
Safari
Bertamu ke Kampung Orang Laut
Orang Laut di Pulau Bintan adalah bagian dari suku Laut, keturunan para penjaga Selat Malaka.
Jauh dari keramaian masyarakat. Hampir tak tersentuh oleh seluruh wisatawan maupun masyarakat sekitar. Namun, kehadiran mereka memberikan ruang tersendiri bagi masyarakat Kepulauan Riau, khususnya Bintan.
Tiga puluh menit mobil yang kami tumpangi melaju dari Bandara Raja Haji Fisabilillah (RHF), Tanjung Pinang. Kami menuju sebuah tempat yang jauh dari keramaian masyarakat, tak terlirik pula oleh para wisatawan yang datang ke pulau itu.
Kami menuju Desa Air Kelubi, Kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Bintan, tempat beberapa kelompok orang sampan menghuni. Masyarakat mengenal mereka sebagai suku (orang) Laut.
Sampai di desa itu kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Setelah menyusuri jembatan beton di hutan mangrove yang dilanjutkan kemudian menyusuri pantai yang airnya menyusut, kami mendekati kawasan permukiman mereka. Lautan lumpur setinggi betis orang dewasa adalah medan berikutnya. Harus melepas alas kaki untuk berjalan di sini.

Hampir setiap hari orang-orang Laut menyeberangi lumpur ini dalam berbagai aktivitas mereka. Suku ini hidup sebagai nelayan di laut lepas.
Lumpur, aroma air asin, dan ombak adalah bagian keseharian suku Laut sejak nenek moyang mereka. Sejarah mencatat, nenek moyang mereka dulu adalah sekelompok orang yang sangat berperan dalam menjaga laut, menjaga selat. Mereka mengusir bajak laut, bahkan memandu para pedagang sampai ke Pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka, dan Kesultanan Johor.
Siang itu panas yang terik saat saya berkunjung ke kampung suku yang gagah berani ini. Tak banyak perahu ditambatkan di sana. Sebagian warganya sedang melaut jauh dan bisa berhari-hari. "Kami biasa melaut dari pagi hari. Biasanya laki-laki yang melaut, perempuan cukup tinggal di rumah," kata Bu Santi, perempuan paruh baya yang kami temui di kampung kecil itu.
Mulai menetap
Jangan keburu gentar bila bertemu dengan orang-orang suku Laut. Rambut mereka sedikit acak-acakan dan mata yang kemerahan. Penampilan seperti itu disebabkan sengatan panas matahari dan kegiatan mereka yang banyak di laut. Namun, jika sudah berkenalan, umumnya mereka sangat ramah.

Sambil berpanas-panas diselingi embusan angin laut, kami mengobrol dengan beberapa orang warga kampung itu. Mereka pun bercerita tentang kehidupan suku Laut sejak dulu. Orang-orang Laut sering berada di laut. Tak mengherankan bila kegiatan ini membuat mereka kurang akrab dengan masyarakat sekitar.
Dulu, orang Laut hidup di laut dalam arti sesungguhnya. Bahkan untuk urusan kawin-mawin pun mereka melakukannya di atas sampan. ''Mereka menyilangkan dayung, begitulah tanda mereka sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun,'' kata Bu Santi.
Sesuai dengan namanya, suku Laut, mereka menetap dan menghabiskan banyak waktu di laut. Bahkan, ada yang percaya sekelompok orang seperti mereka tidak bisa bekerja di daratan. Mereka gemar memancing di malam hari dan percaya, saat tengah malam adalah waktu yang tepat untuk memancing ikan besar. Hanya dengan menggunakan perahu sederhana, dengan peralatan sederhana pula, mereka tidak pernah takut dengan gelombang besar yang kapan pun siap menghantam.
Sekitar tahun 1960-an, sekelompok orang Laut mulai membuat pondokan di kawasan Kawal. "Awalnya sekitar 4-5 kepala keluarga yang datang dan menetap, namun saat ini sudah mencapai belasan kepala keluarga," kata Aman Arafah, sesepuh di permukiman tersebut.

Pemerintah pun sudah membantu membuatkan mereka beberapa pondokan serta mendata dan memberikan kartu tanda penduduk (KTP). Kini orang suku laut dapat terdata. Sebelum terdata, tak pernah ada bantuan yang datang menghampiri mereka.
Di tempat terpencil di pinggir Pulau Bintan ini jauh dari jangkauan PLN. Listrik yang mereka nikmati berasal generator yang diberlakukan secara swadaya. ''Benar-benar kami kelola sendiri,'' kata Aman.
Meski sudah menghuni pondokan panggung Aman dan warga lainnya masih seperti nenek moyang mereka, memiliki keterikatan kuat dengan laut. Sebagian besar kegiatan mereka tetaplah di laut. Menurut Aman, baginya daratan hanya sebagai tempat menguburkan jasad yang sudah mati, tidak untuk mencari nafkah.
Keberadaan suku ini tak luput dari budaya Melayu yang sangat kental. Meski demikian, mereka masih menganut paham animisme walaupun di KTP agama yang tertulis adalah Islam. "Ya di KTP kami disebut Islam," kata Santi dengan logat melayu khas yang sangat kental.
Jangan kaget, mereka tidak sepenuhnya pandai berbahasa Indonesia. Kehidupan yang berpindah-pindah memengaruhi struktur bahasa yang mereka pakai sehari-hari. Meski demikian, keberadaan mereka membuktikan, khususnya di Kepulauan Riau, sebuah kekhasan budaya yang mampu bertahan dengan kesederhanaan dan keunikannya.

Orang Laut dan Orang Bugis
Suku Laut tak hanya hidup di Pulau Bintan. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di pulau-pulau di Kepulauan Riau, Kepulauan Batam, dan pulau-pulau di lepas pantai timur Sumatra. Mereka juga didapatkan di Semenanjung Malaya bagian selatan.
Berbagai sumber menyebutkan, suku Laut merupakan pendukung setia sultan Malaka dan Johor. Namun, saat Sultan Mahmud Syah, sultan terakhir Johor dari keturunan Malaka, terbunuh pada 1699, dukungan suku ini di perairan berakhir. Sebab, mereka mencurigai keterlibatan penggantinya, yang berasal dari keturunan Bendahara, atas pembunuhan sultan.
Suku Laut memberi dukungannya kepada Raja Kecil, yang berasal dari Minangkabau, ketika mengklaim takhta Johor pada 1718. Namun, keturunan Bendahara berhasil merebut kembali tahta Johor dengan bantuan orang-orang Bugis. Peran penjaga Selat Malaka pun mulai diisi oleh suku Bugis.
Disadur dari Harian Republika edisi 14 Juni 2015 dengan reportase Winda Destiana Putri
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.