Neymar PSG, kanan, bereaksi di depan Fred Manchester United saat pertandingan sepak bola Liga Champions Grup H antara Manchester United dan Paris Saint Germain di stadion Old Trafford di Manchester, Inggris, Rabu, 2 Desember 2020. | AP/Dave Thompson

Olahraga

Rasialisme di Dunia Kian Parah

Fred Rodrigues jadi korban terbaru aksi rasialisme di dunia daring.

MANCHESTER — Aksi rasialisme yang ditujukan kepada pemain setelah Manchester United (MU) mendapatkan hasil negatif kembali terjadi. Kali ini giliran Fred Rodrigues mendapatkan kekerasan rasialisme di media sosial, seusai Manchester United tumbang di perempat final Piala FA oleh Leicester City, Senin (22/3) dini hari. Komentar di unggahan Instagram-nya banyak diisi oleh emoji monyet karena kekalahan tersebut.

Bahkan, ada komentar yang minta pemain asal Brasil itu mesti kembali ke Favelas, sebuah permukiman kumuh di negara asalnya. Fred memang tampil buruk dalam pertandingan ini. Pemain berusia 28 tahun tersebut jadi biang keladi gol pertama di King Power, setelah salah melakukan back pass, yang diambil Kelechi Iheanacho untuk mencetak gol pertama dalam laga ini.

Dia juga gagal mengawal Youri Tielemans saat gelandang Kawan Rubah itu mencetak gol kedua, hingga akhirnya ditarik Ole Gunnar Solskjaer pada menit ke-84. Dikutip dari Dailymail, Senin (22/3), Fred pun kemudian menutup kolom komentar di unggahannya. Namun, pengguna Instagram lain malah memberikan emoji monyet di unggahan Fred dari pekan lalu.

Manajer United Ole Gunnar Solskjaer mengakui, Fred terpengaruh dengan insiden tersebut. Anthony Martial dan Marcus Rashford jadi pemain lain MU yang mengalami kekerasan rasial musim ini dan masalah tersebut terus berlanjut tanpa solusi yang jelas. Padahal, pada Desember 2019, ada yang pernah ditangkap seusai derbi Manchester, setelah memperlihatkan gestur rasialis dari tribun.

Apa yang dialami Fred ini memang bukan hal baru. Pada 14 Februari lalu, Anthony Martial juga mendapatkan serangan rasialisme saat United ditahan imbang 1-1 oleh West Bromwich. Martial bermain selama 66 menit sebelum digantikan Mason Greenwood, saat MU menyamakan kedudukan setelah tertinggal lebih dulu.

Seusai pertandingan, Instagram pemain internasional Prancis tersebut langsung jadi sasaran fan yang marah, dengan mengunggah pesan dan simbol rasialisme dalam fotonya. Pemain MU lainnya juga pernah mendapatkan perlakukan serupa, yakni Axel Tuanzebe, setelah United kalah oleh Sheffield United pada 27 Januari. 

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Fred Rodrigues (fred08oficial)

Namun, aksi rasialisme ini hanya dilakukan saat MU kalah dan semacam pelampiasan fan yang kecewa dengan pemain kulit hitam yang tampil buruk. Karena tidak ada penonton di stadion, rasialisme kini bergeser ke media sosial, yang juga makin masif dilakukan fan. Sayangnya, belum ada tindakan nyata untuk menghukum pelaku kekerasan rasialisme di media sosial.

Padahal, di setiap pertandingan semua tim, wasit, pelatih dan staf melakukan aksi berlutut sebagai bentuk protes pada aksi rasialisme yang tak kunjung hilang dalam sepak bola. Namun, karena dianggap tak efektif dalam memerangi rasialisme, pemain Crystal Palace Wilfried Zaha jadi pesepak bola Liga Primer Inggris pertama yang menolak ambil bagian dalam aksi berlutut.

“Saya merasa berlutut adalah sebuah kemunduran. Saya pikir sesuatu di belakang semua ini adalah menjadikan sesuatu yang baru saja kita lakukan saat ini. Itu belum cukup. Saya tidak akan berlutut,” ujar Zaha, dikutip dari the Guardian, Senin (22/3).

Bukan hanya menolak berlutut, Zaha juga tak ingin lagi memakai jersi dengan tulisan Black Lives Matter, yang menggantikan logo No Room for Racism sejak awal musim ini. Menurut dia, menggunakan baju dengan logo tersebut membuatnya merasa seperti target rasialisme. Ia menganggap semua upaya protes terhadap rasialisme tidak berhasil. 

“Kecuali jika ada perubahan, jangan minta saya soal itu. Kecuali jika aksi itu akan terjadi, saya tidak akan mendengarnya,” kata Zaha.

 
Kecuali jika ada perubahan, jangan minta saya soal itu. Kecuali jika aksi itu akan terjadi, saya tidak akan mendengarnya.
 
 

Aksi Zaha itu diikuti oleh pemain Brentford yang tidak mau berlutut setelah menganggap gestur antidiskriminasi sepak bola tidak memberikan dampak apa pun. Pada September, Direktur Sepak Bola Queens Park Ranger, Les Ferdinand menyebut, dampak dari gestur tersebut mulai melemah yang menyandingkannya seperti tagar menarik atau sekadang pin yang bagus pada badge.

Meski demikian, survei yang dilakukan PFA (Professional Footballers' Association) Desember lalu menilai masih ada dukungan besar agar pemain berlutut sebelum kick-off. Manajer tim nasional Inggris, Gareth Southgate, menegaskan gestur masih jadi upaya yang kuat dalam melawan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di pikiran banyak orang.

“Walaupun saya dengar orang-orang bilang itu menjadi kurang berdampak, saya tidak merasa demikian karena setiap kali saya pergi ke pertandingan, saya melihat ada kekuatan yang besar,'' ujar Southgate.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat