Siswa mengikuti pembelajaran tatap muka di SMKN 1 Yogyakarta, Senin (19/4). (ilustrasi) | Wihdan Hidayat / Republika

Opini

Centang Perenang Arah Kebijakan Pendidikan

Produk kebijakan pendidikan tak boleh diberi celah mengkhianati dan melenceng dari falsafah pendidikan.

TAMSIL LINRUNG, Senator DPD RI, Komite III Membidangi Sektor Pendidikan

Hilangnya jejak tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang beredar luas di berbagai platform digital, memperpanjang daftar kegaduhan yang dibuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sebelumnya, kita dikagetkan dengan kata “agama” yang raib dalam dokumen Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Ini mencuat ke publik setelah Muhammadiyah secara kelembagaan melontarkan kritik, Maret lalu.

Cuma berselang beberapa hari, kegaduhan baru muncul. Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan memicu kontroversi. PP yang diteken presiden itu, menghilangkan Pancasila dan bahasa Indonesia dalam Standar Nasional Pendidikan.

Rasanya agak sulit diterima akal sehat jika rentetan kontroversi yang menyentuh hal-hal sensitif itu terjadi di luar kesengajaan. Sebaliknya, ada kesan, centang perenang arah pendidikan itu sudah diskenariokan.

 

 
Rasanya agak sulit diterima akal sehat jika rentetan kontroversi yang menyentuh hal-hal sensitif itu terjadi di luar kesengajaan. 
 
 

Tak bisa dibayangkan apa jadinya jika persoalan itu luput dari perhatian publik. Tiga kegaduhan itu bertaut. Publik menangkap, pendidikan hendak dipisahkan dari agama, dijauhkan dari Pancasila, dan berpotensi menciptakan distrosi sejarah.

 

Terasa janggal, mana mungkin lembaga yang dipimpin dan dikelola orang-orang terdidik dan mengampu soal pendidikan jutaan rakyat, bisa kebobolan. Apalagi tiga kontroversi itu menyangkut persoalan mendasar. Tak logis jika dikatakan semata kesalahan redaksional.

Alasan ketidaksengajaan yang dikemukakan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud soal hilangnya jejak Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang terbit sejak 2017, terkesan mengada-ada.

Pasalnya, ada puluhan nama yang masuk sebagai tim dalam penerbitan buku tersebut. Sementara, di buku yang sama, profil tokoh-tokoh komunis seperti Henk Sneevliet, Darsono, Semaoen, hingga DN Aidit diberi ruang.

Produk kebijakan pendidikan tak boleh diberi celah mengkhianati dan melenceng dari falsafah pendidikan yang secara jelas dituangkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, sekaligus menjadi cita-cita kemerdekaan.

 

 
Produk kebijakan pendidikan tak boleh diberi celah mengkhianati dan melenceng dari falsafah pendidikan.
 
 

Lalu dijabarkan pada Pasal 31 ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan UU.

Dilanjutkan di Pasal 31 ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Secara hierarkis, kebijakan pendidikan pun harus patuh pada aturan di atasnya. UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 memuat secara eksplisit  arah pendidikan nasional.

Tertuang di pasal 3 : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari pijakan konstitusional itu, amat terang agama bagian integral dan ruh dari sistem pendidikan nasional. Mengeliminasi ruh pendidikan berarti menciptakan mayat hidup. Hanya akan melahirkan manusia-manusia yang tak ubahnya robot.

 
Sistem pendidikan tanpa ruh yang menafikkan agama, ujung-ujungnya menempatkan manusia sekadar sebagai sekrup kapitalisme. 
 
 

Terdidik secara akademis tetapi miskin karakter. Manusia yang dididik tanpa ruh, nuraninya tumpul. Mungkin memang menyandang predikat profesor atau doktor tetapi rentan terjebak pada korupsi dan pelanggaran hukum. Fenomena ini sudah terjadi.

Sistem pendidikan tanpa ruh yang menafikkan agama, ujung-ujungnya menempatkan manusia sekadar sebagai sekrup kapitalisme. Padahal, tujuan pendidikan tidak sedangkal menciptakan manusia kelas pekerja.

Namun melahirkan insan bermanfaat, punya watak, dan bermanfaat bagi peradaban yang tidak selalu bisa diukur dengan materi.

Penghapusan mata pelajaran dan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia seiring terbitnya PP Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, semakin memperkeruh arah pendidikan yang hendak dibangun pemerintah.

Padahal, selain agama, Pancasila adalah sumber nilai moralitas serta basis pendidikan kewarganegaraan. Pancasila dan bahasa Indonesia merupakan ikatan yang mengintegrasikan kita sebagai bangsa majemuk.

Menghilangkan pendidikan Pancasila dan bahasa Indonesia, sama saja menggiring bangsa kehilangan jati diri. Bencana besar jika satu bangsa ditimpa krisis identitas. Ini amat berbahaya.

Di tengah percaturan global, kita justru dituntut mengokohkan identitas sebagai keunggulan komparatif. Cara kita memandang masa depan dan meramu relevansi formula sistem pendidikan, tidak berarti harus menanggalkan identitas yang justru menjadi ciri khas dan jati diri bangsa. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat