Petugas Amil Zakat memberikan informasi kepada warga yang hendak membayar Zakat di Stand Pelayanan Zakat Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (12/5/2020). | Prayogi/Republika

Opini

Fenomena Amil Kini

Zakat perlu dikelola lebih strategis agar tak melulu untuk fakir miskin yang berujung pelestarian kemiskinan.

ABDUL MUID BADRUN, Dosen FEB Universitas Paramadina

RIZANOEL IRVIN LATIF, Anggota Berkah Aset Wakaf

Memasuki Ramadhan 1442 H, pawai filantropi menemukan momentumnya. Lembaga amil zakat (LAZ) maupun badan amil zakat (BAZ) berkompetisi menampilkan keunggulannya. Profesionalitas amil pun sering mendapat sorotan. Lebih-lebih di masa pandemi saat ini.

Di sisi lain, diskursus ini seperti membedah barang lama dengan gaya baru. Zakat pun sudah berjalan lebih 1.400 tahun. Di Indonesia, baru mulai digarap serius Parni Hadi dan Erie Sudewo melalui Dompet Dhuafa (DD) Republika beberapa dekade lalu.

Potensi zakat yang begitu besar, hanya terkumpul sebagian kecil saja. DD berhasil memelopori gerakan zakat melalui trust building. Laporan tahunan yang diaudit auditor kelas atas membuat para muzaki merasa aman menyalurkan kewajibannya kepada Tuhan melalui amil amanah.

Amil yang mampu memberi kail, bukan ikan kepada para mustahik. Zakat perlu dikelola lebih strategis agar tak melulu untuk fakir miskin yang berujung pelestarian kemiskinan.

Gagasan strategis seperti membantu pedagang kain pasar Tanah Abang yang terbakar (8/4/2021) sempat mengagetkan muzaki. Sebab, di benak mereka, para pedagang tersebut cukup kaya. Seakan tak peduli, gharimin atau orang berutang juga asnaf yang berhak menerima zakat.

Langkah semacam ini mengedukasi masyarakat bahwa kecenderungan hati dalam memilih mustahik tidak selalu yang terbaik.

 
Para amil yang kian mahir berorganisasi ini, mulai dihadapkan pada tantangan baru dengan perubahan dunia dan model bisnis begitu cepat dan out of the box
 
 

Setelah lebih tiga dekade, gebrakan-gebrakan zakat yang terasa menggigit pada zamannya, kini mulai terasa hambar dan jenuh. Berbagai inovasi dan kreativitas dengan bahasa kekinian perlu dilakukan agar zakat menjadi semakin menarik.

Para amil yang kian mahir berorganisasi ini, mulai dihadapkan pada tantangan baru dengan perubahan dunia dan model bisnis begitu cepat dan out of the box. Bahkan took daring dan laman urun dana bisa mengalahkan pengumpulan dana amil tradisional dalam waktu singkat.

Fenomena amil di masa sekarang ini, dituntut mencari variabel baru dalam berkiprah. Tidak hanya ikut-ikutan menjadi trend follower dengan sekadar membuat laman atau aplikasi kekinian sebagaimana dilakukan perusahaan rintisan anak-anak muda kreatif.

Banyak orang miskin baru yang lahir karena tak sanggup bertahan dalam kesulitan usaha di masa pandemi. Tetangga dengan rumah mentereng boleh jadi lebih berhak menerima zakat daripada pemulung di pemukiman kumuh.

Sebab, mereka sudah masuk kategori asnaf miskin dan gharimin sekaligus karena tak punya pemasukan. Rumah tergadai dan punya utang segunung. Namun, para amil terlalu sibuk berkompetisi mengukir prestasi menciptakan program pengentasan kemiskinan “dhuafa formal”.

Atau mungkin, LAZ bersama pakar ekonomi dan bisnis merancang skema finansial. Misalnya untuk para pensiunan yang kebanyakan punya aset tak likuid, untuk mewakafkannya saat dia sudah meninggal. Jadi, ada kompensasi dana likuid selama hidup di sisa umurnya.

 
Kita harus akui, tertinggal di bidang teknologi. Inisiatif serta keberanian mengambil risiko dalam mengadopsi perubahan, lebih banyak diprakarsai para pebisnis milenial. 
 
 

Dengan begitu, hidupnya tak menjadi beban bagi anak-anaknya. Saat meninggal, tak ada warisan yang jadi biang pertengkaran anak-anaknya.

Kita harus akui, tertinggal di bidang teknologi. Inisiatif serta keberanian mengambil risiko dalam mengadopsi perubahan, lebih banyak diprakarsai para pebisnis milenial. Kita lebih senang melakukan hal seperti biasa agar terhindar risiko serta stigma negatif.

Alangkah indahnya bila kredibilitas amil zakat digabungkan dengan inovasi model bisnis dan kreativitas yang memanfaatkan keunikan karakter umat Islam.

Keunikan strategi Masjid Jogokariyan yang membalikkan paradigma masyarakat terhadap cara mengelola potensi umat, membuat banyak DKM terperangah, malu, dan gamang. Saldo nol setiap akhir bulan menuntut keberanian dan keseriusan dalam mengelola dana umat.

Jaminan penggantian alas kaki dan kendaraan yang hilang di lingkungan masjid ternyata sangat mungkin dilakukan dengan pemanfaatan skema asuransi yang tepat dan sesuai syariah. Dan yang terpenting, semua itu dilakukan bukan untuk profit.

Lantas, inovasi apa yang dapat dilakukan para amil zakat? Padahal tak kurang anak-anak muda yang berkiprah di LAZ memiliki ilmu dan pendidikan yang baik. Tak sedikit dari mereka yang mengikuti perkembangan teknologi dan dunia bisnis digital.

 
Kebaikan yang tidak dikelola dengan profesional akan kalah dengan kebatilan yang profesional.
 
 

Namun suasana berpikir di zona nyaman, membuat hasil kurang efektif mengentaskan kemiskinan serta mengambil alih kepemimpinan ekonomi rakyat.  Kreativitas hanya dimaknai kepiawaian menciptakan program urun dana serta pencitraan agar mendapatkan kepercayaan muzaki.

Beberapa fase perubahan berlalu dan kita tetap menjadi penonton, bukan pelaku. Di mana para amil bisa mengambil tongkat estafet berikutnya agar tak lagi hanya jadi penonton?

Mari, kita rembuk dan berusaha memahami berbagai fenomena yang terjadi. Yang terpenting, bisa menjadi pelaku bahkan pemimpin.

Muslim adalah umat terbesar dengan kemampuan besar tetapi dalam formasi buih di lautan.

Sehingga umat menjadi objek yang dieksploitasi pelaku bisnis. Dari sinilah, pernyataan Ali bin Abi Thalib penting sekali sebagai peringatan keras bagi kita, “Kebaikan yang tidak dikelola dengan profesional akan kalah dengan kebatilan yang profesional”. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat