Sunarsip | Daan Yahya | Republika

Analisis

Restrukturisasi BUMN

Restrukturisasi dilakukan hampir terhadap seluruh BUMN, termasuk BUMN-BUMN besar.

Oleh SUNARSIP

OLEH SUNARSIP

Dahulu, di awal-awal terbentuknya Kementerian BUMN, kata “restrukturisasi” selalu digandengkan dengan kata “privatisasi”. Itulah mengapa di dalam dokumen Master Plan BUMN yang pertama pada 1999, kebetulan saya masih menyimpan dokumen tersebut, selalu menyebut kata “Restrukturisasi dan Privatisasi” sebagai satu kesatuan. Mungkin karena kebutuhan. Apa kira-kira kebutuhannya?

Sebagai informasi, Kementerian BUMN dahulu dibentuk pada masa krisis di era pemerintahan Presiden Soeharto. Karena krisis, banyak perusahaan (termasuk BUMN) yang merugi bahkan bangkrut. Di sisi lain, pemerintah juga butuh dana untuk menutup defisit APBN yang membengkak. 

Sesuai saran IMF, salah satu caranya adalah memprivatisasikan BUMN, lalu hasilnya dipakai untuk menutup defisit APBN. Namun, karena waktu itu banyak BUMN yang merugi maka sebelum diprivatisasikan, BUMN tersebut direstrukturisasi dahulu. Jadi tahapannya adalah restrukturisasi lalu privatisasi.

Restrukturisasi dilakukan hampir terhadap seluruh BUMN, termasuk BUMN-BUMN besar, yang sebelum terjadi krisis menguntungkan. Tidak mengherankan, bila stigma restrukturisasi BUMN waktu itu kurang bagus di mata publik. Karena restrukturisasi hanya menjadi sarana untuk memprivatisasikan BUMN, terutama BUMN besar dalam rangka memperoleh dana untuk menutup defisit APBN.

 

 
Restrukturisasi dilakukan hampir terhadap seluruh BUMN, termasuk BUMN-BUMN besar, yang sebelum terjadi krisis menguntungkan. 
 
 

Sudah banyak BUMN besar yang diprivatisasikan saat itu. Ada yang diprivatisasikan melalui go public ataupun penjualan ke investor melalui private placement. Beberapa kalangan menyebut, selain untuk menutupi defisit APBN, privatisasi juga penting untuk meningkatkan kinerja BUMN. 

 

Pendapat bahwa privatisasi dapat meningkatkan kinerja BUMN mungkin benar. Karena faktanya, beberapa BUMN yang telah diprivatisasikan kini kinerjanya bagus, meskipun terdapat pula beberapa BUMN yang kondisinya masih berat.

Joseph E Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi, dalam bukunya berjudul The Rebel Within yang terbit pada 2001 menyebutkan, kompetisi memiliki peran lebih besar dalam mendorong kinerja BUMN dibandingkan aspek kepemilikan (ownership). Stiglitz memberikan contoh perbandingan antara Cina dan Rusia. 

Pada era 1990-an, Cina lebih fokus memperluas kompetisi dan tidak melakukan privatisasi. Cina membentuk banyak BUMN yang memiliki bisnis sejenis dalam rangka menciptakan persaingan. Rusia sebaliknya, memperbesar privatisasi tanpa mendorong kompetisi. Hasilnya, BUMN dan ekonomi Cina tumbuh lebih pesat, sebaliknya ekonomi Rusia justru sering didera krisis.

 
Restrukturisasi BUMN kini tidak lagi identik dengan upaya penyehatan dalam rangka privatisasi. 
 
 

Dalam perjalanannya, kebijakan restrukturisasi BUMN di Indonesia mengalami pergeseran. Restrukturisasi BUMN kini tidak lagi identik dengan upaya penyehatan dalam rangka privatisasi. Restrukturisasi kini banyak pula dilakukan untuk penguatan bisnis, antara lain, melalui merger/akuisisi dan pembentukan holding

Sasarannya agar BUMN memiliki size lebih besar dan lebih efisien dalam infrastruktur. Tentunya, terdapat pula restrukturisasi dalam rangka penyehatan, terutama pada BUMN-BUMN yang skalanya kecil.

Dalam dua minggu terakhir, sejumlah media memberitakan bahwa pemerintah (Kementerian BUMN) sedang melakukan restrukturisasi BUMN. Dari berbagai pemberitaan, setidaknya terdapat dua fokus restrukturisasi yang dilakukan. 

Pertama, konsolidasi BUMN sejenis dalam satu holding. Kedua, restrukturisasi terhadap BUMN-BUMN kecil. Sasarannya, merampingkan jumlah sekaligus menguatkan skala bisnis BUMN. Salah satu topik yang mengemuka di tengah upaya restrukturisasi adalah Kementerian BUMN akan melikuidasi tujuh BUMN, yang sudah lama tidak beroperasi pada tahun ini.

Terkait kebijakan restrukturisasi ini, saya menggarisbawahi beberapa hal berikut. Pertama, restrukturisasi melalui konsolidasi hendaknya dapat menghasilkan BUMN yang mampu menjadi identitas (ikon) yang menonjol di kancah internasional, sebagaimana Malaysia dengan Petronas, Singapura dengan Temasek, atau Cina dengan State Grid-nya. Mereka mampu menjadi ikon yang diperhitungkan di kancah internasional karena kemampuannya dalam memaksimalkan peran sebagai holding dalam hal pendanaan ataupun penguatan lini bisnisnya (hulu hilir) di domestik dan pasar global.

 
Restrukturisasi melalui konsolidasi hendaknya dapat menghasilkan BUMN yang mampu menjadi identitas (ikon) yang menonjol di kancah internasional.
 
 

Indonesia memiliki peluang yang sama dengan ketiga negara di atas. Tentunya, dalam sektor usaha yang berbeda. Indonesia dikenal sebagai negara penghasil komoditas pertanian. Kita memiliki BUMN perkebunan dan BUMN pangan. Holding perkebunan telah terbentuk dan ekspektasi ketika didirikan akan menjadi holding perkebunan terbesar di dunia. 

Kementerian BUMN juga sedang menyiapkan holding BUMN pangan yang diharapkan, dapat mengintegrasikan seluruh value chain pengadaan pangan di Indonesia. Nah, kalau holding BUMN ini berjalan sesuai ekspektasi, tentunya dapat menjadi ikon kita di dunia internasional. Tampaknya, ekspektasi inilah yang perlu didorong agar dapat terwujud.

Kedua, restrukturisasi hendaknya tidak ditempatkan sebagai pintu masuk privatisasi (jual), sekalipun itu bukan sesuatu yang terlarang. Opsi jual hendaknya ditempatkan sebagai opsi terakhir. Ini mengingat, BUMN kecil yang perkembangannya lambat umumnya karena keterbatasan pasar dan modal kerja. 

Salah satu strateginya adalah dengan mengalihkannya ke BUMN yang lebih besar dan memiliki bisnis relatif sama. Kemudian, oleh BUMN “pengakuisisi”, BUMN yang kini menjadi anaknya dapat dikonsolidasikan dengan unit bisnis eksisting lainnya. Opsi jual dimungkinkan bila BUMN tersebut tidak memiliki prospek dan tidak terdapat ruang untuk dikonsolidasikan ke BUMN lain.

Ketiga, sebagai bagian dari restrukturisasi, pemerintah akan melikuidasi sejumlah BUMN yang sudah tidak beroperasi. Langkah ini positif untuk memberikan kepastian kepada pihak terkait (stakeholders), terutama karyawan. Yang perlu dipikirkan adalah konsekuensi akibat langkah likuidasi ini, antara lain, menyangkut kompensasi bagi karyawan seperti hak-hak pensiun (yang pada umumnya masih menggunakan skema pensiun manfaat pasti). Termasuk penyelesaian kewajiban kepada para krediturnya (bila masih ada). 

 
Strateginya adalah dengan melakukan spin-off terhadap unit bisnis BUMN yang akan dilikuidasi, yang memiliki prospek bagus.
 
 

Pendekatan penyelesaiannya dapat bermacam-macam. Bisa menggunakan pendekatan fiskal (sebagai risiko fiskal) ataupun pendekatan korporasi. Namun saya yakin, pemerintah tidak akan memilih opsi pendekatan risiko fiskal.

Menarik untuk dikaji pendekatan yang dipakai di Cina, sebagaimana diungkapkan oleh Jean C Oi (2006) dalam buku berjudul Managing Globalization: Lesson from China and India. Jean C Oi menulis Cina lebih memilih pendekatan korporasi untuk menyelesaikan konsekuensi likuidasi BUMN. 

Strateginya adalah dengan melakukan spin-off terhadap unit bisnis BUMN yang akan dilikuidasi, yang memiliki prospek bagus. Unit bisnis hasil spin-off ini lalu dikembangkan, dicarikan pendanaan melalui go public ataupun dengan menggandeng mitra investor.

Nah, dividen yang diperoleh dari unit bisnis hasil spin-off inilah yang dipakai untuk membayar kewajiban, khususnya terhadap karyawan yang terdampak lay-off. Dengan cara ini, konflik sosial dapat ditekan karena hak-hak karyawan dipenuhi dan tidak membebani pemerintah.

Restrukturisasi adalah keniscayaan bila kita menginginkan BUMN yang sehat dan kuat. Yang terpenting adalah pendekatan yang dipilih tentunya telah mempertimbangkan berbagai aspek, tidak hanya aspek korporasi, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi.

Dan tak kalah penting, selain melakukan restrukturisasi korporasi, restrukturisasi sektoral melalui penciptaan kompetisi juga perlu dilakukan untuk mendorong BUMN kita termotivasi memperbaiki kinerja. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat