 tahun, ia pun diberangkatkan oleh kedua orang tuanya ke Tanah Suci Makkah. Tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga memperdalam ilmu-ilmu agama. Sebab, Masjidil Haram adalah pusat sekaligus magnet utama bagi seluruh pembelajar Islam.

Di kota kelahiran Rasulullah SAW itu, Umar bermukim sekitar 15 tahun lamanya. Hari-harinya selalu diisi dengan belajar berbagai ilmu Islam kepada para ulama besar di sana.

Di Tanah Suci, Umar muda mempelajari hadis dari beberapa tokoh setempat, seperti Syekh Mustafa al-Afifi, Syekh Zainuddin Sumbawa, dan Syekh Abdul Karim Daghestan. Di samping itu, ia pun mulai mengenal ilmu tasawuf. Betapa besar kecintaannya pada ilmu-ilmu agama!

Pada 1880 M, Umar kemudian pulang ke Tanah Air unuk mendakwahkan ilmu yang telah diperolehnya. Di Lombok, dai muda ini pun giat berdakwah. Tiada hari terlewatkannya tanpa mengamalkan pelajaran-pelajaran yang didapatnya dari para guru selama di Tanah Suci.

Sejak saat itu, TGH Umar Kelayu sudah dikenal sebagai ulama muda yang sangat tekun berdakwah. Akhirnya, banyak orang yang belajar kepadanya.

Hal itu dituturkan Adi Fadli dalam artikelnya yang berjudul “Pemikiran Tauhid TGH Umar Kelayu Dalam Kitab Manzarulamrad fi Bayani Qith'atin Minall'tiqad” (2015). Menurutnya, murid-murid sang tuan guru tidak hanya berasal dari Lombok, tetapi juga daerah-daerah lainnya. Bahkan, ada pula yang datang dari negeri jiran.

 
Pada 1880 M, Umar kemudian pulang ke Tanah Air unuk mendakwahkan ilmu yang telah diperolehnya.
 
 

 

Di antara muridnya yang berasal dari Lombok adalah TGH Rais Sekarbela, TGH Muhammad Saleh atau Tuan Guru Lopan, TGH Muhamad Saleh Hambali Bengkel, TGH Muhammad Siddik Karang Kelok Mataram, dan banyak lagi.

Di samping itu, ada juga muridnya yang berasal dari luar Lombok. Sebut saja, KH Abdul Fattah Pontianak, KH Daud Palembang, KH Nawawi Lampung, KH Abdurrahman Kedah, dan Syekh Muhammad Zen Bawean. Tokoh pendiri Nahdatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, pun pernah berguru kepadanya.

Adapun ulama-ulama yang menjadi sahabat karibnya ialah Syekh Sa’id bin Muhammad al-Yamani, Syekh Muhammad Jamal bin Muhammad al-Amir, Syekh Umar bin Junaid al-Hadhrami, dan Syekh Muhammad Jamal bin Muhammad al-Amir. Nama-nama lainnya yang sering disebut adalah Syekh Umar ibn Junaid al-Hadhrami, Syekh Abdul Qadir Mandailing, Syekh Mukhtar Bogor, Syekh Jamal al-Maliki, dan Syaikhona Kholil Bangkalan.

Banyak murid TGH Umar Kelayu yang di kemudian hari menjadi ulama-ulama besar. Tak sedikit pula yang akhirnya turut bergelar tuan guru. Karena itu, ia pun dikenal sebagai “gurunya para tuan guru". Selain itu, muridnya juga banyak juga yang menjadi tokoh-tokoh penting di organisasi kemasyarakatan, seperti NU dan Nahdlatul Wathan (NW).

 
Muridnya juga banyak juga yang menjadi tokoh-tokoh penting. Ia pun dikenal sebagai "gurunya para tuan guru".
 
 

 

Mereka yang pernah belajar kepada TGH Umar Kelayu tidak hanya membentuk jaringan alim yang lebih luas. Perannya pun terbilang penting dalam penguatan ajaran Islam, khususnya dalam kurun waktu abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di Lombok.

Di antaranya, ada yang mendirikan pesantren-pesantren. Umumnya, mereka bergiat melakukan dakwah di tengah masyarakat. Tidak semata-mata itu, para tuan guru ini juga terlibat dalam dalam sejumlah perang melawan Belanda.

Kolonialisme bangsa Eropa itu di Lombok bermula dari turut campurnya mereka atas politik lokal setempat. Semula tampil sebagai sekutu, kekuatan kolonial ini lantas berbalik menyerang setelah perang antara Bali-Sasak dan Lombok usai. Banyak ulama bersama murid-muridnya melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Guru di Tanah Suci

TGH Umar Kelayu diketahui menikah untuk pertama kalinya dengan seorang perempuan bernama Asiyah. Dari pernikahan tersebut, dia dikaruniai tiga putra. Mereka adalah Raden Akar atau Dine, TGH Badrul Islam, dan TGH Abdullah.

Setelah itu, ulama kelahiran Lombok ini kemudian menikah dengan Hajjah Raden Aminah. Dari pernikahannya yang kedua ini, lahirlah Tuan Guru Ahmad Tretetet dan Hajjah Mariam. TGH Umar Kelayu juga sempat menikah dengan seorang perempuan asal Madura, Hajjah Aminah. Pasangan ini memiliki putri, Hajjah Hafshah.

Adapun pernikahannya dengan Suriati dikaruniai dua putri, yakni Hajjah Shubuhiyah dan Hajjah Husniah. Selama hayatnya, TGH Umar Kelayu setidaknya pernah menikah tujuh kali dan melahirkan banyak keturunan. Banyak di antaranya yang mengikuti jejaknya, menjadi ulama juga.

Sebagai seorang alumnus Tanah Suci, dia memiliki jaringan yang luas. Sepulang dari Makkah, TGH Umar Kelayu sempat berdakwah dan mengajar di tengah masyarakat Lombok.

Ia pun membuka pengajian halaqah, yang metodenya mirip kajian-kajian di Masjidil Haram. Tempat majelis ilmu itu adalah teras rumahnya sendiri. Cara ini akhirnya semakin terkenal. Jamaah yang hadir pun kian banyak. Bahkan, ada pula yang datang dari luar daerah.

Setelah beberapa tahun memberikan pengajian pada masyarakat Lombok, TGH Umar kemudian berangkat lagi ke Makkah untuk kedua kalinya. Dalam kesempatan ini, dia diminta untuk mengajar pada pengajian halaqah ma’had di Masjidil Haram. Murid-muridnya berasal dari pelbagai penjuru dunia, termasuk Nusantara. Mereka begitu semangat mendalami ilmu-ilmu agama.

 
Setelah beberapa tahun memberikan pengajian pada masyarakat Lombok, TGH Umar kemudian berangkat lagi ke Makkah untuk kedua kalinya.
 
 

 

Namun, ada kalanya sang tuan guru mendapati, murid-muridnya yang dari Asia Tenggara belum begitu menguasai bahasa Arab. Sementara, pengajian halaqah di Masjidil Haram menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab. Hal ini membuat mereka sering tidak dapat mengikuti pengajian sesuai yang diharapkan. Atas dasar itu, TGH Umar kemudian membuka pengajian halaqah yang menggunakan pengantar bahasa Melayu.

Seperti tercatat dalam manaqib para tuan guru Lombok, TGH Umar Kelayu adalah ulama yang paling populer dan paling diminati para murid dari Lombok. Banyak alasan yang membuatnya sangat digemari oleh para penuntut ilmu, khususnya yang dari Lombok.

Dalam salah satu penelitiannya yang berjudul “Intelektualisme Pesantren: Studi Geneologi dan Jaringan Keilmuan Tuan Guru di Lombok” Adi Fadli menjelaskan argumen yang paling memungkinkan untuk menjelaskan hal tersebut. Menurutnya, TGH Umar merupakan putra Sasak yang mengenal baik karakteristik para penuntut ilmu dari daerahnya.

Menurut sebuah riwayat, TGH Umar Kelayu lebih banyak memberikan pengajian di Makkah daripada di Lombok. Bahkan, di kota tersebut dia telah membuka sebuah toko kitab. Karena ketinggian ilmunya, dia pun diangkat sebagai Imam Masjidil Haram hingga akhir hayatnya.

Setelah cukup lama mengajar dan melakukan pembaruan di tengah masyarakat, baik di Lombok maupun Makkah, kesehatannya mulai menurun. Ini bermula sejak tahun 1928 M. Ia pun lebih banyak istirahat dalam memberikan pengajian di luar rumah.

TGH Umar Kelayu wafat di Tanah Suci dalam usia 79 tahun, tepatnya pada Rabu, 18 Rabiul Akhir 1349 H atau 13 Agustus 1930 M. Jenazahnya dimakamkan di Ma’la, berdekatan dengan makam Imam Ibnu Hajar al-Haitami.

 

photo
ILUSTRASI Lombok yang dijuluki sebagai Pulau Seribu Masjid menjadi tempat asal banyak ulama besar. Salah satunya adalah TGH Umar Kelayu yang digelari sebagai gurunya para tuan guru. - (DOK WIKIPEDIA)

Berdakwah dengan Lisan dan Tulisan

Masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), kerap menggelari ulama-ulama mereka dengan sebutan “tuan guru.” Panggilan kehormatan itu tidak hanya menandakan pengakuan publik atas tingginya keilmuan mereka. Gelar tersebut pun mengisyaratkan rasa takzim yang tulus.

Salah seorang dai karismatik yang lahir di Pulau Seribu Masjid ialah Tuan Guru Haji (TGH) Umar Kelayu. Ia adalah seorang ulama yang tidak hanya berdakwah secara lisan, tetapi juga tulisan. Ini terbukti oleh banyak kitab karyanya.

TGH Umar Kelayu merupakan seorang ulama yang berhaluan ahlussunah waljamaah (aswaja). Dalam hal fikih, dirinya bermazhab Imam Syafii. Salah satu kitab fikih yang diajarkannya adalah Fathul Qarib. Ini merupakan syarah atau penjelasan dari kitab Al-Ghayah wa at-Taqrib karangan Al Qadhi Abu Syuja.

 

Selain itu, TGH Umar Kelayu juga menggubah banyak syair dan nadzom. Sejumlah karyanya amat terpengaruh oleh Barzanji. Isinya menghaturkan puji-pujian tak hanya kepada Nabi SAW, tetapi juga generasi sahabat, tabiin, dan tabi’it tabi’in. Dari tangannya, lahir pula Kitab Burdah. Sayang, beberapa buku karyanya sampai saat ini belum ditemukan.

Hingga akhir hayatnya, baru ditemukan dua buah kitab yang jelas-jelas ditulis TGH Umar Kelayu. Pertama, kitab Manzarul Amrad fi Bayani Qith’atin minal I’tiqad. Karya ini menjadi salah satu rujukan utama tentang tauhid.

 
Hingga akhir hayatnya, baru ditemukan dua buah kitab yang jelas-jelas ditulis TGH Umar Kelayu.
 
 

 

Buku yang ditulis pada 1295 H tersebut menjadi referensi antara lain di Pondok Pesantren Darul Qur’an Bengkel pada pertengahan abad ke-20. Isinya menjelaskan tentang konsep-konsep ketuhanan dalam aliran Asy’ariyah. Kitab ini banyak mengutip tulisan Syekh Zainuddin Sumbawa dari Sirajul Huda, yang merupakan syarah dari Ummu al-Barahin karya Imam Sanusi.

Selain itu, TGH Umar juga menulis kitab berjudul Al-Lu'lu al-Mantsur fi Mawlid al-Musyaffa' al-Manshur. Buku ini ditulisnya pada 1342 Hijriah. Kitab tersebut menjelaskan tentang sejarah Rasulullah SAW.

Baik Manzarul Amrad maupun Al-Lu'lu al-Mantsur dicetak di percetakan Mulia Surabaya pada 1369 Hijriyah atau 1949 Masehi. Karangan TGH Umar ini menjadi amal jariyah yang tak lekang oleh waktu. Dengan menulis kitab, ia juga telah mewariskan ajaran-ajaran Islam, dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga saat ini.

 
Ulama ini pun selalu memberikan keteladanan kepada umat. Ucapan dan tindakannya selalu seirama
 
 

 

Ulama ini pun selalu memberikan keteladanan kepada umat. Ucapan dan tindakannya selalu seirama, sehingga ia pun menjadi sosok yang paling disegani di kalangan masyarakat Lombok. Ulama besar yang pernah menjadi guru di Masjidil Haram ini memiliki prinsip “Hidup untuk berjuang, bukan berjuang untuk cari hidup".

TGH Umar Kelayu tidak mewariskan harta, jabatan, pangkat ataupun gelar, tetapi mewariskan keluhuran budi. Perjalanan dakwahnya sangat terasa dari Nusantara sampai Timur Tengah. Bahkan, di kampung halamannya ia banyak melahirkan dan membesarkan para tuan guru yang ada di Lombok.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat