Sejumlah calon penumpang beraktivitas di Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, Selasa (4/5). | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Tajuk

Sinyal Bahaya Mudik

Kita meminta agar pemerintah benar-benar memberi perhatian pada kebijakan mudik.

Pemerintah sudah menerapkan larangan mudik Lebaran tahun ini terhitung pada 6 Mei hingga 17 Mei 2021. Langkah itu dilakukan sebagai upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19 di dalam negeri.

Yang terjadi kini, gelombang mudik sudah terjadi. Banyak masyarakat mengejar untuk memilih pulang ke kampung lebih dahulu sebelum pelarangan ketat benar-benar diberlakukan. Pelanggaran-pelanggaran pun terjadi di lapangan untuk mengantisipasi pembatasan yang mulai diberlakukan. Mulai dari mengelabui petugas melalui jalan tikus, pemalsuan hasil tes PCR, pemalsuan trayek angkutan, dan sebagainya.

Sejak awal kita mengingatkan agar pemerintah bersikap tegas jika menerapkan larangan mudik. Tak perlu ada pembatasan waktu tanggal 6-17 Mei.  Terapkan saja larangan. Jika sebelum atau sesudah tanggal itu masyarakat boleh mudik, apakah virus korona sedang libur sehingga tidak menjadi ancaman?

 
Yang terjadi kini, gelombang mudik sudah terjadi.
 
 

Apalagi, Pemerintah RI melalui Kementerian Perhubungan juga memberikan kelonggaran berupa “mudik lokal”. Mudik lokal adalah pengecualian aktivitas bepergian terhadap wilayah tertentu selama periode larangan mudik Lebaran pada 6-17 Mei 2021. Kegiatan tersebut hanya berlaku di wilayah aglomerasi, yakni kabupaten/kota tertentu yang berdekatan.

Kita khawatir, kebijakan ini jika tidak disertai dengan kedisiplinan menjaga protokol kesehatan yang ketat, akan memberikan dampak yang buruk bagi upaya penanggulangan Covid-19. Peningkatan mobilitas penduduk akan berdampak pada penyebaran Covid-19.

Kita meminta agar pemerintah benar-benar memberi perhatian pada kebijakan mudik.  Pelarangan jangan tanggung-tanggung. Itu hanya memicu masyarakat menjadi bingung, dan mencari celah untuk melanggarnya.

Kebijakan mudik lokal sebaiknya tidak disosialisasikan sebagai pembolehan. Intinya, mudik tetap dilarang, kecuali memang benar-benar terpaksa harus dilakukan. Apa bedanya mudik lokal dengan tidak lokal? Itu tetap saja meningkatkan mobilitas penduduk, menciptakan kerumunan, yang pada akhirnya akan memicu peningkatan kasus Covid-19. Kita sudah mengalami beberapa kali pengalaman, yakni libur panjang menjadi pemicu peningkatan kasus Covid-19.

 
Kita meminta agar pemerintah benar-benar memberi perhatian pada kebijakan mudik. 
 
 

Tahun lalu, masyarakat cukup ketat menahan untuk tidak mudik. Tahun ini, kemungkinan hasrat untuk mudik akan lebih besar setelah menahan selama setahun. Survei  Indikator Politik Indonesia   menyebutkan, sekitar 20,8 persen masyarakat kemungkinan besar akan melakukan mudik pada Lebaran tahun ini, dan berkunjung kepada sanak saudara atau pergi ke tempat wisata.

Perinciannya, 20,8 persen masyarakat akan melakukan mudik, 2,9 persen sangat besar, 17,9 persen cukup besar, 38,6 persen kecil, 34,2 persen sangat kecil, dan sisanya tidak menjawab. Survei ini menggambarkan masyarakat tetap banyak yang akan mudik, baik lokal maupun tidak lokal.

Sekali lagi kita meminta agar kebijakan mudik ini jangan terlalu “lembek”. Tidak boleh, tetapi sebagian boleh. Dilarang, tetapi banyak pengecualian. Kita sudah mendapatkan hasil dari kebijakan yang setengah-setengah, dan hasilnya hanya memperpanjang penderitaan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat