Puisi Pahit Gula | Daan Yahya/Republika

Sastra

Pahit Gula

Puisi-puisi Faris Al Faisal

Oleh FARIS AL FAISAL

Pahit Gula

 

Emper rumah yang condong ke barat. Seorang lelaki yang pernah keparat. Duduk menatap ke jalan. Cahaya kunyit pudar tak berpendar. Sore melintas. Bus malam sebentar lagi berhenti tepat di depan regol yang ditinggal pergi pintu. Entah kemana. Mata kosong, tangan kosong. Dahi mengkerut, nyali menciut. Hidup tanpa bekal hari menua. Bagaimana menempuhinya? Angin kedua menampar-nampar pipinya yang tak berdaging.  

 

sunyi bukit tanpa kekasih

sejarah pahit tanpa gula

ratap pucuk mulut mungil ilalang

mendengar instrumental geludug

sayap rebah

sesal derik jangkrik

memanjang

tahun-tahun terakhir

akankah berakhir damai 

 

2024

***

 

Cahaya Kelekatu

 

Lorong mata ini menabrak malam. Bertambah kelam. Tunggu! Ada cahaya kelekatu mendarat di seberang jalan. Sayapnya merangkul ranting delima. Mungkin patah di sana. Tak ada reaksi setelah itu kecuali angin yang diam, menengadah ke langit hitam. Tak ada bulan lewat, tak juga pesawat. Jangan terlalu lama. Dengan cepat pikiran mengambil alih kendara. Kendali tali kekang yang menegang kencang. 

 

tanpa terpejam

tetap berjalan, jalan

kepada arah mimpi

yang dulu

kau bilang itu masa depan

—kita, 

 

sudahkah k(a)utemukan

kemana perginya

sebutir air mata 

jatuh jadi bintang

 

2024

***

 

Kecamuk

 

Amuk kecamuk membuat tarian. Menayangkan sebuah siaran Live. Ribuan pasang mata menonton. Aku jadi gemuruh. Kalahkan ombak dan badai. Terus menerus seperti sekumpulan bunga bakung emas. Di antara kembara angin. Meliuk di pinggang bukit lalu pergi dalam sajak sunyi. Setelah itu yang ada hanya kekosongan; termangu; terdiam (sedih, kecewa, bingung, dan selebihnya terkejut).

 

membentang garis pantai

pertunjukan belum berakhir

mengapung duka laut

cangkang kerang dan sisik peluh

tak habis-habis   

sepanjang teluk

muara hening

terlihat bening

dan memanggilku

 

2024

***

 

Kincir Kepala

 

Manusia menciptakan kecerdasan. Memutar kincir di kepalanya. Membuka tabir dan kemustahilan. Bermain kegaiban, terbentang banyak kemungkinan. Luas jangkauan, memacu kuda kreativitas dan lari melaju. Ke dunia lain, ke alam lain. Yang asing, yang menarik, yang mencemaskan, yang mencengangkan. Puluhan tahun ke depan, yang bersambungan. Mewujud dalam garis tiada akhir.

 

hidup yang terus hidup

bersama intelegensi

terkadang bercampur kepahitan

empedu, racun teknologi

seseorang 

harus melewati hari

dan hari-hari berikutnya

tanpa terasa

semua telah merampasnya

atau ia bertemu bahagia

 

2024

*** 

 

Memoar Napas

 

Tidak selembar pun halaman hari terlewat, kecuali memoar napas yang menunggu putus. Cahaya hidup yang sudah redup. Di sana tak terdengar kata-kata manis. Lezat dunia telah berganti, berganti keIezatan lain. Katamu, “Mati! Itu yang kumau.” Si sakit benar-benar sudah sakit. Kehampaan yang bercampur kekosongan. Aku menatap iba, tapi kutahu ia tak peduli.

 

besi ranjang yang dingin

kesendirian purna

seolah di tepi teluk 

inikah hari-hari akhir?

dua-tiga hari berlalu

di pagi berkabut

maut menjemput

memanggilnya dengan lembut

 

2024

***

 

Faris Al Faisal, penyair dan pendiri Rumah Puisi. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Indramayu dan Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu. Penerima Anugerah Seni dan Budaya Kategori Bahasa dari Pemerintah Kabupaten Indramayu Tahun 2024.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat