KH Mandhur, seorang ulama dari Temanggung, Jawa Tengah. Pada zaman revolusi, dirinya turut terlibat dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan RI. | DOK IST

Mujadid

KH Mandhur, Ulama Pejuang dari Temanggung

KH Mandhur turut menggembleng para pejuang di Parakan dengan mengambil hikmah dari Alquran.

OLEH MUHYIDDIN

Dalam sejarah perjuangan bangsa, alim ulama berperan besar. Mereka turut mendorong kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan. Pada masa revolusi, kalangan pesantren berjuang untuk mempertahankan kedaulatan negeri dari tangan-tangan asing yang hendak menindas kembali.

Di Jawa Tengah, salah seorang mubaligh yang turut menggerakkan perjuangan ialah KH Mandhur. Sesudah munculnya Resolusi Jihad yang dimotori Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, ulama asal Temanggung itu bergabung dalam Barisan Bambu Runcing. Laskar yang juga disebut sebagai Barisan Muslimin Temanggung itu dikomandoi seorang dai pula yang bernama KH Subkhi.

Nur Azisah dalam penelitiannya yang berjudul “Biografi KH Mandhur dan Perannya dalam Perang Kemerdekaan Indonesia di Temanggung Tahun 1945-1949” menjelaskan, tokoh ini lahir di Parakan, Temanggung, pada 1862 M. Ayahnya, Joyo Jendul, merupakan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro.

Kala itu, bangsawan Yogyakarta tersebut sedang berperang melawan Kompeni Belanda. Parakan termasuk dalam wilayah perjuangan sang pangeran.

Sejak kecil, Mandhur dididik untuk memahami ilmu-ilmu agama. Joyo Jendul menggembleng anaknya itu agar pandai mengaji Alquran dan mencintai Islam. Tidak hanya di rumah, masjid menjadi tempatnya menimba ilmu. Khususnya selepas waktu Subuh dan Maghrib, anak lelaki ini selalu mengaji. Di luar jam-jam belajar, dia juga kerap membantu orang tuanya membuat keranjang, yang kemudian dijual di pasar.

Mandhur kecil memiliki semangat tinggi dalam mengaji ilmu-ilmu agama. Karena itu, dia pernah meminta kepada ayahnya untuk didaftarkan pada sebuah pesantren. Lembaga tradisional ini berlokasi cukup jauh dari kediamannya. Joyo Jendul lantas memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren Punduh, Magelang.

 
Mandhur kecil memiliki semangat tinggi dalam mengaji ilmu-ilmu agama.
 
 

Usai belajar di sana, Mandhur meneruskan rihlah keilmuannya ke pondok pesantren yang lebih besar di Jawa Timur. Hingga akhirnya, ia berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Pemuda ini juga sempat berbaiat kepada seorang mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Magelang, yaitu KH Umar.

Setelah merasa cukup mencari ilmu, Mandhur muda kembali ke kampung halamannya. Beberapa waktu kemudian, dia menikah. Setelah berumah tangga, ia menetap di Dusun Ngebel, Desa Kedungumpul, Kandangan, Temanggung.

Di sana, anak pejuang Perang Diponegoro itu dihormati masyarakat setempat sebagai dai. Atas inisiatifnya, berdirilah Masjid at-Takwa sebagai pusat kerohanian penduduk Kandangan. Lahan masjid tersebut merupakan hibah dari mertuanya.

Sekitar tahun 1924, area sekitar Masjid at-Takwa telah berfungsi sebagaimana lingkungan pesantren. Maka, Kiai Mandhur membangun sejumlah bangunan kamar tempat tinggal para santri.

Untuk itu, masyarakat setempat bersedia membantu secara gotong royong. Kebersamaan itu pun membuahkan hasil. Dari bulan ke bulan, kawasan tersebut semakin menunjukkan kekhasan pesantren. Akhirnya, berdirilah lembaga yang bernama Pondok Pesantren al-Falah di sana.

Keberadaan institusi itu tidak hanya membawa berkah bagi penduduk Dusun Ngebel, tetapi juga masyarakat Temanggung pada umumnya. Santri-santri yang belajar di pondok tersebut berasal dari berbagai daerah. Selama beberapa lama, Kiai Mandhur menjadi pengasuh pesantren itu. Kesehariannya dijalani dengan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada para santri dan penduduk Muslim setempat.

 
Pada masa revolusi, banyak laskar yang digemblengnya sebelum berperang melawan penjajah NICA.
 
 

Selain mengasuh pondok pesantren, sang kiai pun aktif dalam dunia organisasi. Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) menjadi tempatnya berkiprah. NU berdiri sejak 1926 M atas dorongan para ulama tradisionalis Islam, utamanya KH Hasyim Asy’ari. Di sana, Kiai Mandhur sempat mengemban amanah sebagai rais syuriyah NU Cabang Temanggung. Markasnya saat itu berada di Parakan.

KH Mandhur merupakan seorang pengasuh pondok pesantren sekaligus sebagai seorang pendakwah agama Islam. Selain aktif berdakwah lewat pesantren, ia juga aktif berdakwah di tengah-tengah masyarakat Temanggung.

Kiai Mandhur bersama kiai dan ulama di Parakan selalu mengingatkan kepada para pejuang kemerdekaan. Pada masa revolusi, banyak laskar yang digemblengnya sebelum berperang melawan penjajah NICA. Mereka ditekankan agar selalu ingat kepada Allah (zikrullah) serta melakukan seluruh kewajiban sebagai Muslim.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, ia ikut dalam penggemblengan para pemuda. Mereka mendapatkan bimbingan rohani sebelum terjun ke medan jihad. Dalam proses tersebut, Kiai Mandhur bersama para ulama se-Parakan memberikan pelbagai doa dan wejangan kepada para pemuda Muslim itu agar selalu kuat, iman maupun fisik.

Bambu Runcing

KH Mandhur merupakan salah satu ulama yang hadir dalam musyawarah pembentukan Barisan Muslimin Temanggung atau Barisan Bambu Runcing. Rapat ini dihadiri para kiai sedaerah Temanggung pada 30 Oktober 1945.

Dalam perkumpulan musyawarah tersebut, para alim ulama yang dituakan diminta untuk melakukan penyepuhan senjata para laskar. Harapannya, itu akan berdampak positif bagi perjuangan mereka dalam melawan penjajah NICA. Dengan adanya perkumpulan kiai tersebut, terbentuklah Barisan Bambu Runcing di Parakan.

Dalam musyawarah ini, KH Mandhur ditunjuk sebagai pemimpin. Namun, ia menyadari bahwa di dalam forum tersebut ada yang lebih sepuh darinya. Ia pun sempat merasa kurang berhak atas kepemimpinan tersebut.

Karena itu, kepemimpinan atas Barisan Bambu Runcing disarankannya untuk KH Subkhi. Pada waktu itu, umur dai kelahiran Parakan Kauman itu memang paling sepuh. Akhirnya disepakati, KH Subkhi-lah yang memimpin Barisan Muslimin Temanggung.

Walaupun secara tertulis tidak mendapatkan tugas dalam penyepuhan bambu runcing, KH Mandhur tetap berperan dalam menyumbangkan doa-doa kepada para laskar. Bacaan munajat itu digunakan untuk menyepuh senjata bambu runcing. Sang kiai bahkan termasuk yang paling banyak dalam memberikan doa-doa untuk keperluan itu.

 
Sang kiai bahkan termasuk yang paling banyak dalam memberikan doa-doa untuk keperluan itu.
 
 

Pengaruh doa dari para kiai Bambu Runcing menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemuda untuk datang ke Parakan. Kereta api luar biasa (KLB) jurusan Parakan bahkan penuh sesak oleh para laskar. Mereka ingin meminta doa dan wejangan dari para kiai setempat.

Dengan begitu, KH Mandhur bersama para kiai lainnya menjadi sibuk. Pada saat itu, pemberian doa dan wejangan dibagi beberapa tempat yang mana masing-masing dipimpin oleh KH Mandhur, KH Ali, KH Nawawi dan pemimpin Barisan Bambu Runcing yaitu KH Subkhi. Salah seorang peserta yang datang ke Parakan ialah Sudirman. Pria ini di kemudian hari menjadi jenderal besar TNI.

Kemudian KH Mandhur yang melihat hal itu menyuruh KH Saifuddin Zuhri untuk melihat dari dekat kegiatan gemblengan yang dilakukan Barisan Bambu Runcing. Karena, KH Mandhur merasa khawatir akan adanya fitnah oleh orang-orang yang tidak menyukai dan tidak mendukungnya.

Di waktu lain, Kota Parakan juga pernah kedatangan tiga tokoh yang sangat berpengaruh terhadap kemerdekaan Indonesia yaitu KH A Wahid Hasyim, KH Masykur, dan KH Zaenul Arifin. Para tokoh tersebut didampingi oleh KH Saifuddin Zuhri untuk bertemu dengan KH Subkhi.

 
Salah seorang peserta yang datang ke Parakan ialah Sudirman. Pria ini di kemudian hari menjadi jenderal besar TNI.
 
 

Setelah KH Wahid Hasyim meninggalkan Kota Parakan, KH Mandhur yang waktu itu menjadi pemimpin Sabilillah tetap berada di Parakan untuk memusyawarahkan tentang hari-hari mendatang bagi Parakan. KH Saifuddin Zuhri kemudian mengusulkan bahwa penyepuhan tidak harus dilakukan oleh KH Subkhi dikarenakan umurnya yang sudah 90 tahun lebih.

Hal itu juga dapat menganggu kesehatan KH Subkhi kalau setiap hari harus menemui ribuan tamu yang datang. Dengan begitu diusulkan agar KH Mandhur dan KH Nawawi yang melakukan penyepuhan.

Menurut buku yang ditulis oleh KH Istachori Syam’ani, KH Mandhur dulu menjabat sebagai pemimpin BMT Daerah Temanggung, yang mana pada waktu itu dibentuk perwakilan-perwakilan BMT disetiap daerah untuk memudahkan para pejuang.

Walaupun sudah ada perwakilan disetiap daerah seperti Jawa Timur, Pati, Krapyak, dan Cepiring, tapi para pejuang tetap datang ke Parakan Kabupaten Temanggung yang dipimpin oleh KH Mandhur. KH Mandhur turut menggembleng para pejuang di Parakan dengan mengambil hikmah dari Alquran, yaitu surah al-A’raf ayat 171.

Artinya, “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya agar kamu menjadi orang-orang bertakwa.”

photo
Masjid Agung Darussalam, Temanggung, Jawa Tengah. KH Mandhur (1862-1980) pernah menjadi imam besar untuk masjid tersebut. - (DOK KEMENAG)

Menjadi Imam Besar

Pada 1950, Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia. Masa revolusi pun usai. Berbagai daerah mulai kembali ke keadaan kondusif. Di Temanggung, Jawa Tengah, seorang ulama lokal KH Mandhur hendak kembali memulihkan Pondok Pesantren al-Falah yang dibangunnya dahulu.

Ketika NICA—rezim Hindia Belanda—masih bercokol di Nusantara, konsentrasinya lebih tercurah pada menyokong perjuangan laskar-laskar, yang berjibaku mempertahankan negeri.

Akan tetapi, niat Kiai Mandhur belum terlaksana. Sebab, dia terlebih dahulu mendapatkan surat perintah dari menteri agama RI saat itu, KH Abdul Wahid Hasyim. Dari Jakarta, surat itu berisi ajakan agar sang kiai bersedia menerima amanah sebagai Imam Masjid Agung Darussalam Temanggung. Dengan berat hati, dia pun menyanggupi permintaan itu.

Sejak itu, KH Mandhur pindah dari tempat tinggalnya semula ke pusat Kabupaten Temanggung. Hal itu lantaran dia lebih mudah dalam menjalankan pelbagai tugas selaku imam besar. Di sana, mubaligh kelahiran tahun 1862 ini menetap di rumah bekas orang Prancis. Letaknya persis di seberang Masjid Agung Darussalam.

Sebagai imam besar, ia kemudian menghidupkan kembali kegiatan pengajian jamaah tarekatnya. Biasanya, pengajian atau majelis zikir digelar di serambi masjid tersebut. Waktu pengajian digelar setiap malam Jumat. Adapun pengajian umum diadakan setiap hari Rabu.

Bersama jamaah tarekatnya, KH Mandhur dapat mendirikan pondok pesantren sendiri. Lokasinya terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya di pusat Temanggung. Lembaga ini kemudian dikenal sebagai Pondok Pesantren Mujahiddin.

Hingga kini, pesantren tersebut masih terus beroperasi. Pemimpinnya sekarang adalah putranya sang kiai, yaitu KH Ahmad Bandanuji.

Peran KH Mandhur memberikan warna tersendiri bagi masyarakat Temanggung. Ia sangat dihormati oleh penduduk setempat. Sampai sekarangpun masih banyak masyarakat Temanggung yang membicarakan Kiai Mandhur ketika menjadi imam masjid. Sebab, banyak cara unik yang dilakukannya. Umpamanya, memberikan tanda bunyi sirene ketika akan menyambut bulan suci Ramadhan atau menjelang Idul Fitri.

Pada 4 Rabiul Awal atau bertepatan pada 18 Februari 1980 M KH Mandhur berpulang ke rahmatullah. Ia meninggal dunia dalam usia 118 tahun. Banyak umat Isam di Temanggung yang ikut melakukan shalat jenazah untuk mengantar kepulangan KH Mandhur.

Mereka juga mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya di pemakaman Dusun Ngebel, Desa Kedungumpul, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Semua warga Temanggung terutama keluarga, para santri, dan juga masyarakat yang ada disekitanya mengisakkan tangis yang mendalam karena merasa kehilangan sosok ulama yang menjadi panutannya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat