Kendaraan melaju di jalan tol Trans Jawa ruas Ngawi-Kertosono kilometer 603-604 yang sepi di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Minggu (9/5/2021). | ANTARA FOTO/Siswowidodo

Opini

Lebaran tanpa Mudik

Sungguh ironis jika mudik ditiadakan, apalagi shalat Idul Fitri disarankan di rumah saja, tapi destinasi wisata dibuka lebar-lebar.

AKH MUZAKKI, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Mengelola publik dan kerumunan untuk menjaga keselamatan jiwa dari Covid-19 itu, persis memencet balon. Saat sisi kanan dipencet, sisi kiri melembung. Saat yang kiri dipencet, sisi kanan menggelembung.

Saat sisi kanan dan kiri ditekan bersamaan, bagian tengah balon jadi mengembang. Untuk konteks penanganan Covid-19, kata “memencet” dan “menekan” dalam ilustrasi di atas mengandung arti tindakan pembatasan dan pengetatan atas mobilitas warga.

Kata “melembung”, “menggelembung”, dan “mengembang” merujuk pada kerumunan yang membesar. Kedua substansi itu harus ditunaikan secara saksama dan bijak. Apalagi,  semua memahami, penularan virus korona terjadi dari orang ke orang.

Lebaran tahun ini dihiasi kebijakan pembatasan mobilitas sosial yang berujung pada peniadaan mudik. Ini dilakukan melalui Surat Edaran (SE) Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021, yang mengatur pembatasan sosial yang berdimensi pelarangan mudik.

 
Mengelola publik dan kerumunan untuk menjaga keselamatan jiwa dari Covid-19 itu, persis memencet balon.
 
 

Melalui pembatasan, pengetatan, dan penyekatan akses keluar- masuk kota, mudik pun bisa dibatasi sedemikian rupa. Gelombang besar pergerakan orang antarkota dan antarprovinsi bisa dikendalikan dengan cukup baik.

Hanya mereka yang memiliki surat keterangan kedaruratan, seperti urusan pekerjaan rutin dan kematian, yang bisa melakukan perjalanan lintas kota lintas provinsi.

Akhirnya, mobilitas orang hanya di internal kota atau kabupaten, atau lintas kota atau kabupaten dalam batas rayon kewilayahan tertentu. Lebih dari itu, tidak terjadi mobilitas orang. Pada titik ini, pembatasan bahkan penyekatan bisa menekan orang tidak mudik.

Namun, ada dua masalah problematik ikutan yang harus dipecahkan pemerintah terkait kerumunan. Ini terkait aktivitas sebelum dan sesudah pelaksanaan shalat Idul Fitri.

Pertama, masalah sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri mewujud dalam bentuk potensi kerumunan di mal atau pusat perbelanjaan di internal sebuah kota atau kabupaten.  

Setelah orang dipaksa “berdiam diri”, kedaruratan yang harus ditangani  pemerintah terkait kecenderungan orang memenuhi kebutuhan konsumtif, seperti pakaian baru dan makanan-minuman Lebaran di berbagai mal atau pusat perbelanjaan.

 
Untuk itu, pemerintah mesti tegas melakukan pembatasan, pengetatan, bahkan penyekatan di mal atau pusat-pusat perbelanjaan di internal kabupatan/kota.
 
 

Hari-hari ini, pusat perbelanjaan di berbagai daerah dilaporkan penuh sesak pengunjung. Pembatasan jumlah pengunjung hingga pengaturan jalur jalan orang, jebol menyusul gelombang besar orang yang berkehendak memenuhi kebutuhan konsumtif mereka.

Pembatasan, pengetatan, bahkan penyekatan akhirnya tak mampu dipertahankan. Kita pun lalu bisa mendapati berita teks ataupun foto dan video yang beredar luas dari kerumunan akut yang terjadi di pusat perbelanjaan.

Untuk itu, pemerintah mesti tegas melakukan pembatasan, pengetatan, bahkan penyekatan di mal atau pusat-pusat perbelanjaan di internal kabupatan/kota. Jika tidak, Lebaran bisa menjadi momentum bagi meningginya penularan Covid-19.

Itu persis seperti memencet balon yang dilakukan secara tidak cermat dan tidak bijak, yang berakibat mengembang dan menggelembungnya sisi lain balon.

Problem kedua, yang harus mendapatkan solusi kebijakan tepat dan tegas pemerintah adalah penanganan potensi kerumunan dan atau pertemuan orang dalam jumlah besar di berbagai titik destinasi wisata.

Kecenderungan ini biasanya terjadi dan dilakukan orang pada momen dan hari setelah shalat Idul Fitri. Sebab, keluar kota tidak mungkin dilakukan, maka mereka segera mencari alternatif tempat wisata di internal daerah tempat tinggal di kabupaten atau kotanya.

Kajian Dompet Dhuafa (lihat Purwakananta dkk, Ekonomi Mudik: 2011) penting dijadikan rujukan. Berwisata adalah salah satu kegiatan ikutan Lebaran, khususnya terkait mudik.

Dalam sekali ritual mudik 2010, misalnya, wisata menyumbang besaran tertentu pada perputaran uang di balik mudik Lebaran yang mencapai Rp 84,9 triliun. Perinciannya, 56 persen dari total dana di antaranya untuk memenuhi biaya akomodasi dan wisata.

Nah, saat mudik kini dilarang maka wisata dengan potensi perputaran uang besar seperti ditemukan pada 10 tahun lalu itu, akan segera menjadi tambatan akhir pelampiasan warga masyarakat saat ini di wilayah tinggal masing-masing.

 
Sungguh ironis jika mudik ditiadakan, apalagi shalat Idul Fitri disarankan di rumah saja, tapi destinasi wisata dibuka lebar-lebar.
 
 

Sungguh ironis jika mudik ditiadakan, apalagi shalat Idul Fitri disarankan di rumah saja, tapi destinasi wisata dibuka lebar-lebar. Jika ditutup tidak mungkin dilakukan atas nama penguatan ekonomi, pengaturan operasional destinasi wisata harus ketat.

Pengetatan jumlah pengunjung, waktu kunjung, hingga [jika diperlukan] penyekatan area pada destinasi wisata adalah contoh opsi yang layak diambil sebagai perwujudan dari prinsip konsistensi dan komitmen kepada substansi pembatasan mobilitas sosial.

Tanpa pengaturan, makna dasar dari maksud pembatasan mobilitas sosial yang berujung pada peniadaan mudik Lebaran akan menuju arah kontradiksi dengan praktik pengelolaan potensi kerumunan di tempat wisata.    

Karena itu, pembatasan mobilitas dalam bentuk pengetatan dan penyekatan titik perbatasan kota bagi yang hendak mudik, mestinya disempurnakan dengan ketegasan mengelola potensi kerumunan di pusat perbelanjaan dan destinasi wisata pasca-shalat Idul Fitri.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat