Tajuk
Mempersoalkan Vaksin Nusantara
Kita juga berharap pihak pemerintah lebih tegas dalam menangani vaksin Nusantara.
Vaksin Nusantara menjadi pembicaraan cukup ramai dalam beberapa hari terakhir ini. Vaksin Covid-19 dengan metode sel dendritik ini dipelopori oleh mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto. Yang menjadi masalah, kendati Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum memberi ijin uji klinis untuk fase kedua, namun uji vaksin terhadap relawan terus berlangsung.
Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyambangi RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (14/3) pagi, untuk menjadi relawan uji Vaksin Nusantara. Beberapa tokoh juga menunjukkan dukungan secara terbuka terhadap Vaksin Nusantara dengan ikut melakukan uji vaksin.
Di tengah beratnya upaya pemerintah mendapatkan Vaksin Covid-19 sebenarnya kita bisa menyambut gembira dengan setiap upaya yang dilakukan untuk memproduksi vaksin sendiri. Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada negara lain untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Apalagi jumlah penduduk Indonesia sangat besar.
Jika kita ingin mencapai herd immunity (kekebalan kawanan) 60-70 persen penduduk, berarti 160 juta hingga 187 juta penduduk Indonesia mesti disuntik vaksin. Itu artinya dibutuhkan tak kurang dari 360 juta dosis vaksin Covid-19 untuk mencapai herd immunity.
Sejauh ini pemerintah telah menetapkan enam vaksin Covid-19 yang akan digunakan, yaitu Bio Farma (Persero), AstraZeneca-Oxford, Sinopharm, Moderna, Pfizer-BioNTech, dan Sinovac. Sedangkan vaksin produk dalam negeri yang dikembangkan adalah Vaksin Merah Putih dan Vaksin Nusantara. Vaksin Merah Putih sedang dalam tahap penelitian laboratorium, sedangkan Vaksin Nusantara sudah menjalani uji fase pertama.
Praklinik ini menurutnya penting untuk perlindungan dari subyek manusia.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukita menegaskan pihaknya tidak akan memberi izin untuk kelanjutan uji klinis fase kedua Vaksin Nusantara. Menurutnya, BPOM menemukan sejumlah pelanggaran dalam uji klinis pertama metode vaksinasi tersebut. Salah satu yang mendasar, menurut Penny, pihak pengembang belum menyerahkan laporan uji praklinik metode tersebut. Praklinik ini menurutnya penting untuk perlindungan dari subyek manusia.
Dari tinjauan uji klinis fase I, BPOM menyimpulkan bahwa produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril. Produk akhir dari vaksin dendritik juga tidak melalui pengujian kualitas sel dendritik. BPOM juga menemukan, sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami kejadian yang tidak diinginkan (KTD).
Persoalan lainnya adalah BPOM menyatakan bahwa metode vaksin dendritik tersebut ternyata produk yang dikembangkan perusahaan rintisan Amerika Serikat (AS), AIVITA Biomedics Inc. Indonesia hanya dijadikan lokasi uji coba. Jadi pertanyaannya adalah, apakah Vaksin Nusantara ini benar-benar produk nasional?
Kita juga berharap pihak pemerintah lebih tegas dalam menangani kasus ini.
Pengembang dan peneliti Vaksin Nusantara belum melansir pernyataan terkait sikap BPOM. Namun, peneliti uji klinis fase II Vaksin Nusantara, Kolonel CKM dr Jonny sebelumnya berdalih mereka sudah diawasi pihak ketiga. Namun ia enggan mengungkapkan dari mana pihak ketiga tersebut.
Kita berharap kontroversi Vaksin Nusantara ini bisa diselesaikan dengan baik. Kita mendukung upaya untuk menghasilkan vaksin sendiri, namun prosesnya juga mesti mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan. Persoalan vaksin ini tidak main-main. Ini masalah nyawa manusia.
Pihak pengembang Vaksin Nusantara semestinya berpedoman kepada BOPM sebagai pihak yang paling punya otoritas dalam mengawasi dan menilai proses uji klinis. BPOM mewakili negara yang diberi amanah dan wewenang sebagai otoritas yang memberi jaminan keamanan, kualitas dan efikasi vaksin melalui proses penilaian terhadap setiap tahapan uji klinis vaksin. Jadi jika proyek Vaksin Nusantara hendak dilanjutkan, semua prosedur yang ditetapkan BPOM mesti dijalankan.
Kita juga berharap pihak pemerintah lebih tegas dalam menangani kasus ini. Jangan sampai kasus ini justeru mengganggu program vaksinasi Covid-19 yang saat ini sedang berjalan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.