Foto ilustrasi bijak dalam bermedia sosial. | Republika/Yogi Ardhi

Opini

Jangan Ada Social Animal di Medsos  

Pemerintah perlu membangun ekosistem bermedsos yang tak menggiring pelaku seenaknya menghujat dan mencaci.

HANUM SALSABIELA, Anggota DPRD DIY, Pemerhati dan Penulis Buku

Saat laporan bertajuk “Digital Civility Index” (Indeks Keberadaban Digital) yang diterbitkan Microsoft bulan lalu mendapuk netizen Indonesia sebagai salah satu netizen paling tidak sopan di ranah maya, hati saya langsung terusik.

“Bagaimana itu metode pengukurannya? Pasti ada kesalahan. Bukankah dari dulu sampai sekarang bangsa kita dikenal paling ramah?”

Rilis tersebut, berujung penutupan kolom komentar di akun Instagram Microsoft karena serbuan makian dan cacian yang jika diterjemahkan bisa mengguncang jiwa. Sebenarnya, Microsoft tidak akan mengubur kolom komentarnya jika isinya berupa kritikan.

Masalahnya, ini serbuan kata-kata tidak pantas. Jika pun dianggap social punishment, apa salah Microsoft hingga sedemikian kejam pembalasannya?

Dengan jumlah pengguna internet 202,6 juta orang (73,7 persen dari jumlah penduduk total Indonesia), 170 juta di antaranya pengguna media sosial (medsos) aktif. Bayangkan, sebesar apa mesin bangsa ini yang bisa dihasilkan dalam sekali ‘ungkit’.

 
Gambaran dunia orang Indonesia itu paling ramah, paling menyenangkan sehingga bikin betah tinggal di Indonesia, dibumihanguskan dalam sekejap oleh kelakuan oknum netizennya sendiri.
 
 

Hati nurani saya langsung membalas, dengan senyum simpul, ‘ya, kenyataannya saya pun pernah menjadi korban dulu’.  Seolah ingin memvalidasi penelitian Microsoft itu, rentetan keberingasan dan keserampangan warganet Indonesia akhir-akhir ini kian menjadi.

Korbannya dari Amerika, Inggris, hingga Kazakhstan. Nahasnya, polemik yang tadinya berkutat di masalah nasionalisme bergeser jadi perang saudara akhirnya. Riset Microsoft bulan lalu, menjadi tak terbantahkan, bahkan akurat dan kredibel.

Gambaran dunia orang Indonesia itu paling ramah, paling menyenangkan sehingga bikin betah tinggal di Indonesia, dibumihanguskan dalam sekejap oleh kelakuan oknum netizennya sendiri.

Lantaran kurang bijak bermedsos, kita dianggap memiliki dua sisi berbeda. Di dunia nyata ramah tiada tara, di dunia maya kasar luar biasa. Hati saya mencelus, mengelus dada. Seolah kita dibohongi kepribadian yang sesungguhnya.

Sudah cukup pandemi Covid-19 melanda kita, membuat kesehatan dan ekonomi kita tertatih-tatih. Jangan ditambah terkena pandemi kebiadaban medsos.

 
Pemerintah juga perlu membuat keteladanan. Membangun ekosistem bermedsos yang tak menggiring pelaku seenaknya menghujat dan mencaci.
 
 

Kalau Covid-19 bisa divaksin, nah yang satu ini ? Vaksinnya harus dari kita sendiri. Belajar etika dan tepa selira di jagat internet. Munculkan perasaan bersalah, berdosa, setiap berkomentar tidak sopan. Bukan malah berpuas dan bangga.

Pemerintah juga perlu membuat keteladanan. Membangun ekosistem bermedsos yang tak menggiring pelaku seenaknya menghujat dan mencaci. Pastikan tidak ada pendengung atau buzzer tak bertanggung jawab berlindung di balik hukum yang abu-abu.

Media daring harus menghentikan pola tayangan berita yang memuat judul click bait, framing, atau berbau insinuasi, hingga menggoreng-goreng (sampai gosong) polemik yang sesungguhnya sudah usai.

Kalau perlu, sudahlah portal media tidak perlu lagi mempunyai kolom komentar. Janganlah demi hits, rating, sensasi, atau statistik semata, pembiaran ujaran kebencian terjadi. Sebab, semua ujaran tak senonoh itu selalu berlindung dalam anonimitas.

 
Jika sudah anonim, maka yang terjadi bukan manusia-manusia di balik media sosial melainkan social animal dalam medsos.  
 
 

Jika sudah anonim, maka yang terjadi bukan manusia-manusia di balik media sosial melainkan social animal dalam medsos.  

Pemerintah harus mendorong dan memekanisasi pembatasan penggunaan kegiatan medsos hingga level mikro. Yakni, orang tua harus mengawasi anaknya di rumah agar waktu dan perhatiannya tak tersedot ke gawai dan seluler selama pembelajaran jarak jauh.

Masa pandemi ini, ironisnya batasan usia pengguna medsos semakin rendah. Anak-anak usia SD mengakses informasi ke seluruh platform maya. Tanpa kawalan, tanpa batasan, mata dan jari kecil mereka melakukan kemubaziran.

Kita harus peka, citra negara dengan cap beringas di dunia maya ini tidak main-main. Julukan negeri dengan netizen paling kasar adalah kerusakan berefek tetap. Saya khawatir, bahkan jika pandemi ini berlalu, masyarakat dunia berpikir berkali-kali jika ingin ke Indonesia.

Yang bisa kita lakukan sekarang, mengendalikan kerusakan dengan menjadi warganet yang lebih beretika. Kalaupun belum bisa menunjukkan dengan prestasi dunia atau karya luar biasa, setidaknya tunjukkan prestasi dan karya kita adalah pribadi yang beradab.

 
Yang bisa kita lakukan sekarang, mengendalikan kerusakan dengan menjadi warganet yang lebih beretika.
 
 

Kita patahkan survei-survei yang mengatakan netizen Indonesia tidak punya sopan santun dengan aksi konkret. Jangan biarkan social animal hadir di media sosial kita!

Terakhir sebagai penulis, saya mengimbau teman-teman yang memiliki ‘jari turah’, mending habiskan perasaan sebal, marah, atau gembira, menjadi tulisan. Bisa novel, buku motivasi, kumpulan quotes atau diary pengalaman yang kemudian dibukukan.

Bayangkan, tulisan-tulisan Anda di kolom komentar kalau dihitung mungkin sudah ribuan kata. Dapat apa? Tidak ada kecuali buang waktu dan mungkin menambah dosa. Kalau jadi buku? Tentu lebih bermakna. Semoga kita selalu menjadi netizen yang mengambil hikmah. Selamat menjadi netizen yang ramah ya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat