Pengunjuk rasa membawa slogan mengecam militer saat merayakan festifal Tahun Baru Thingyan di Yangon, Selasa (13/4/2021). | AP/AP

Internasional

Bachelet: Myanmar Bisa Jadi Mirip Suriah 

Presiden Joko Widodo membahas soal Myanmar dengan Kanselir Jerman Angela Merkel.

JENEWA -- Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michele Bachelet mengatakan, Myanmar dapat didera perang saudara berdarah seperti Suriah. Menurut dia, hal itu dapat dihindari jika aksi kekerasan terhadap warga sipil di sana segera dihentikan.

Bachelet mengungkapkan, banyak pelanggaran HAM berat yang dilakukan militer Myanmar berpotensi dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan harus segera dihentikan. Dia khawatir, jika kekerasan dan kejahatan itu terus berlanjut, Myanmar dapat terperosok dalam perang saudara.

"Komisioner tinggi menyatakan bahwa ada pola yang jelas seperti Suriah pada 2011. Di sana juga kami melihat protes damai bertemu dengan kekuatan yang tidak perlu dan jelas tidak proporsional," kata juru bicara Bachelet, Ravina Shamdasani, pada Selasa (13/4), dikutip laman Voice of America.

Shamdasani mengatakan, penindasan brutal yang dilakukan Pemerintah Suriah terhadap rakyatnya secara konstan menyebabkan sekelompok individu mengangkat senjata. "Hal itu diikuti spiral kekerasan ke bawah dan meluas dengan cepat di seluruh negeri," ujarnya. 

Konflik sipil Suriah telah berlangsung selama 10 tahun dan belum menunjukkan bakal berakhir dalam waktu dekat. Shamdasani mengungkapkan, bentrokan akhir pekan lalu di Myanmar sangat mematikan. Bentrokan antara militer dan kelompok bersenjata berbasis etnis di negara bagian Kachin, Shan, dan Kayn makin meningkat. 

photo
Warga berpose dengan banner bergambar salam perlawanan tiga jari dan nama-nama yang meninggal dalam aksi menolak kudeta militer di Yangon, Ahad (11/4). - (AP/AP)

Sementara, pengunjuk rasa di sejumlah kota menggunakan tema merah dalam aksi mereka menentang kudeta militer Myanmar. Pada Rabu (14/4), mereka mengecat dan mewarnai jalanan, tanda papan, dan rambu lalu lintas di luar gedung pemerintahan. Warna merah ini mewakili darah para pengunjuk rasa yang tewas dalam aksi.

Di sebagian tempat aksi pawai masih dilakukan. Mereka membawa poster yang menuntut pembebasan pemimpin sipil yang juga pemimpin Partai National League for Democracy (NLD), Aung San Suu Kyi. 

“Selamatkan pemimpin–masa depan–harapan kami,” tulis sebuah poster di Mandalay. Pada Rabu tidak dilaporkan ada kekerasan terjadi. Namun, informasi terkini kian langka karena junta militer memutus layanan broadband internet dan layanan data telepon seluler. 

Data lembaga advokasi Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) menunjukkan, jumlah korban tewas oleh junta telah melampaui 700 orang sejak 1 Februari.

Sementara, Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan bilateral dengan Kanselir Jerman Angela Merkel secara virtual di Istana Bogor, Selasa (13/4). Berbagai isu terkini pun menjadi fokus pembahasan, salah satunya terkait isu Myanmar dan ketersediaan vaksin Covid-19 di tengah pandemi.

Dikutip dari siaran resmi Istana, Presiden menyampaikan sikap Indonesia sangat jelas sejak awal, yakni meminta agar penggunaan kekerasan di Myanmar segera dihentikan dan mendorong dilakukannya dialog. “Dialog di antara mereka diharapkan dapat segera dilakukan, untuk mengembalikan demokrasi, stabilitas dan perdamaian di Myanmar," kata Jokowi.

Indonesia juga telah mengusulkan dilakukannya KTT ASEAN guna membahas isu Myanmar dan saat ini persiapan KTT sedang terus dilakukan. Dalam pertemuan bilateral ini, Presiden Jokowi didampingi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat