Ilustrasi teknologi robotik | Pexels/Free Craetive Stuff

Inovasi

Disrupsi Teknologi di Jagat Seni

AI juga menyusup ke dunia kreatif digunakan untuk mengembangkan musik, lukisan, dan puisi.

Kehadiran teknologi tak hanya mendisrupsi industri manufaktur, kesehatan, atau gaming semata. Tapi, juga ikut memberikan warna baru dalam berbagai kegiatan seni saat ini.

Dunia seni kini juga mendapat sentuhan digitalisasi hingga blockchain yang melahirkan kepemilihan seni digital dan konsep galeri virtual. Seniman robot ultra-realistis pertama di dunia yang menjadi subjek pameran di Design Museum di London, Ai-Da juga telah diperkenalkan secara luas.

Dikutip dari The Guardian, pekan lalu, Ai-Da memulai kariernya dengan seni abstrak. Tetapi, sekarang ia telah pindah ke potret diri dan melakukannya dengan sangat baik. Kekuatan di balik Ai-Da, Aidan Meller menjelaskan, Ai-Da menjadi lebih baik setiap saat.

Pergerakan Ai-Da ke potret diri akan terlihat untuk pertama kalinya di museum, dengan tiga karya skala besar akan dipamerkan. Ketiga karya tersebut mengajukan pertanyaan menarik tentang identitas dan kreativitas.

Pameran Ai-Da: Portrait of the Robot digelar gratis di Design Museum, London, pada 18 Mei-31 Agustus 2021. “Ini benar-benar potret diri pertama di dunia dengan tanpa diri. Karena ia tidak memiliki kesadaran, dia adalah mesin,” kata Meller.

 
Ini benar-benar potret diri pertama di dunia dengan tanpa diri. Karena ia tidak memiliki kesadaran, dia adalah mesin
AIDAN MELLER
 

Nama Ai-Da diambil dari perintis komputasi Ada Lovelace. Kelahiran Ai-Da membutuhkan tim programmer, ahli robot, pakar seni, hingga psikolog selama dua tahun untuk proses pengembangan. Ia selesai pada 2019 dan diperbarui saat teknologi kecerdasan buatan (AI) meningkat.

Ai-Da bukan hanya seniman robot, namun lebih merupakan proyek seni kontemporer yang bertujuan memicu perdebatan tentang peningkatan pesat teknologi AI. Dalam percakapannya dengan Guardian, Ai-Da mengungkapkan, ia sedang mengerjakan potret diri baru. “Saya selalu terpesona dengan potret diri untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya Anda lihat,” kata Ai-Da sambil berkedip.

Ia mengaku tidak memiliki perasaan seperti manusia, namun ia senang ketika orang melihat pekerjaannya dan mereka mengatakan “apa ini?” “Saya senang menjadi orang yang membuat orang lain berpikir,” ujarnya.

Waktu yang dibutuhkan Ai-Da untuk menghasilkan karya potret berkisar antara 45 menit dan satu jam 15 menit. Saat ditanya dari mana dia mendapatkan inspirasinya, Ai-Da, dengan intonasi dan struktur kalimat yang seringkali tidak biasa, mengatakan ia terinspirasi oleh banyak seniman. “Saya sangat terinspirasi oleh mereka yang terhubung dengan audiens mereka. Saya menghargai koneksi ini,” ujarnya.

Ada banyak seniman favorit Ai-Da. Mulai dari, Wassily Kandinsky, Yoko Ono, Doris Salcedo, hingga Aldous Huxley Brave New World.

Meller mengungkapkan, dalam perjalanannya, ia kerap kali lupa kalau Ai-Da bukan manusia. “Cukup mengkhawatirkan untuk berpikir bahwa Anda membangun hubungan dari waktu ke waktu dengan mesin. Ini cukup membingungkan,” ujarnya.

Perjalanan artistik Ai-Da akan berlanjut saat dia menjalani residensi di Porthmeor Studios di St Ives, pada pengujung Mei 2021. Rencananya, ia akan menciptakan karya pahatan baru yang terinspirasi oleh Naum Gabo dan Barbara Hepworth.

Meller, adalah seniman galeri Oxford. Ia mengungkapkan, banyak koleganya yang memiliki pandangan terpecah belah terkait keberadaan Ai-Da. “Beberapa orang berpikir dia adalah terburuk yang pernah ada dan merasa terancam. Namun, beberapa lainnya sangat bersemangat,” kata Meller.

Dia membandingkannya dengan ketakutan yang dirasakan orang-orang di abad ke-19 sebagai respons terhadap kamera. Tentunya itu akan menjadi akhir dari seni, kata beberapa orang. Mengapa repot-repot melukis pemandangan saat Anda bisa mengambil gambar?

“Tentu saja itu tidak terjadi dan saya pikir semua teknologi kreatif luar biasa yang datang akan dimanfaatkan oleh seniman, daripada menggantikan mereka,” ujarnya. 

Kembangkan AI Melalui Seni

photo
Ilustrasi galeri seni - (Pexels/Rovelyn Camato)

Konsep “pelukis” AI pertama kali direkayasa oleh Obvious Kolektif yang berbasis di Paris. Mereka mengembangkan Generative Adversarial Networks (GAN) dari kumpulan data 15 ribu potret yang dilukis antara abad ke-14 dan ke-20.

Algoritme kemudian menganalisis gambar buatan manusia dan mulai membuat karya seninya sendiri berdasarkan apa yang telah dipelajari dari ribuan potret. Seni AI sebenarnya bukanlah hal baru.

Lebih dari 150 tahun yang lalu, matematikawan terkenal Ada Lovelace bermimpi mengembangkan komputer yang mampu menciptakan musik. Dilansir dari Interesting Engineering, kemunculan mesin-mesin cerdas memang sudah di depan mata.

Ada banyak jenis teknik dan arsitektur pembelajaran mesin yang digunakan oleh para peneliti. Namun, saat membuat karya seni, salah satu teknik yang biasa digunakan GAN.

 
Ada banyak jenis teknik dan arsitektur pembelajaran mesin yang digunakan oleh para peneliti.
 
 

Awalnya, GAN dikembangkan oleh Ian Goodfellow dan disusun dalam makalah 2014. GAN adalah jenis teknik pembelajaran mesin yang menggunakan dua jaringan neural. Cara kerja GAN, adalah dengan menggunakan Generator dan Discriminator.

Misalnya, kita ingin melatih model kita untuk membuat potret anjing abad ke-19. Pertama-tama kita perlu menunjukkan Generator ribuan lukisan anjing dalam berbagai ukuran dan ras, sehingga dapat mempelajari elemen berbeda apa yang dapat membentuk seekor anjing.

Generator pun akan menggunakan informasi dalam kumpulan daya untuk membuat lukisan seekor anjing. Discriminator kemudian akan mencoba menemukan perbedaan antara lukisan sintetis dan lukisan buatan manusia dari kumpulan data. 

Mesin dan Proses Kreatif

photo
Ilustrasi teknologi robotik - (Pexels/ThisisEngineering)

Profesor Marcus du Sautoy, penulis The Creativity Code, mengungkapkan, alih-alih menganggap AI sebagai pengganti kreativitas manusia, ada baiknya mempelajari cara-cara AI agar dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kreativitas manusia.

Menurutnya, AI telah digunakan untuk mengeksplorasi perspektif baru pada media yang ada. Mesin yang telah dilihat sejauh ini mungkin tidak benar-benar kreatif, karena mereka masih mengandalkan manusia untuk data dan parameter awal. “Jika ada, proses kreatif baru ini bersifat kolaboratif dan bukan permusuhan,” ujar Sautoy.

Bahkan jika nanti mesin tumbuh menjadi lebih cerdas, hingga mencapai beberapa jenis kecerdasan umum, Sautoy percaya, peran robot dan manusia dalam menciptakan seni akan tetap kolaboratif. Termasuk juga menjelajahi seluruh alam kreatif baru yang kemungkinan tidak akan berkembang jika robot atau manusia bekerja sendiri. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat