Petugas kepolisian melakukan patroli di sekitar Gereja Katedral, Jakarta, Senin (29/3). Patroli tersebut dilakukan dalam rangka pengamanan area ibadah pasca terjadinya bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3) yang menyebabkan 14 orang men | Republika/Thoudy Badai

Opini

Jebakan Simulakra

Terorisme dapat dikategorikan ke dalam jebakan simulakra yang membius nalar sehat pelakunya.

ACHMAD UBAEDILLAH, Staf Pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Riyadh, Arab Saudi; FOKKY FUAD WASITAATMADJA, Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta

Dua peristiwa teror bom bunuh diri di gerbang Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Ahad (28 Maret 2021) dan penyusupan terduga teroris di gerbang Mabes Polri di Jakarta, Rabu (31 Maret 2021) lalu, mengejutkan banyak pihak.

Ada yang lebih mengejutkan, pelaku kedua peristiwa itu kalangan muda. Generasi milenial yang lahir paruh 90-an. Pada era serbadigital ini, pelaku terorisme tidak lepas dari efek media sosial atau kampanye digital yang menyuguhkan realitas semu (hiperealitas).

Sebuah tantangan baru bagi kalangan agamawan dan pemerintah untuk mengonter propaganda religi semu (pseudo religion) tersebut. Tafsir agama yang inklusif, integral mutlak dibutuhkan, khususnya bagi kalangan milenial.   

Simulakra dan hiperealitas

Seseorang yang dengan mudah melakukan tindakan teror, tidak lepas dari pandangan keagamaannya. Tafsir agama berpengaruh banyak terhadap si pengantin pelaku bom bunuh diri dan teror.

 
Seseorang yang dengan mudah melakukan tindakan teror, tidak lepas dari pandangan keagamaannya. 
 
 

Masa muda yang masih bergairah, begitu mudah terpengaruh dengan pandangan heroik. Pada saat yang sama, menutup mata tentang ajaran Islam yang sangat mendasar, yakni menjaga kehidupan dan kedamaian.

Secara teoretis, realitas semu tersebut dapat dijelaskan dengan dua konsep yang saling terkait, yaitu konsep hiperealitas dan simulakra, menurut filsuf Prancis, Jean Baudrillard (1929-2007).

Menurut dia, simulakra adalah sebuah penciptaan kenyataan yang berhubungan dengan mitos yang tidak dapat dilihat kebenarannya. Segala yang menjadi minat manusia ditayangkan di media sosial dalam bentuk sangat ideal.

Realitas dan ilusi menjadi bercampur aduk sehingga batas antara yang nyata dan yang tidak nyata menjadi kabur dan tidak jelas (Azwar, 2014). Manusia kehilangan pandangan yang objektif ketika ia berada di tengah dunia yang telah tersimulasi (simulakra) ini.

 Antara realitas sungguhan dan kenyataan yang telah dibentuk atau disimulasikan secara sengaja menjadi campur baur: tidak lagi bisa ditentukan mana yang sesungguhnya realitas dan yang bukan. Kondisi ini berakhir dengan kemunculan hiperealitas.

Realitas yang tersimulasikan ini bisa dianalogikan dengan seseorang dan sebuah produk. Kebutuhan seseorang atas sebuah produk sering kali sederhana. Namun, saat ia masuk ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan pokok, misalnya, ini bisa jadi hal tak mudah.

Ketika barang yang dicari tidak didapat, ia akan menatap beragam iklan produk yang membius nalar. Kemasan promosi yang menawan dengan tawaran harga diskon lumayan akan membuat seseorang membeli barang, yang sesungguhnya tidak ingin ia miliki.

Dengan kata lain, seseorang membeli barang karena adanya simulasi yang sengaja diciptakan penjual untuk menarik konsumen dan, tanpa pikir panjang akhirnya membeli. Inilah simulakra dan hiperealitas.

 
Disneyland diciptakan dengan mengaburkan antara ilusi dan kenyataan.
 
 

Disneyland adalah contoh paling pas tentang penciptaan simulasi dan impian seperti yang dimaksud Baudrillard di atas. Disneyland diciptakan dengan mengaburkan antara ilusi dan kenyataan.

Saat mengunjungi Disneyland, seseorang akan melihat beragam fenomena: putri salju, Mickey Mouse, dan segala hal indah. Pengunjung yang menatapnya akan merasakan keindahan, sementara dunia di luar sana menjadi tidak nyata.

Di Disneyland, antara realitas dan ilusi menjadi tumpang tindih (Islam, 2017). Tentu saja, Disneyland sengaja dibuat untuk menciptakan hiperealitas dengan tujuan spesifik.

Jebakan simulakra

Terorisme dapat dikategorikan ke dalam jebakan simulakra yang membius nalar sehat pelakunya.

Penciptaan sebuah gambaran tentang penderitaan, kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan yang dialami umat Islam melalui perangkat teknologi digital akan membuat suatu kenyataan menjadi ilusi.

Narasi dan diksi berita yang dihadirkan disertai gambar, lagu penggugah heroisme yang dapat menimbulkan semangat, rasa benci dan amarah dapat membuat seseorang bertindak tidak berdasar pada kenyataan objektif.

 
Nalar kritis jarang digunakan saat emosi sudah menguasai, terbius hiperealitas
 
 

Nalar kritis jarang digunakan saat emosi sudah menguasai, terbius hiperealitas. Hampir serupa dengan si pengunjung supermarket korban promosi yang membius nalar.

Pada tayangan digital ini, tentu tidak lepas dengan bumbu ayat Alquran dan hadis Nabi serta tafsir agama yang tidak utuh, sebagai legitimasi membangun semangat Islam dan memupuk kebencian terhadap non-Muslim atau Barat.

Berakhir pada pembenaran atas tindakan terorisme dan sejenisnya: dari target terhadap non-Muslim hingga aparat negara, yang dianggap bagian dari sistem negara tidak Islami atau tirani.

Si pengantin tidak mampu membedakan antara hiperealitas dan realitas karena terjebak dalam proses simulakra. Model cuci otak via teknologi digital ini semakin marak dan bebas hambatan.

Manipulasi atas narasi sejarah masa lalu dan masa kini merupakan ramuan ampuh dalam proses simulasi hiperealitas. Perang salib menjadi rujukan standar untuk membangkitkan kebencian terhadap non-Muslim (Kristiani).

 
Manipulasi atas narasi sejarah masa lalu dan masa kini merupakan ramuan ampuh dalam proses simulasi hiperealitas
 
 

Narasi usang ini kemudian dipadukan dengan suguhan kondisi umat Islam hari ini di sejumlah kawasan: Afganistan, Suriah, Palestina, Myanmar, dan lainnya.

Bisa dibayangkan, tayangan digital serpihan kegetiran umat Islam tersebut disuguhkan  kepada generasi milenial Muslim, yang awam ajaran luhur Islam yang menempatkan kehidupan dan kemanusiaan sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan.

Kesimpulan dari suguhan tersebut adalah dunia Islam sedang ditindas dan harus bangkit melawan (jihad) secara kolektif ataupun individu. Padahal, istilah “dunia Islam” adalah produk sejarah semata. Istilah “dunia Islam” muncul di paruh kedua abad ke-19.

Tepatnya pada awal 1880-an saat penguasa kolonial melakukan kebijakan rasialisme terhadap umat Islam di Afrika dan Asia secara seragam. Tindakan ini dilatari oleh pandangan kolonial saat itu bahwa umat Islam adalah anggota dari peradaban yang tunggal.

Sejak itu rasisme semakin menguat. Penguasa kolonial di hampir kawasan Muslim melakukan kebijakan rasisme terhadap koloni Muslim mereka. Hal serupa dialami Turki Utsmani, sekutu lama Eropa.

 
Narasi atas Islam yang kafah dan sejarah umat Islam yang kontekstual, seyogianya dibuat untuk melawan narasi hiperealitas Islam yang fragmentaris. 
 
 

Meski hidup berdampingan, Turki tetap dianggap beda oleh Eropa karena faktor Islamnya. Sikap Eropa ini direspons Turki melalui narasi “dunia Islam”, yang hegemonik-monolitik dan berkembang menjadi gerakan Pan-Islamisme global. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya (Aydin, 2017).

Istilah “dunia Islam” akhirnya berkembang menjadi konsep geopolitik, yang terus dipertahankan sebagian kalangan hingga hari ini, untuk menggambarkan negara-negara Muslim secara keseluruhan.

Padahal kenyataannya, divergensi politik telah dialami dunia Islam secara signifikan. Realitas perubahan politik dunia Islam adalah fakta yang harus dijelaskan agar tidak menjadi sesuatu yang utopis, yang dibela secara membabi buta.

Narasi atas Islam yang kafah dan sejarah umat Islam yang kontekstual, seyogianya dibuat untuk melawan narasi hiperealitas Islam yang fragmentaris. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat