Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun (tengah) memeluk anaknya disela-sela pembacaan pertimbangan amnesti untuk dirinya pada rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kami | ANTARAFOTO

Nasional

Revisi UU ITE Dinilai Krusial

Dorongan agar pemerintah merevisi UU ITE terus menguat.

JAKARTA -- Komisi III DPR menilai revisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah krusial. Sebab, sejumlah pasal yang ada dalam UU tersebut multitafsir sehingga menjadi polemik di masyarakat.

Anggota Komisi III, Didik Mukrianto menilai, perkembangan dan penerapan UU ITE, khususnya Pasal 27, 28, dan 29 memunculkan keresahan di masyarakat. Bahkan, kata dia, menjadi alat kriminalisasi, saling melapor satu sama lain sehingga banyak masyarakat, tokoh, dan bahkan jurnalis yang ikut terjerat menjadi korban.

Ia mencontohkan muatan Pasal 27 ayat 3 UU ITE terlalu luas dan multitafsir. Akibatnya, penerapan pasal itu justru tidak merujuk pada pasal 310-311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Muatan yang terlalu luas dan multitafsir ini, tidak jarang dalam penerapannya justru tidak merujuk pada pasal 310-311 KUHP yang seharusnya hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila demi kepentingan umum atau terpaksa membela diri," kata Didik di Jakarta, Sabtu (20/3).

Kemudian, Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait penyebaran informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Menurut dia, tafsir pasal itu juga sangat luas karena suatu kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian.

"Ini akan menimbulkan distorsi dalam konteks kebebasan berpendapat dan mengeluarkan kritik, yang bisa berpotensi membungkam dan memberangus demokrasi," katanya. Politisi Partai Demokrat itu setuju apabila pasal-pasal karet itu direvisi dan/atau dicabut dari UU ITE.

Ketua Komisi III DPR Herman Hery juga menilai revisi UU ITE dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sangat krusial dilakukan secara bersamaan, khususnya menyangkut konstruksi pencemaran nama baik. "Dari kacamata Komisi III DPR, selain merevisi UU ITE seperti pasal 27 misalnya, revisi KUHP juga menjadi sesuatu yang krusial sebab konstruksi pencemaran nama baik juga diatur di KUHP," kata Herman, Sabtu (20/3).

Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyarankan UU ITE direvisi secara menyeluruh. Sahroni menyarankan agar ahli bahasa dilibatkan dalam revisi UU ITE untuk memberikan masukan terkait revisi total UU tersebut. "Harus dimintakan pendapat semua ahli bahasa tentang UU tersebut agar menjadi masukan untuk direvisi secara total atas UU ITE yang memang banyak menimbulkan masalah," ujarnya.

photo
Ribuan pengunjuk rasa meneriakkan yel-yel dalam aksi terkait proses hukum drummer grup musik Superman is Dead (SID) I Gede Ari Astina alias Jerinx di Denpasar, Bali, Selasa (8/9/2020). Ribuan pengunjuk rasa menuntut Pengadilan Negeri Denpasar membebaskan Jerinx dari semua dakwaan serta menuntut Presiden dan DPR untuk mencabut pasal pidana UU ITE karena dinilai sebagai bentuk kriminalisasi dan pemberangusan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat. - (Nyoman Hendra Wibowo/ANTARA FOTO)

Saat ini, pemerintah masih meminta masukan dari berbagai pihak terkait revisi UU ITE tersebut. Pada Kamis (18/3), Tim Kajian UU ITE yang dibentuk pemerintah mendapat masukan dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua lembaga itu mendorong UU ITE direvisi.

Ketua Tim Kajian UU ITE, Sugeng Purnomo mengatakan, timnya mendapatkan masukan yang berbeda dari sebelumnya. “Ini menjadi satu masukan dalam perspektif yang berbeda dari hari-hari sebelumya. Kemarin kita bertemu dengan akademisi menyampaikan pandangan pandangannya," ujar Sugeng.

Masukan dari dua lembaga itu, kata Sugeng, sangat penting bagi tim dalam menyelesaikan tugasnya. Selanjunya, sesuai dengan agenda, Tim Kajian UU ITE akan memasuki tahap akhir dari kegiatan penyerapan aspirasi. "Rencananya tim akan menghadirkan narsumber dari kementerian dan lembaga, dan juga narasumber dari DPR dan partai politik," kata Sugeng.

photo
Tiga jurnalis berunjuk rasa di Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (28/9/2019). Dalam aksi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kalbar itu mereka menuntut pembebasan Dandhy Laksono dari jeratan pasal karet UU ITE, mengutuk tindak kekerasan yang dilakukan oknum polisi terhadap jurnalis, dan menolak 10 pasal RUU KUHP yang berpotensi membungkam kemerdekaan pers. ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/wsj. - (ANTARA FOTO)

Dukungan anak muda

Mayoritas anak muda atau kaum milenial setuju UU ITE direvisi. Mereka ingin UU ITE menjamin kebebasan masyarakat dalam mengemukakan pendapatnya. Hasil survei Indikator Politik Indonesia mengungkap, 57,3 persen anak muda menyatakan perlunya revisi UU ITE.

"Dan hanya 24,1 persen (anak muda) UU ITE tidak perlu direvisi," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam rilis survei secara daring, Ahad (21/3).

Sebanyak 41,6 persen anak muda menilai tidak baik atas tindakan saling melapor kepada pihak berwajib dengan dasar UU ITE. "Pada berbagai kategori sosio-demografi, lebih banyak yang menilai tindakan saling melaporkan itu tidak baik. Namun, pada kelompok etnis Jawa dan Madura, wilayah Jateng dan Jatim, lebih banyak yang menilai baik," kata Burhanuddin.

Indikator Politik Indonesia melakukan survei ini pada 4-10 Maret 2021 kepada 1.200 responden berusia 17-21 tahun. Dengan situasi pandemi Covid-19, survei dilakukan melalui wawancara telepon.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat