Patung yang menunjukkan wajah sang penyair-sufi, Fariduddin Attar, di kota kelahirannya, Nishapur, Iran. Attar awalnya adalah seorang ahli farmasi peracik obat atau parfum. Pada akhirnya, dirinya menjadi peracik kata-kata sastrawi, yang menginspirasi duni | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Fariduddin Attar dan Karya Sang Pewangi Para Penyair

Fariduddin Attar merupakan salah satu sastrawan-sufi terbesar dalam sejarah peradaban Islam.

OLEH HASANUL RIZQA

Sastra Islam bersinar terang berkat peran para penyair-sufi. Salah satu yang fenomenal di antaranya adalah Fariduddin Attar. Salik berdarah Persia itu telah banyak menghasilkan karya monumental, semisal Manthiq al-Thair, yang terus menginspirasi dunia.

Hari ini bertepatan dengan peringatan Hari Puisi Sedunia. Perayaan yang diinisiasi Organisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) itu jatuh setiap tanggal 21 Maret. Inisiatif tersebut dimaksudkan sebagai upaya rutin tahunan dalam mempromosikan pembacaan, penulisan, penerbitan, dan pengajaran puisi di seluruh dunia.

Syiar Islam memberikan sumbangsih yang begitu besar bagi perkembangan puisi secara global. Ada banyak penyair Muslim yang fenomenal di sepanjang sejarah. Salah seorang di antaranya adalah Fariduddin Attar. Ia lahir di Nishapur, sebelah barat laut Iran, pada 1145 M.

Dalam bahasa Persia, attar berarti 'peracik ramuan (obat atau parfum)'. Ini merujuk pada profesi keluarganya. Ayahnya merupakan seorang ahli farmasi yang cukup sukses di kota tempat kelahirannya.

photo
Cover Islam Digest 21 Maret 2021 tentang Fariduddin Attar, Karya dan Dunianya - (Islam Digest/Republika)

Bagaimanapun, riwayat hidupnya tak terlalu banyak terungkap. Penulisan biografi tentangnya cenderung mengandalkan catatan Muhammad Aufi dan Nashiruddin al-Tusi; keduanya merupakan ilmuwan pada abad ke-13.

Nama lengkap penyair-sufi ini adalah Abu Hamid bin Abu Bakr Ibrahim. Attar muda belajar berbagai disiplin keilmuan, seperti bahasa Arab dan ilmu kedokteran, di Mashhad. Di luar jam pelajaran, dia sibuk bekerja di apotek yang dikelola ayahnya.

Dalam sebuah karyanya, Musibat Namah (Buku Penderitaan), ia menuturkan pengalamannya dalam meracik obat dan mengurus pasien di tempat kerjanya itu.

 
Dalam sebuah karyanya, Musibat Namah (Buku Penderitaan), ia menuturkan pengalamannya dalam meracik obat dan mengurus pasien di tempat kerjanya itu.
 
 

 

Remaja ini menerima seluruh apotek tersebut sebagai warisan sesudah bapaknya wafat. Makin sibuklah dia karena kini tanggung jawabnya bertambah. Sifatnya sempat berubah. Egoisme mulai tumbuh dalam jiwanya. Setiap hari, Attar melayani pasien dari beragam kalangan.

Suatu kali, seorang berpakaian kumuh mendekati apoteknya. Attar menduga lelaki itu akan meminta-minta sehingga dapat mengganggu para pengunjung. Ia pun berusaha mengusir si fakir.

Namun, orang miskin tersebut berkukuh tidak mau pergi. Malahan, pria renta ini menangis sesenggukan setelah menghirup aroma wewangian yang menyebar dari tempat usaha Attar.

“Pergilah, wahai pak tua!” ucap si pemilik apotek dengan ketus.

“Ketahuilah bahwa tak sulit bagiku untuk meninggalkan apotekmu dan mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini. Yang melekat di badanku hanyalah jubah yang lusuh ini. Aku justru merasa kasihan kepadamu. Bagaimana kamu meninggalkan dunia ini dengan harta yang kamu miliki,” jawab pria fakir tersebut.

 
Ketahuilah bahwa tak sulit bagiku untuk meninggalkan apotekmu dan mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini.
 
 

 

Kata-katanya bagaikan tombak yang menghunjam hati Attar. Ia semakin kaget karena si fakir seketika jatuh tersungkur dan meninggal dunia di hadapannya. Pemuda ini segera membawa tubuh almarhum ke dalam kios obatnya dan kemudian mengurus pemakamannya.

Perjumpaannya dengan orang fakir tersebut lantas mengubah garis kehidupannya. Attar memutuskan untuk menutup toko obatnya dan mulai berkelana. Perjalanan panjang ditempuhnya demi mencari ilmu dan kebijaksanaan. Ia belajar dari satu guru ke guru lainnya untuk menyelami dunia tasawuf. Yang dicarinya hanyalah satu hal, yakni hakikat kehidupan.

Attar yang semula berprofesi ahli obat dan parfum kini mengabdikan diri di jalan salik Islam. Pengembaraannya melintasi banyak daerah dan kota. Mulai dari Kufah, Makkah, Damaskus, Turkistan, hingga India. Pada setiap tempat singgah, dia menemui syekh-syekh sufi untuk mengambil banyak pelajaran, nasihat, dan hikmah dari mereka.

 
Attar yang semula berprofesi ahli obat dan parfum kini mengabdikan diri di jalan salik Islam. Pengembaraannya melintasi banyak daerah dan kota.
 
 

 

Salah satu gurunya merupakan seorang mursyid terkemuka, yakni Syekh Buknuddin. Darinya, Attar mendalami berbagai pengetahuan tentang sistem pemikiran, gagasan-gagasan, serta praktik tasawuf. Karena kesalehan dan ketekunannya, namanya pun mulai dikenal banyak kalangan. Orang-orang menjulukinya sebagai “Pewangi Para Sufi-Penyair”.

Kira-kira 39 tahun lamanya ia mengembara. Sesudah itu, Attar kembali ke kampung halamannya untuk mengajarkan tasawuf kepada penduduk setempat. Di sanalah dia menjadi mursyid hingga wafat pada 1220.

Ia dihormati masyarakat luas. Pengikutnya berasal dari pelbagai kalangan, mulai dari orang biasa hingga bangsawan. Bagi para salik, lelaki kelahiran Nishapur tersebut dipandang memiliki pengertian yang mendalam mengenai tasawuf dibandingkan siapapun pada masanya.

Attar merupakan seorang sufi sekaligus sastrawan yang produktif menulis. Ia menggubah sekitar 200 ribu sajak. Jumlah buku yang ditulisnya mencapai 114 kitab. Di antaranya, yang paling terkenal serta menjadi mahakarya ialah Manthiq al-Thair. Karya tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Musyawarah Burung.

Kepiawaiannya dalam menulis merupakan buah dari perjalanan panjangnya dalam belajar tasawuf. Saat berguru di kota-kota yang disinggahinya pada seorang syekh, dia sangat suka menyimak uraian yang penuh hikmah. Banyak guru tasawufnya menuturkan kisah-kisah dari Alquran maupun hadis, seperti cerita percakapan antara Nabi Sulaiman AS dan burung Hudhud.

Attar selalu berusaha menemukan makna simbolik, bukan sekadar arti lahiriah, dari setiap cerita yang disimaknya. Maka, kisah dialog putra Nabi Daud AS itu dengan seekor burung dinarasikan ulang olehnya menjadi Manthiq al-Thair.

photo
Patung penyair ternama Jalaluddin Rumi - (DOK Wikipedia)

Meramal Jalaluddin Rumi

Beberapa tahun sebelum ajal menjemputnya, Fariduddin Attar hidup dalam suasana negeri yang dirundung ketidakpastian sosial-politik. Persia menjadi rebutan banyak dinasti Muslim, khususnya Imperium Seljuk dan Kerajaan Khwarazmi.

Sementara itu, ancaman yang lebih gawat datang dari luar dunia Islam. Balatentara Mongol terus meningkatkan kekuatan militernya. Mereka telah membuat kekacauan di berbagai daerah dekat perbatasan Asia Tengah yang dikuasai Islam.

Pada awal periode 1210-an, situasi Nishapur memang cukup rentan, tetapi masih dapat kondusif untuk berlangsungnya aktivitas warga sehari-hari. Di kota itu, Attar menyebarkan ilmunya kepada banyak murid maupun pengikut. Reputasinya memang sudah diakui masyarakat luas, baik penduduk lokal maupun luar Persia.

Nun jauh dari sana, tepatnya di Balkhi (Afghanistan), seorang tokoh setempat yang bernama Muhammad bin Husain al-Khatibi memboyong anak dan istrinya keluar dari kota tersebut. Alasannya, lelaki yang akrab disapa Bahauddin Walad itu ingin agar keluarganya menghindar dari situasi mencekam. Memang, saat itu mulai tersiar kabar bahwa Balkhi akan diserbu pasukan Mongol.

Kira-kira pada 1213, alim mengakrabi dunia tasawuf tersebut tiba di Nishapur. Attar mengundangnya untuk menghadiri majelis ilmu setempat. Saat itu, Bahauddin membawa seorang putranya yang bernama Jalaluddin. Di hadapan murid-muridnya, penulis Manthiq al-Thair itu mengungkapkan kekagumannya bukan hanya pada sosok Bahauddin, tetapi juga anaknya.

Bocah yang berusia enam tahun tersebut lantas dipeluknya. Sambil mengelus lembut kepala Jalaluddin, Attar berkata kepada sekalian muridnya, “Hadir di sini sebuah lautan (Bahauddin) yang di belakangnya diikuti sebuah samudra (putranya, Jalaluddin).”

 
Putramu (Jalaluddin Rumi) tak lama lagi akan mengobarkan bara api para pencinta Tuhan dari seluruh dunia.
 
 

 

Attar juga berpesan kepada ulama yang baru saja hijrah dari Balkhi itu, “Putramu (Jalaluddin Rumi) tak lama lagi akan mengobarkan bara api para pencinta Tuhan dari seluruh dunia.”

Sebelum berpisah, syekh kelahiran Nishapur tersebut menghadiahkan kepada Bahauddin sebuah buku karangannya yang berjudul Asrar Namah (Kitab tentang Misteri-Misteri).

Ramalan yang disampaikan Attar benar adanya. Sebab, pada faktanya Jalaluddin kemudian tumbuh menjadi salah satu penyair-sufi terbesar dalam sejarah. Pada masanya, orang-orang menyebutnya sebagai Jalaluddin al-Balkhi—merujuk pada kota tempat asalnya.

Namun, namanya yang lebih masyhur adalah Jalaluddin Rumi. Kisah perjumpaan Jalaluddin kecil dengan Attar sering dinarasikan ulang dalam berbagai majelis tasawuf, seperti dinukil Afzal Iqbal dalam The Life and Work of Jalal-ud-din Rumi.

Ada berbagai riwayat tentang akhir hidup Fariduddin Attar. Salah satunya menyebutkan bahwa tokoh ini wafat dalam usia sekitar 74 tahun. Jenazahnya dikebumikan di kota kelahirannya, Nishapur—kini menjadi Kompleks Taman Attar.

Sumber lain menuturkan, sang salik berusia 110 tahun ketika wafat. Attar sempat ditangkap oleh sejumlah prajurit Mongol. Dikisahkan, mereka hendak membunuhnya, tetapi seorang warga datang dan berkata, “Lepaskan orang tua itu. Aku akan memberikan seribu keping perak sebagai tebusan!”

Para penawan sudah hampir menerima tawaran tersebut kalau bukan lantaran Attar yang berupaya mencegahnya. “Jangan jual saya semurah itu. Nanti ada orang lain yang bersedia membayar lebih banyak,” kata sang sufi.

 
Jangan jual saya semurah itu. Nanti ada orang lain yang bersedia membayar lebih banyak.
 
 

 

Kemudian, datanglah pria lain. Alih-alih uang, yang ditawarkannya adalah sekantong jerami kering. “Sekarang, jual saya kepadanya,” kata Attar, “sungguh, itulah harga diri saya.”

Orang-orang Mongol itu pun kesal. Mereka tadi meninggalkan kesempatan untuk sekantong perak, tetapi justru kini ditawari “hanya” segenggam jerami. Akhirnya, para prajurit tersebut memenggal kepala Attar. Sang penyair-sufi bahkan di ujung usianya masih sempat mengajarkan hikmah di balik tindakannya.

Syekh Fariduddin Attar merupakan salah satu dari sekian banyak salik berdarah Persia yang karya-karyanya abadi, melintasi ruang dan zaman. Ketokohannya menjadi salah satu bukti bahwa wilayah bekas Kerajaan Sasaniyah adalah sebuah mercusuar peradaban Islam. Diakui atau tidak, banyak penyair-sufi ternama yang berasal dari Iran.

Seyyed Hossein Nasr dan Javad Nurbaksh dalam Sufisme Persia Awal (2003) mengatakan, “Tanpa melimpah-ruahnya kemunculan orang-orang bijak dan pujangga Persia, Islam tidak akan pernah menyebar ke wilayah-wilayah seperti India, Asia tengah atau Asia Tenggara, seluas sekarang ini.”

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat