Mengatur keuangan dengan single income (ilustrasi) | Freepik

Perencanaan

Keuangan Terganggu Akibat Pandemi? Simak Solusinya

Ketidakpastian akibat pandemi menghadirkan risiko keuangan tersendiri.

Sebagai suami, Cecep Sugiri mengambil peran utama sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Karyawan swasta yang berdomisili di Kota Bogor itu menyampaikan alasan menjadi satu-satunya tulang punggung di rumahnya.

"Sebelumnya istri bekerja saat awal berumah tangga, kemudian ingin fokus di rumah mengurus anak. Kebetulan saat ini istri sedang hamil anak kedua juga," kata pria yang biasa disapa Giri itu kepada Republika.

Dia mengaku tidak keberatan dan selalu membebaskan pilihan sang istri, apakah ingin bekerja maupun di rumah saja. Selama ini, mereka berdua sudah mengetahui hak dan kewajiban masing-masing sebagai pasangan.

Pria 29 tahun itu menyampaikan caranya mengatur keuangan dengan seimbang bersama istri. Mereka memilah kebutuhan menjadi tiga poin. Pertama adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Itu termasuk berbagai tagihan (listrik, air, dan lainnya) serta uang dapur untuk memasak.

Kedua, bagian untuk diberikan kepada orang tua. Ketiga, untuk tabungan dan rekreasi seperti makan di luar atau berjalan-jalan. "Namun tetap dalam kontrol, artinya kami masih memprioritaskan di tabungan. Menabung yang banyak karena kami juga punya planning dari tabungan tersebut," ujar Giri.

Menurut Giri, tantangan sebagai tulang punggung keluarga selalu ada, terlepas dari masa pandemi atau tidak. Akan tetapi, dia bersyukur perusahaan tempatnya bekerja tidak terdampak signifikan oleh pandemi lantaran tidak ada pemotongan gaji atau hilangnya tunjangan lain untuk karyawan. Perbedaan yang dihadapi Giri hanya perkara skema bekerja dari rumah dan bekerja dari kantor yang diatur secara bergantian.

Untuk rencana jangka panjang, Giri terbersit untuk mengejar jenjang karier yang lebih baik di masa mendatang. Dia ingin menjajal pengalaman kerja berbeda dengan level lebih tinggi, namun agaknya masih beberapa tahun lagi.

Untuk saat ini, investasi yang dia miliki bersama istri adalah kepemilikan rumah, selain rencana lain memiliki kendaraan baru. Tabungan masa depan anak juga akan dia rancang saat anaknya menginjak usia tiga atau empat tahun.

photo
Mengatur keuangan dengan single income (ilustrasi) - (Freepik)

Bagi perencana keuangan Metta Anggriani, secara umum tulang punggung keluarga di Indonesia memang ada di posisi suami. Meski demikian, istri yang bekerja juga banyak dijumpai di kota-kota besar.

Tidak ada yang salah di antara keduanya, hanya soal perbedaan jumlah sumber pendapatan. Keluarga dengan pendapatan tunggal (single income) tentu punya tantangan berbeda dengan pendapatan ganda (double income). "Secara umum, dengan double income bisa lebih menguatkan sementara single income punya risiko karena ketidakpastian akibat pandemi," ucap pendiri layanan konsultasi keuangan Anggriani & Partners itu.

Saat pandemi, ada risiko resesi, krisis ekonomi, hingga bisnis yang menurun. Metta menyampaikan tidak sedikit perusahaan memberlakukan pemotongan gaji, peniadaan bonus, bahkan merumahkan atau memecat karyawan.

Meski begitu, derajat risiko berbeda bagi tiap orang. Karyawan yang bekerja di perusahaan multinasional kemungkinan masih stabil, berbeda dengan yang bekerja di perusahaan relatif menengah ke bawah.

Begitu pula pekerja freelance atau yang mengandalkan pendapatan dari bisnis yang sangat terdampak pandemi. Misalnya, industri pariwisata atau penyelenggaraan acara yang terpukul cukup berat.

 

 

 

Dengan double income bisa lebih menguatkan sementara single income punya risiko karena ketidakpastian akibat pandemi.

METTA ANGGRIANI, Perencana keuangan
 

 

Atur Anggaran dengan Cermat

Bagaimana dengan sang tulang punggung keluarga yang punya banyak tanggungan? Perencana keuangan Metta Anggriani menyarankan mengatur anggaran dengan cermat. Pengaturan keuangan rumah tangga harus benar-benar dikalkulasikan.

Caranya, menghitung semua pihak yang ditanggung, misalnya suami, istri, anak, dan orang tua. Pos pengeluaran bisa dibagi menjadi tiga kategori, antara lain yang "wajib", "butuh", dan "ingin", supaya memudahkan pengaturan.

Peraih gelar Master of Science dari Jurusan Bisnis Internasional Universitas Stirling di Skotlandia, Britania Raya, itu menjelaskan tentang pos "wajib" yaitu wajib dibayar agar kehidupan sehari-hari tidak terganggu.

Contohnya, membeli kebutuhan pokok, uang makan, cicilan KPR, sewa rumah, dan tagihan listrik. Untuk pos "butuh", misalnya sabun cuci, sabun mandi, atau produk perawatan kulit yang dibutuhkan keluarga.

Pos "ingin" adalah kebutuhan tersier, keperluan ekstra seperti uang liburan. "Kita sendiri yang bisa membuat bujet, mana pos "wajib", "butuh", dan "ingin". Sesuaikan dengan kemampuan," ungkap Metta.

Dengan memiliki skala prioritas anggaran, keluarga bisa mengetahui bagian mana yang harus dikorbankan ketika kemampuan ekonomi berkurang. Misalnya, mengesampingkan uang untuk gaya hidup demi memenuhi kebutuhan pokok.

Selain merancang anggaran dengan cermat, solusi lain yang disampaikan Metta adalah suami dan istri perlu melihat kondisi yang dihadapi secara objektif. Utamanya, apakah penghasilan sudah bisa memenuhi kebutuhan.

Jika belum mencukupi, tidak ada salahnya menambah sumber pendapatan dalam keluarga, tidak hanya dari satu tulang punggung. Misalnya, kedua belah pihak yakni suami dan istri sama-sama bekerja.

Apabila sudah mencapai usia dewasa atau produktif, anak juga bisa mencari cara kreatif untuk menambah sumber pendapatan keluarga. Sejak awal pandemi, tidak sedikit orang yang memulai bisnis atau jualan daring. "Kalau banyak sumber mengapa tidak, ikut mencari bantuan tambahan income, sepanjang kerja halal dengan usaha dan keringat sendiri, bukan mencuri atau menipu orang," tutur Metta.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat