IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Perang di Afganistan, AS Menang atau Kalah?

Apakah pasukan koalisi pimpinan AS dalam perang di Afganistan ini bisa disebut menang atau justru kalah?

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Mungkin ini namanya teman sejati. Kata Menlu AS Anthony Blinken, "Kita pergi ke Afganistan bersama, lalu beradaptasi bersama, dan kita akan keluar (dari negara itu) bersama." Kita yang dimaksud, AS dan sekutunya, anggota NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara).

Rabu (14/4), Blinken bertemu Sekjen NATO Jens Stoltenberg. Mereka bersepakat, sudah waktunya tentara AS dan NATO keluar bersama dari Afganistan. Waktunya sudah ditentukan, dimulai Mei dan tuntas saat AS memperingati 20 tahun serangan 11 September 2001.

Serangkaian serangan mematikan itu menewaskan lebih dari 3.000 jiwa. Tuduhan langsung dialamatkan ke Alqaidah, sebagai otak serangan itu. Usamah bin Ladin, pemimpin kelompok tadi, yang awalnya menolak tuduhan lalu mengeklaim bertanggung jawab.

Usamah tampaknya marah pada AS, karena selalu mendukung Israel. Ia juga tak senang dengan keberadaan tentara AS di negara Arab, terutama di negaranya, Arab Saudi.

 
Presiden AS Joe Biden menyebutnya ‘perang terlama AS di luar negeri’.
 
 

AS merespons serangan itu lewat ‘Perang Melawan Teror’, dengan menyerang Afganistan untuk menggulingkan Pemerintah Taliban, yang melindungi pemimpin dan anggota Alqaidah.

AS  melibatkan pasukan  NATO, berdasarkan Pasal 5 Perjanjian Pertahanan Bersama, ‘serangan terhadap anggota (NATO) adalah serangan terhadap semua’. Kini, serangan koalisi negara NATO pimpinan AS terhadap Afganistan telah berlangsung 20 tahun.

Presiden AS Joe Biden menyebutnya ‘perang terlama AS di luar negeri’. Ia juga mengatakan, tidak dapat terus menunda atau memperluas kehadiran militer AS di Afganistan, dengan harapan dapat menciptakan kondisi ideal untuk penarikan.

Ia pun menampilkan diri sebagai tokoh yang menentang ‘perang Amerika yang tiada akhir’. Selama 20 tahun perang di Afganistan, lebih dari 3.500 tentara koalisi tewas, sekira 2.300 di antaranya tentara AS.

Perang yang telah menelan biaya hingga 1 triliun dolar AS itu juga menyebabkan 20 ribu tentara koalisi luka-luka. Kini, masih ada sekitar 7.000 tentara NATO di Afganistan, di samping sekitar 2.500 tentara AS.

 
Perang yang telah menelan biaya hingga 1 triliun dolar AS itu juga menyebabkan 20 ribu tentara koalisi luka-luka. 
 
 

Pertanyaannya, apakah pasukan koalisi pimpinan AS dalam perang di Afganistan ini bisa disebut menang atau justru kalah? Kalau tujuan perang membunuh Usamah bin Ladin dan menghancurkan Alqaidah, AS dan koalisinya bisa dikatakan berhasil.

Juga jika ukurannya memorakporandakan rezim Taliban dan menggantinya dengan pemerintahan yang dianggap demokratis. Pun kalau hitungannya untuk membunuh pemimpin Taliban, misal Mullah Omar, Mullah Mansour, Mawlawi Haibatollah Akhnuzadeh, Mullah Nazeer, Wali Rahman, Hakimullah Mehsud, dan sederet pemimpin lainnya.

Namun, bila tujuannya menghabisi Taliban sebagai gerakan dan kelompok, hasilnya masih jauh panggang dari api. Kata pemimpin Taliban, kalau AS tak segera menarik pasukannya, Afganistan akan menjadi ‘kuburan’ bagi mereka.

Taliban yang dibentuk Mullah Muhammad Omar, muncul pada awal 1990-an di Pakistan Utara, berbatasan dengan Afganistan, setelah mereka berhasil mengusir pasukan Uni Soviet dari Afganistan. Pembentukan Taliban saat itu bahkan didukung AS dan Pakistan.

Para tokoh Taliban diyakini produk sekolah-sekolah agama di Pakistan, yang didanai Arab Saudi dan mengadopsi pendekatan agama konservatif/wahabi.

 
Namun, bila tujuannya menghabisi Taliban sebagai gerakan dan kelompok, hasilnya masih jauh panggang dari api. 
 
 

Namun, Pakistan membantah terlibat pembentukan Taliban. Pada 1995-an, Taliban melancarkan serangkaian serangan di Kabul dan wilayah lain. Mereka berhasil menguasai sebagian besar wilayah Afganistan. Kekuasaan berhasil mereka capai pada 1996. Taliban didominasi suku Pashtun yang tersebar di Afganistan dan Pakistan.

Sebulan setelah peristiwa 11 September 2001, AS melakukan serangan udara ke Afganistan. Alasannya, Taliban melindungi anggota dan pemimpin Alqaidah, terutama pemimpinnya, Usamah bin Ladin. Dengan dukungan NATO, rezim Taliban dihancurkan.

Sejak itu, Taliban berubah menjadi gerakan pemberontakan dan mengganggu pemerintahan Afganistan dengan serangan bom, dari Presiden Hamid Karzai hingga Ashraf Ghani sekarang ini.

Hingga 2018, Taliban sudah aktif bergerak di 70 persen wilayah Afganistan. Dengan fakta itu, AS sampai pada kesimpulan, penyelesaian Afganistan, terutama setelah AS dan koalisinya menarik seluruh pasukannya, harus melibatkan Taliban.

 
Dalam bahasa pemimpin Taliban, kelompok yang gagal dienyahkan Amerika selama 19 tahun, kini akhirnya diajak berunding. 
 
 

Pelibatan Taliban terjadi pada 2018, saat delegasi AS dan Taliban, bertemu di Doha, Qatar, membahas ‘peta jalan damai’ di Afganistan. Dalam pertemuan ini, Taliban menolak kehadiran Pemerintah Afganistan karena dianggap hanya ‘boneka’ AS.

Setelah sembilan kali pertemuan yang difasilitasi Emir Qatar, AS dan Taliban bersepakat. Intinya, AS dan koalisinya menarik seluruh pasukannya dari Afganistan dalam waktu yang sudah ditentukan. Sementara, Taliban berkomitmen menempuh jalan damai.

Dalam bahasa Menlu AS Anthony Blinken, pengalaman di Afganistan membuktikan, tak ada solusi militer untuk menyelesaikan konflik, dan Taliban harus menyadari mereka tak akan mendapatkan legitimasi jika mengontrol negara dengan kekerasan.

Dalam bahasa pemimpin Taliban, kelompok yang gagal dienyahkan Amerika selama 19 tahun, kini akhirnya diajak berunding. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat