IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Cara Modern Perjuangan Bangsa Palestina

Fakta baru yang disebut sebagai ‘perjuangan modern’ bangsa Palestina.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Inilah fakta baru bangsa Palestina. Fakta baru yang disebut oleh Sawsan al Abtah, profesor di Universitas Lebanon, sebagai ‘perjuangan modern’ bangsa Palestina. 

Fakta baru itu adalah seperempat warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang berjumlah 5,1 juta orang (sensus 2020) di bawah usia 30 tahun. Mereka muda dan terpelajar. Persentasi buta huruf tidak melebihi satu persen. Jumlah lulusan perguruan tinggi juga meningkat pesat beberapa tahun terakhir. Mayoritas mereka memiliki keterampilan teknologi, plus 20 persen dari mereka menguasi berbagai program komputer.

Di sisi lain, Biro Pusat Statistik Palestina menunjukkan, separuh dari lulusan perguruan tinggi itu adalah pengangguran — ingat mereka di bawah penjajahan Zionis Israel. Hal ini dapat menjelaskan momentum para pemuda yang marah dan turun ke jalan selama serangan Israel ke Gaza beberapa waktu lalu. Juga memungkinkan mereka mengelola perjuangan dengan alat-alat komunikasi modern. 

Fakta generasi baru Palestina ini, seperti ditulis Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul-Gheit dalam kolomnya di media al Sharq al Awsat, justru semakin terungkap pascapenindasan warga Palestina di Yerusalem dan serangan Israel ke Gaza. Generasi baru Palestina yang menolak pendudukan dan diskriminasi.

 
Fakta generasi baru Palestina ini justru semakin terungkap pascapenindasan warga Palestina di Yerusalem dan serangan Israel ke Gaza.
 
 

Kata-kata ‘Palestinian Lives Matter’ alias ‘Nyawa Orang Palestina Berharga’ — yang diilhami gerakan ‘Black Lives Matter’ di Amerika Serikat — pun berseliweran di media sosial dan menjadi viral. Juga kata-kata yang menolak apartheid yang diterapkan Israel.

Generasi baru Palestina itu, seperti halnya generasi muda lain di seluruh dunia, merasa berhak untuk hidup merdeka dan setara. Mereka menolak dihina dan ditekan. Mereka berjuang menurut bahasa hak asasi manusia universal. Mereka hanya ingin hidup terhormat di tanah air sendiri. Mereka merindukan persatuan yang telah lama hilang dari bangsa Palestina yang berfaksi-faksi.

Di sini, tentu tidak pada tempatnya membandingkan penguasaan teknologi individu warga Palestina dengan industri teknologi Israel yang canggih, termasuk senjata yang diekspor Israel ke sejumlah negara. Belum lagi pasukan elektronik dan kekuatan spionase Israel yang luar biasa.

 
Mereka berjuang menurut bahasa hak asasi manusia universal. Mereka hanya ingin hidup terhormat di tanah air sendiri.
 
 

Namun yang patut disayangkan, menurut Sawsan al Abtah — mengutip sejarawan dan pengamat politik dari Prancis, Sophie Bessis —, kemajuan teknologi dan persenjataan Israel tak seiring dengan kebijakan politik mereka. Para penguasa Israel masih memanfaatkan sejarah masa lalu untuk kepentingan masa depan. Sebagai misal, mereka akan memeras siapa pun yang menolak ‘Holocaust’ sebagai anti-Semitisme, yang di sejumlah negara Eropa ada sanksi hukumnya. 

Inilah yang disebut eksploitasi sistematis oleh Zionis Israel terhadap masa lalu bahwa mereka adalah korban. Bahkan mereka menyamakan siapa saja yang menolak mendukung Israel sebagai Hitler — termasuk Yasir Arafat dan Yitzhak Rabin, karena menandatangani Kesepakatan Oslo.

Menurut Sophie Bessis, seperti dikutip al Abtah, cerita Israel itu sudah usang, ketinggalan zaman, tidak sesuai fakta. Coba apa hubungannya antara Holocaust di Eropa dengan kritik saat ini, yang ditujukan kepada Zionis Israel, yang justru membunuh anak-anak, menganiaya warga sipil, dan menduduki wilayah Palestina?

Pandangan umum masyarakat internasional kini sudah berubah, berkat anak-anak muda Palestina itu. Zionis Israel, terutama para penguasa dan militernya, sudah digambarkan sebagai Adolf Hitler. Sedangkan rakyat Palestina dianggap sebagai para korban ‘Holocaust’.

 
Pandangan umum masyarakat internasional kini sudah berubah, berkat anak-anak muda Palestina itu.
 
 

Opini publik tidak bisa berbohong, meskipun ia bisa berbeda dengan sikap resmi pemerintah -- pemerintah mana saja. Pada 2003, selama Intifada (perang gerilya) Kedua rakyat Palestina, opini publik di Eropa bertentangan dengan sikap Israel, setelah melihat kekejaman militer mereka yang menembak mati anak-anak muda Palestina yang hanya bersenjatakan batu kerikil. 

Pada saat itu hasil sebuah jajak pendapat pun muncul, di mana 59 persen masyarakat Eropa menganggap ‘Israel sebagai ancaman paling serius bagi perdamaian dunia’. Unjuk rasa mengecam Israel pun muncul di kota-kota besar di Eropa. Mereka menyerukan untuk memboikot barang dari Israel.

Maka, terjadilah saat itu kesenjangan antara opini publik masyarakat Eropa yang simpati terhadap perjuangan bangsa Palestina dan sikap resmi pemerintah negara-negara Eropa yang tetap mendukung Israel. 

Apa yang dilakukan pemuda Palestina dengan kemampuan dan pengetahuan teknologi serta memanfaatkan waktu luang — banyak yang menganggur —, bisa disebut sebagai perjuangan modern. Perjuangan yang berbeda dengan generasi tua Palestina. Perjuangan mereka adalah mengubah opini publik masyarakat internasional.

 
Perjuangan mereka adalah mengubah opini publik masyarakat internasional.
 
 

Mereka cukup menuliskan tagar ‘apartheid’, maka akan segera viral di media sosial. Tagar ‘apartheid’ sudah dengan sendirinya menjelaskan fakta satu juta wisatawan memasuki Yerusalem untuk berkunjung, sementara orang-orang Palestina sang pemilik tanah justru dilarang masuk Masjid al-Aqsa untuk shalat. 

Atau mereka cukup menayangkan rekaman video beberapa detik tentang pos pemeriksaan di Yerusalem. Di sana akan terlihat pemeriksaan ketat warga Palestina, sementara orang-orang ekstremis Yahudi bebas lalu lalang. Maka, tayangan itu telah memberi gambaran mengenai banyak hal. Salah satunya tentang diskriminasi yang diterapkan pemerintah Israel. 

Yang dilakukan rezim penguasa Israel terhadap warga Palestina adalah bahan yang tiada habis-habisnya yang justru bisa digunakan untuk memperburuk citra negara Yahudi itu. Dari pembunuhan terhadap anak-anak, penyiksaan pemuda Palestina, penggerebekan Masjid al-Aqsha oleh tentara dan ekstremis Yahudi, hingga serangan warga sipil Palestina. Hal inilah yang dimanfaatkan anak muda Palestina mengubah opini publik masyarakat internasional melalui penguasaan media digital.

Samy Cohen, pakar politik Israel, sebagaimana dikutip al Abtah, menyatakan rezim penguasa Israel selalu mengeklaim Israel adalah negara demokratis, meskipun mereka melakukan segala bentuk diskriminasi. Perlakuan diskriminasi yang menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat internasional soal Israel memperlakukan sebagian penduduknya sebagai warga negara kelas dua, menindas mereka secara brutal, mempekerjakan dengan gaji rendah.

 
Pemuda Palestina itu sadar bahwa perang media melawan Israel justru harus ditingkatkan.
 
 

Mereka, orang Palestina yang sudah menjadi warga Israel, tidak mempunyai hak politik yang sama dengan Yahudi, apalagi menduduki jabatan penting pemerintahan.

Setiap kali opini publik internasional mengecam kekejaman Israel, seperti yang terjadi di dua intifada, atau setelah serangan Israel ke Gaza beberapa waktu lalu, pembicaraan tentang solusi dua negara pun kembali muncul. Kesempatan seperti ini selalu dimanfaatkan Israel untuk membangun lebih banyak permukiman Yahudi, memblokade Gaza, mengusir dan menghancurkan rumah warga Palestina di Yerusalem. Inilah yang disadari anak muda Palestina bahwa perjuangan harus terus berlanjut, tidak boleh membiarkan Israel rileks.

Pemuda Palestina itu sadar bahwa perang media melawan Israel justru harus ditingkatkan. Israel harus terus di bawah tekanan. Wajah buruk mereka harus disampaikan ke dunia internasional. Inilah cara modern perjuangan model anak-anak muda Palestina.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat