Sampah plastik di laut | Unsplash

Keluarga

Mari Belajar Kurangi Sampah

Saat pandemi, masalah sampah menjadi lebih parah.

Menghasilkan sampah di bumi, rasanya menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan. Namun demikian, jika tak kita kelola persampahan yang kita hasilkan setiap hari, maka tak menutup kemungkinan bumi yang akan dihuni oleh anak cucu kita nanti akan penuh dengan sampah yang tak terbendung.

Konsultan Program Indonesia Indah Foundation Yuri Romero menyebut permasalahan sampah di Indonesia sangat serius. Terlebih, di era pandemi, isu mengenai sampah menjadi lebih parah. “Kalau kita di rumah saja, maka kita terpacu untuk membeli barang-barang secara daring. Hal itu pun berarti akan menambah lebih banyak sampah,” tutur Yuri.

Menurutnya, masalah utama dari isu persampahan di Indonesia adalah mengenai pola pikir masyarakat saat ini. Pola pikir masyarakat di setiap daerah pun berbeda-beda. Oleh karenanya, pendekatannya pun harus berbeda-beda pula.

Dengan bahasa Indonesia, menurut pengalamannya, dia bisa mengajak berkomunikasi dengan masyarakat kota untuk mengubah pola gaya hidup yang lebih nol sampah. Mereka pun, kata Yuri, juga sudah mau untuk berpindah kepada gaya hidup yang lebih nol sampah.

Sementara, hal itu sulit dilakukannya saat dia mencoba berkomunikasi dan melakukan pendekatan kepada masyarakat daerah. Selain terkendala bahasa daerah, ada sejumlah kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar dari dulu yang membuat masyarakat enggan untuk berpindah pola hidup nol sampah. “Misalnya di daerah Semeru, di mana tempat itu sangat indah. Tapi saya sangat kecewa dengan kondisi sungai yang banyak sampah di sana,” ungkap dia.

Dia menceritakan, orang-orang di sana memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai. Kebiasaan itu dibawa sejak 50 tahun yang lalu sampai dengan saat ini. Dulu mungkin masih tak masalah mengingat sampah yang dibuang ke sungai kebanyakan adalah sampah organik yang bisa terurai di alam. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sampah saat ini sudah lebih berwarna.

Tak hanya sampah organik, sampah anorganik seperti plastik juga tak luput dari kita dan ikut dibawa ke sungai. Hal itulah yang membuat kondisi alam menjadi tidak sehat, karena sungai tidak bisa mengurai plastik.

Dia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat yang perlu ditingkatkan, terutama edukasi mengenai lingkungan. Meskipun demikian, dia menyadari, untuk mengedukasi masyarakat pasti membutuhkan waktu.

Sementara, sampah-sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), semakin lama akan semakin menumpuk dan menggunung. Kapasitas TPA pun semakin lama akan semakin sempit.

Senada dengan Yuri, koordinator Hari Bersih Indonesia, Yunita mengatakan dengan edukasi, masyarakat akan menjadi lebih memahami bagaimana cara bertanggung jawab dengan sampahnya masing-masing. “Kita harus bisa memulai memilah sampah dari rumah lalu mengurangi sampah dengan mengurangi penggunaan barang yang bisa menghasilkan sampah, dan kita juga mencoba untuk membuat bank sampah agar kita bisa lebih tertib dalam memilah sampah,” tutur Yunita.

Dengan memilah dan mengolah sampah, maka tumpukan sampah yang dihasilkan pun tidak terlalu banyak. Setidaknya, sampah residu berkurang dan tidak semua sampah hanya pindah ke TPA.

“Kalau masih bisa kita daur ulang, kenapa tidak? Kalau masih bisa mengolah sampah organik dan sampah anorganik, kenapa tidak? Jadi edukasi itu yang paling penting dan berikan contoh kepada masyarakat,” ungkap dia.

 

photo
Beberapa wayang plastik contoh dibawa saat pelatihan membuat wayang plastik bersama seniman Ki Sardi Beib di Ndalem Pakuningratan, Yogyakarta, Kamis (8/4). Wayang plastik ini dibuat dari limbah botol air mineral. Satu wayang plastik ini memerlukan tiga sampai lima botol air mineral. Ki Sardi membuat wayang plastik ini akibat banyaknya sampah botol plastik yang tidak dimanfaatkan. Harga wayang plastik ini mulai Rp 800 ribu hingga Rp 1,5 juta tergantung ukurannya. - (Wihdan Hidayat / Republika)

Lebih Peduli pada Lingkungan Kita

Duta Hari Bersih Indonesia, Davina Veronica merasakan  setiap hal atau setiap kegiatan yang kita lakukan saat ini pasti akan berpengaruh kepada lingkungan. “Sebagai individu sebaiknya kita harus paham, bahwa apa yang kita lakukan, yang kita beli atau konsumsi, pasti ada dampaknya ke lingkungan,” ungkap Davina saat berbincang di ajang pertemuan virtual pada Februari lalu. 

Sebagai manusia yang berakal yang hidup di bumi, kata dia, kita harus memiliki pemikiran kritis dalam mengkonsumsi dan apa pun yang kita kerjakan selama di bumi. Dengan menyadari apa yang kita makan, kita beli, dan kita pakai, lanjut Davina, pasti memiliki dampak kepada lingkungan.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan kepada lingkungan adalah dengan menjadi lebih selektif dalam berbelanja. “Jadi maksudnya beli apa yang kita butuhkan saja,” ungkap Davina.

Dia menyadari, hal itu merupakan sebuah hal kecil sehingga tak bisa langsung mengurangi dampak kerusakan bumi. Namun demikian, jika hal kecil itu dilakukan secara bersama-sama dan kolektif, maka dia memastikan nantinya akan ada perubahan.

Langkah berikutnya yang bisa dilakukan adalah dengan memilah sampah organik dan sampah anorganik dalam skala rumah tangga. Setelah dipilah, dia menyalurkan sampah anorganik seperti sampah botol dan sampah plastik saset yang telah dikumpulkannya kepada agen-agen.

Dia menyadari, salah satu sampah anorganik yang masih sulit dikuranginya adalah sampah plastik saset yang dihasilkan dari kebutuhan memelihara hewan peliharaan. Namun demikian, dia terus mengurangi dan meminimalisasi kebutuhan itu.

Davina menceritakan pengalaman agen sebelumnya yang mengolah sampah plastik yang dihasilkannya. Mereka mengolah sampah plastik tersebut menjadi bahan bangunan. “Jadi kita sebagai individu juga harus rajin cari tahu bagaimana cara agar apa pun yang kita konsumsi itu bisa tidak tercemar dan kita tidak nyampah di bumi ini,” jelas dia.

Menurutnya, penting bagi kita untuk mengurai sampah plastik mengingat kebanyakan hal-hal yang kita pergunakan banyak mengandung plastik. Sebab, proses penguraian bahan plastik sangat sulit bagi alam dan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Selain memilah sampah anorganik, dia juga memilah sampah organik atau sampah yang bisa diuraikan. Dia menyebut, saat ini dia tengah belajar mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos.

Dengan lahan di rumah yang disebutnya kecil, dia berusaha memanfaatkannya sebagai lahan membuat kompos. Bersama dengan temannya yang juga aktivis lingkungan, dia belajar bagaimana cara mengolah sampah organik menjadi hal yang lebih berguna lagi. “Jika kemarin-kemarin sampah basah aku biarkan, sekarang sampah basah atau sampah makanan mulai aku olah sendiri menjadi pupuk kompos,” jelas dia.

 
Sekarang sampah basah atau sampah makanan mulai aku olah sendiri menjadi pupuk kompos.
Duta Hari Bersih Indonesia, Davina Veronica
 

 

Kisah Indonesia Darurat Sampah

Setiap manusia pasti menghasilkan sampahnya masing-masing. Namun, sebagai orang yang tertib dengan perintah 'buanglah sampah pada tempatnya,' kita pun rajin membuang sampah pada tempatnya.

Lalu, apa yang terjadi jika tempat untuk menampung sampah di negara kita sudah terlalu penuh? Apa yang terjadi jika kita sudah tak memiliki tempat lagi untuk membuangnya? Kemanakah kita harus membuang sampah-sampah kita?

Direktur Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  Jo Kumala Dewi mengatakan solusi dari hal itu adalah pengurangan timbunan sampah. Indonesia sendiri memiliki target, pada 2025 timbunan sampah bisa berkurang paling tidak sebanyak 30 persen.

“Oleh karena itu, kita harus mengupayakan perilaku ramah lingkungan. Menguranginya itu bukan mengurangi setelah terjadi yang dinamakan pengelolaan sampah. Tapi, bagaimana 30 persen sampah itu kita kurangi, jangan sampai terjadi sampah,” tutur Jo dalam konferensi pers Hari Peduli Sampah.

Dengan demikian, hal itu pun menyangkut perilaku perlakuan kita terhadap sampah. Jo mengatakan, perlakuan ini sangat penting mengingat Indonesia telah mengalami darurat sampah.

Pandemi Covid-19 yang menghasilkan sampah medis pun menambah kedaruratan sampah di Indonesia dari semula hanya darurat dari segi jumlah, namun kali ini bertambah dari segi kualitas. Sebab, sampah medis memiliki kerugian, di mana sampah tersebut berhubungan dengan virus yang tengah menjadi penyakit pandemi. "Oleh karena itu, kita sebenarnya saat ini di era pandemi, sudah menghadapi satu kebutuhan masyarakat yang begitu tinggi untuk lingkungan yang lebih bersih dan lebih baik," jelas dia.

Waste Management Trainer dari perusahaan di bidang persampahan Waste4Change, Saka Dwi Hanggara, mengatakan, mungkin sebagian dari kita masih tak mengetahui bagaimana nasib sampah setelah kita buang. Dia pun menceritakan bagaimana pengelolaan sampah di Indonesia. "Sebanyak 175 ribu ton sampah itu dihasilkan setiap hari. Dilihat dari statistiknya, banyak sampah ini yang berakhir tidak sesuai dengan tempatnya," ungkap Saka dalam kesempatan yang sama.

Dari sampah tersebut, sebanyak 10 persennya ditimbun begitu saja tanpa ada pengelolaan. Sebanyak lima persen sampah dibakar dan sekitar 8,5 persen sampah tidak terkelola. Hanya 7,5 persen sampah bisa didaur ulang atau diselamatkan. Sementara 69 persen sampah, ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Kondisi TPA di Indonesia saat ini terus mengkhawatirkan. Ketinggian timbunan sampah di TPA bahkan bisa mencapai 40 meter. Timbunan sampah semacam itu bisa membahayakan lantaran berpotensi longsor ke rumah-rumah warga.

Sayangnya, pengelolaan sampah yang terjadi di sebagian besar kota di Indonesia masih sangat kuno yaitu sampah dikumpulkan dari rumah tangga-rumah tangga, lalu dijadikan satu dengan segala jenis sampah yang ada dan tidak ada pemilahan.

Selanjutnya, sampah-sampah itu disatukan ke dalam tempat penampungan sampah sementara, sebelum akhirnya didistribusikan ke TPA dan berakhir di sana. “Dengan skema ini, artinya semua sampah yang kita hasilkan di sumber itu akan berakhir di TPA. Karena semuanya tercampur dan masuk ke dalam satu wadah. Akhirnya sulit untuk dimanfaatkan apabila sampah sudah berada di TPA,” tutur Saka.

photo
Warga membawa sampah anorganik untuk disetorkan di drop point rekosistem di kawasan Stasiun MRT Blok M, Jakarta, Jumat (5/3). Sampah anorganik yang diterima kemudian dipilah dan didistribusikan ke pengolah sebagai bahan baku proses daur ulang. Selain itu, warga yang menyetorkan sampah akan mendapatkan poin dalam aplikasi rekosistem. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Dilema Sedotan Plastik

Menurut Direktur Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jo Kumala Dewi, sedotan plastik merupakan salah satu sampah yang tak bisa dihindari. Setiap orang dalam satu hari, bisa dipastikan menggunakan sedotan plastik. Misalnya, dalam satu sekolah, pasti anak-anak dan para guru yang makan minum di kantin, menggunakan sedotan plastik. 

Oleh karena sulit terurai, sampah plastik menjadi ancaman tersendiri bagi ekosistem. Laporan dari Balai Taman Nasional Wakatobi baru-baru ini pun menyebut, sampah plastik memenuhi isi perut dari seekor ikan paus yang terdampar di perairan Wakatobi.

Dia menekankan, meskipun sedotan plastik berbentuk sangat kecil, namun jika jumlahnya sangat banyak, maka akan berdampak kepada lingkungan. Oleh karenanya, langkah Frisian Flag Indonesia yang mengganti sedotan plastik menjadi sedotan kertas pada produk susu kemasan siap minumnya, menjadi langkah yang baik karena bisa memberikan dampak lingkungan yang lebih baik. 

Sayangnya, gerakan untuk meminimalisasi sedotan plastik masih sangat sulit diterapkan, lantaran masih ada beberapa gerai makanan dan minuman serta warung kaki lima yang ada di pinggir jalan yang menyediakannya kepada konsumen. Selain sedotan plastik, mereka pun masih menggunakan kantong plastik untuk membawakan belanjaan pembeli. 

Jo mengatakan, pemerintah saat ini berfokus menerapkan regulasi mengenai pengurangan sampah plastik di beberapa outlet yang bisa diajak untuk bekerja sama. Sementara, dia mengakui Pemerintah masih sulit untuk mengajak outlet kaki lima. “Yang kita bisa lakukan adalah memberi contoh, dan mungkin memberi insentif kepada mereka. Ada beberapa warung juga yang mulai memberlakukan pengurangan sampah plastik dengan menanyai pelanggannya apakah mereka membawa mangkuk atau tempat makan sendiri,” jelas dia. 

Artinya, warung-warung tersebut mulai memberikan perhatian mengenai pengurangan sampah. Jo mengatakan, proses mengedukasi warung-warung kaki lima masih terus dilakukan olehnya. Dia pun mendorong kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan pengurangan sampah plastik ini, terutama di warung-warung kaki lima. 

“Jadi regulasi memang belum ada yang diatur sampai menyentuh mereka, tapi upaya untuk mengkampanyekan dan mengajak mereka untuk sama-sama mengurangi itu sudah kita lakukan bersama dengan berbagai mitra yang ada,” tutur dia. 

Sementara, Waste Management Trainer dari perusahaan di bidang persampahan Waste4Change, Saka Dwi Hanggara, tak memungkiri sangat sulit untuk masuk ke warung-warung pinggir jalan untuk tak menyediakan sedotan plastik. Kesulitan itu dilatari oleh beberapa dimensi seperti dimensi budaya, dimensi ekonomi, dan lain-lain. “Jadi sulit untuk menjangkau orang-orang yang memiliki kepentingan lain di luar persampahan,” ungkap Saka.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat