Sejumlah santriwati mengikuti kajian kitab kuning di Pondok Pesantren Darul Amin, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (27/4/2021). Rujukan yang sangat lengkap mengenai sosok dan pemikiran Imam Syafii, sang mujtahid. | ANTARA FOTO/Makna Zaezar

Kitab

Telusur Jejak Sang Mujtahid

Rujukan yang sangat lengkap mengenai sosok dan pemikiran Imam Syafii, sang mujtahid.

OLEH HASANUL RIZQA

 

 

 

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris. Tokoh dari abad kedua Hijriyah itu lebih dikenal sebagai Imam Syafii. Khususnya bagi kalangan ahlusunnah wal jamaah (aswaja), nama lelaki yang masih tergolong kerabat Nabi Muhammad SAW ini tidaklah asing. Sebab, dialah salah satu pendiri mazhab fikih yang diikuti aswaja.

Fatwa-fatwanya hingga kini dipakai banyak umat Islam di pelbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Ada banyak buku yang mengulas ketokohan Imam Syafii atau pun mazhab fikih yang didirikannya. Di antaranya yang paling komprehensif adalah Al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabihi al-Qadim wa al-Jadid.

Karya Syekh Dr Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Jakarta Islamic Centre menjadi Ensiklopedia Imam Syafi’i: Biografi dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Masa.

Seperti tampak pada judulnya, buku setebal 773 halaman ini membahas tentang kehidupan Imam Syafii dan sumbangsihnya terhadap keilmuan Islam. Karya itu awalnya adalah disertasi Syekh Ahmad al-Indunisi saat akan mengambil gelar doktor dalam bidang ilmu perbandingan mazhab di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.

Guru besar setempat, Prof Syekh Abdul Ghani Abdul Khaliq memuji kitab ini sebagai referensi ilmiah yang luar biasa, khususnya bagi pemerhati dan pengikut mazhab Syafii.

Seperti tergambar dari gelar di belakang namanya, penulis buku tersebut adalah warga Indonesia. Sang syekh lahir di Jakarta pada 30 Agustus 1931. Cucu seorang ulama besar Betawi, Guru Mughni, tersebut mengaji pada banyak alim di Jakarta.

 
Saat berusia 21 tahun alumnus Jamiat Khair Tanah Abang itu meneruskan studinya ke Mesir.
 
 

Selanjutnya, saat berusia 21 tahun alumnus Jamiat Khair Tanah Abang itu meneruskan studinya ke Mesir. Di Universitas al-Azhar Kairo, dia meraih berturut-turut satu gelar sarjana dan dua gelar master. Puncaknya, Ahmad Nahrawi berhak menerima gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya dalam ujian.

Setelah melanglang buana ke banyak negara di Timur Tengah, Syekh Ahmad kembali ke Tanah Air pada 1989. Di Jakarta, ia mendirikan Yayasan an-Nahrawi yang bergerak antara lain dalam bidang literasi.

Di sela-sela kesibukannya sebagai dosen, sang syekh pun aktif dalam berbagai majelis taklim di masjid-masjid, termasuk Masjid Agung at-Tin dan Masjid Istiqlal. Dirinya juga tercatat sebagai seorang ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Pada 7 Februari 1999, putra daerah Betawi ini berpulang ke Rahmatullah.

Di antara banyak karyanya, Al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabihi al-Qadim wa al-Jadid bisa dianggap sebagai buku yang sering dijadikan referensi. Di dalamnya, Syekh Ahmad menjelaskan dengan begitu perinci mengenai asal mula mazhab Syafii.

Tentunya, penjelasan tersebut dimulai dari biografi Imam Syafii. Disertakan pula elaborasi tentang konteks sosial, ekonomi, dan politik yang meliputi kehidupannya.

 
Dalam usia yang masih belia, Imam Syafii bahkan mampu menggubah bait-bait syair yang indah.
 
 

Penulis buku ini menuturkan kejadian yang mengawali ketertarikan Imam Syafii pada ilmu-ilmu syariat. Sebelumnya, lelaki kelahiran Palestina itu mempelajari Alquran dan hadis. Bagaimanapun, minatnya saat itu terletak pada ilmu bahasa dan sastra Arab.

Dalam usia yang masih belia, Imam Syafii bahkan mampu menggubah bait-bait syair yang indah. Hal itu lantaran ketekunannya dalam mempelajari puisi-puisi Arab.

Pemuda ini kala itu sudah menetap di Makkah. Suatu hari, Syafii sedang mendaki Bukit Mina. Tujuannya untuk mencari suasana yang sesuai agar bisa menulis syair dengan baik. Tiba-tiba, ia mendengar seruan dari belakang bukit, “Engkau harus menguasai fikih.” Peristiwa lainnya lebih mengokohkan tekadnya mendalami syariat.

Masih dalam usia belia, Syafii muda suatu kali sedang berjalan-jalan di Makkah. Saat itu, dia sedang menuju ke tempat salah seorang gurunya untuk belajar gramatika bahasa Arab.

Tanpa disangka, dia berpapasan dengan Muslim bin Khalid az-Zanji. Mubaligh senior itu berjulukan "ahli fikih seantero Makkah". Gurunya, antara lain, ulama tabi'in yang kharismatik, Atha bin Abi Rabah. Sanadnya sampai ke sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Abbas.

Begitu melihat Syafii, Imam Muslim menyapanya, "Hai anak muda, dari mana engkau berasal?"

Yang ditanya pun menghentikan langkahnya--dan juga senandung syair-syair Arab yang sedang dihafalkannya sepanjang perjalanan. "Asalku dari keturunan orang Makkah," kata Syafii.

"Di mana rumahmu?" tanya Imam Muslim lagi.

"Perkampungan al-Hanif," jawabnya.

"Kabilah apa?"

"Kabilah 'Abd Manaf."

"Alhamdulillah, bagus, bagus," timpal Imam Muslim, "Sungguh Allah telah memuliakanmu di dunia dan akhirat. Andai engkau menggunakan kecerdasanmu untuk belajar fikih, itu akan lebih baik bagimu."

Kata-kata ulama besar itu tertanam dalam diri Imam Syafiii muda. Kalaupun hanya disapa seorang Imam Muslim, tentunya sebuah kebahagiaan bagi pemuda ini. Namun, tidak hanya disapa, dia bahkan juga didoakan dengan tulus. Doa yang sungguh menyentuh hati.

Sejak saat itu, Imam Syafii alias Muhammad bin Idris kian mantap dan serius dalam menekuni ilmu fikih. Pertama kali dirinya belajar fikih kepada Imam Muslim. Selanjutnya, ia berguru pada Sufyan bin 'Uyaynah.

 
Anugerah yang paling mulia setelah kenabian adalah ilmu dan fikih. Adapun anugerah Allah yang paling mulia di akhirat adalah rahmat.
 
 

Tentang keutamaan ilmu fikih ini, sosok yang tersebut akhir itu mengatakan, "Kenabian merupakan anugerah Allah yang paling mulia. Anugerah yang paling mulia setelah kenabian adalah ilmu dan fikih. Adapun anugerah Allah yang paling mulia di akhirat adalah rahmat."

Momentum lain yang mengubah jalan hidupnya adalah pertemuannya dengan Imam Malik bin Anas, seorang mahaguru yang tinggal di Madinah. Syafii muda telah lama bercita-cita dapat berjumpa langsung dengan Imam Malik dan menimba ilmu darinya. Bahkan, sekadar memiliki kitab karyanya, al-Muwaththa', itu pun sudah membuatnya sangat gembira.

Lama dan baru

Buku karya Syekh Ahmad Nahrawi ini juga memaparkan tentang dua fenomena yang terkait Imam Syafii, yakni pendapat lama dan baru (qaul qadim wa qaul jadid). Keduanya juga menandakan dua periode perjalanan keilmuan sang alim.

Qaul qadim atau pendapat lama Imam Syafii disarikan dalam kitab Al-Hujjah. Perawi karya tersebut, antara lain, ialah Imam Hambali dan Abu Tsaur. Fatwa-fatwa yang tergolong qaul qadim diberikan ketika dirinya masih menetap di Baghdad, Irak.

Sementara itu, qaul jadid atau pendapat baru Imam Syafii termaktub dalam Al-Umm karyanya. Kitab tersebut diriwayatkan sejumlah muridnya, seperti al-Muzanni atau al-Buwaithi. Berbeda dengan qaul qadim, fatwa-fatwa yang termasuk periode-baru ini disampaikan kala dirinya mengajar di Mesir.

Mengapa sampai ada pemilahan antara yang lama dan baru itu?

Syekh Ahmad mengatakan, Imam Syafii merupakan ulama yang sangat teliti dan peka. Begitu tinggal di Mesir, dirinya menyaksikan dan mempelajari adanya banyak masalah baru di tengah umat. Persoalan-persoalan itu kerap kali tidak ditemuinya kala dirinya masih menetap di Baghdad.

Alhasil, sang imam merasa berkewajiban moral untuk mengkaji ulang fatwa-fatwa yang pernah disampaikannya di Irak agar menyesuaikan dengan realitas dan kondisi baru, sebagaimana yang disaksikannya di Mesir.

Sebagai tokoh yang amat menguasai banyak ilmu keislaman, khususnya hadis, ushul fikih, dan fikih, ia pun dapat dengan mudah menyerap semua permasalahan yang ada. Setelah itu, ia pun memberikan pendapat-pendapat baru dari hasil ijtihadnya.

 
Imam Syafii tidak menyatakan semua pendapat baru menghapus pendapat yang lama, kecuali pada kasus tertentu. 
 
 

Yang cukup menarik, Imam Syafii tidak menyatakan semua pendapat baru tersebut menghapus pendapat-pendapat yang lama, kecuali pada kasus-kasus tertentu yang disebutkan nasakh (penghapusan) dan kondisi yang sesuai (waqi’).

Dari fenomena qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafii, seorang pencari ilmu dapat memetik hikmah. Misalnya, fatwa diperoleh tidak sekadar dari menukil teks. Ijtihad yang dilakukan sang imam muncul dari telaahnya atas berbagai kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Dengan perkataan lain, ijtihad itu tidaklah literal belaka.

Hingga akhir hayatnya, Imam Syafii terus berdakwah dan mengajar di Mesir. Usianya banyak dihabiskan untuk berpikir, berkarya, dan menebar maslahat. Selama di negeri delta Sungai Nil, dia menjadi ulama yang paling banyak dicari para penuntut ilmu dari seluruh penjuru dunia.

 
Usianya banyak dihabiskan untuk berpikir, berkarya, dan menebar maslahat.
 
 

Mereka ingin belajar langsung, meriwayatkan banyak hadis darinya, dan mengikuti pengajiannya. Sang imam pun berhasil mencetak kader-kader ulama besar, baik lelaki maupun perempuan.

Menurut Syekh Ahmad, Imam Syafii sempat mengidap sakit ambien sebelum ajal menjemputnya. Akademisi ini membantah opini-opini yang menyebut, ulama peletak dasar mazhab Syafii tersebut meninggal karena luka di kepala akibat tusukan Futyan bin Abi as-Samh al-Maliki. Pada Rajab 204 H, mujtahid besar ini mengembuskan napas terakhir. Lautan manusia mengiringi pemakaman jenazahnya.

photo
Buku karya ulama Indonesia, Syekh Dr Ahmad Nahrawi ini mengulas dengan sangat mendetail ketokohan Imam Syafii, seorang peletak dasar salah satu mazhab fikih. - (DOK PRI)

DATA BUKU:

Judul: Ensiklopedia Imam Syafi’i: Biografi dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Masa// (terjemahan atas //Al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabihi al-Qadim wa al-Jadid)

Penulis: Syekh Dr Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi

Penerbit: Hikmah

Tebal : 773 halaman

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat