Sisa-sisa istana Kisra di Iran. Di sanalah pernah terjadi dialog antara utusan Muslimin yang bersahaja dan seorang jenderal Persia. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Dialog Ibnu Amir dan Jenderal Persia

Para delegasi Rasulullah datang silih berganti menemui Rustam Farrokhzad, jenderal Persia saat itu.

OLEH HASANUL RIZQA

Perang Qadisiyyah terjadi pada 636 M. Peristiwa tersebut menjadi momen yang menentukan antara kaum Muslimin dan Imperium Persia. Dalam pertempuran tersebut, kerajaan yang menganut agama Majusi itu menderita kekalahan hebat.

Pasukan Islam dipimpin Sa’ad bin Abi Waqqash. Sebelum pecah peperangan tersebut, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW itu sudah mengirimkan beberapa utusan untuk mendakwahi para elite Persia. Para delegasi tersebut datang silih berganti untuk menemui Rustam Farrokhzad, jenderal Persia saat itu.

Seorang utusan yang diamanahi tugas oleh Sa’ad ialah Rib’iy bin Amir. Sebelumnya, telah sampai kepada Rustam al-Mughirah bin Syubah. Sebenarnya, komandan Persia tersebut mulai menunjukkan ketertarikan akan Islam setelah berdialog dengan al-Mughirah.

Apalagi, setelah delegasi Muslim tersebut menjelaskan bahwa dalam agama ini, semua orang dipandang setara. Yang membeda-bedakan hanyalah derajat ketakwaan dan ilmu di sisi Allah SWT.

Namun, Rustam masih mudah dipengaruhi para petinggi istana yang bermulut besar dan sombong. Mereka menilai, bangsa Arab lebih rendah daripada Persia sehingga mustahil orang-orang Islam itu dapat mengalahkan imperium besar. Mengetahui gelagat lawannya itu, Sa’ad pun mengirim lagi delegasi berikutnya kepada Rustam, yakni Ibnu Amir.

Nama lengkapnya, Rib’iy bin Amir ats-Tsaqafi. Saat mendatangi istana tempat Jenderal Rustam berada, penampilannya amat bersahaja. Bahkan, masyarakat setempat serta para pengawal istana mungkin saja akan mengusirnya kalau dirinya tidak menunjukkan surat dari Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash.

 
Keadaan Ibnu Amir sangat kontras dengan penampilan orang-orang Persia di istana.
 
 

Keadaan Rib’iy sangat kontras dengan penampilan orang-orang Persia di istana. Di ruang pertemuan, ada banyak hiasan yang menampilkan kemilau pernak-pernik. Bantal-bantal yang ada di sana dirajut dengan benang emas. Permadani-permadaninya terbuat dari kain sutera.

Rib’iy menyaksikan, orang-orang setempat sedang memamerkan kepadanya berbagai macam kemewahan. Ada permata-permata dan perhiasan lainnya yang menyilaukan mata.

Jenderal Rustam dengan mahkota di atas kepalanya sedang duduk. Singgasananya terbuat dari emas. Sementara, Rib’iy di hadapannya hanya mengenakan baju yang sangat sederhana. Di pinggangnya, terdapat pedang dalam sarung dan perisai.

Utusan Muslim tersebut juga membawa seekor kuda yang pendek. Rib’iy masih tetap di atas kudanya saat menjumpai Rustam. Kaki-kaki hewan itu menginjak ujung permadani. Beberapa bantal yang berserakan di atas lantai robek lantaran tersapu kaki kuda tersebut.

 
Rib’iy masih tetap di atas kudanya saat menjumpai Rustam. Kaki-kaki hewan itu menginjak ujung permadani.
 
 

Setelah itu, Rib’iy langsung masuk lengkap dengan senjata, baju besi, dan penutup kepalanya. Seorang penjaga membentaknya agar meletakkan semua senjata yang dibawanya.

“Aku tidak pernah berniat mendatangi kalian, tetapi kalianlah yang mengundangku datang kemari. Jika kalian memerlukanku, biarkan aku masuk dalam keadaan begini. Jika tidak kalian izinkan, aku akan segera kembali!” kata Rib’iy.

Akhirnya, penjaga itu membiarkan sang utusan Muslim untuk menemui Rustam sesuai kemauannya. Rib’iy pun datang sambil bertongkat dengan tombaknya. Posisi ujung tombak itu menghujam ke bawah sehingga permadani yang dilewatinya memunculkan lubang-lubang tergores tombaknya.

Para pejabat di sekitar Rustam bertanya dengan nada ketus, “Apa yang membuatmu datang ke sini?”

“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan diri kepada sesama manusia agar mereka menghambakan diri hanya kepada Rabb manusia. Dia mengeluarkan mereka dari dunia yang sempit menuju akhirat yang luas, dan mengeluarkan mereka dari kezaliman agama-agama yang ada kepada keadilan Islam,” jawab Rib’iy lugas.

Orang-orang itu kembali bertanya, “Apa yang dijanjikan Allah kepada kaummu?”

“Surga bagi siapa saja dari kami yang terbunuh dalam peperangan di jalan Allah, dan kemenangan bagi yang hidup.”

Rustam menyelanya, “Aku telah mendengar seluruh perkataan kalian itu, tetapi maukah kalian memberi kami tangguh sejenak hingga kami berpikir? Kalian juga akan punya waktu berpikir?”

“Ya! Berapa hari kalian minta ditangguhkan? Satu atau dua hari?” tanya Rib’iy.

“Tidak, tetapi hingga kami menulis surat kepada raja kami dan para pemimpin kaum kami.”

Rib’iy kemudian menjelaskan, “Rasul kami tidak pernah mengajarkan kepada kami untuk menunda-nunda peperangan setelah bertemu musuh lebih dari tiga hari. Silakan kalian berpikir ulang dan pilih satu pilihan jika masa penangguhan berakhir.”

Seorang pejabat Persia bertanya, “Apakah kamu pemimpin kaummu?”

“Tidak, tetapi seluruh Muslimin ibarat satu tubuh. Yang paling rendah dari mereka dapat memberikan jaminan keamanan terhadap yang paling tinggi sekalipun,” tegas Rib’iy.

Akhirnya Rustam segera mengumpulkan para petinggi kaumnya dan berkata kepada mereka, “Pernahkah kalian melihat seseorang yang perkataannya lebih mulia dan lebih baik dari orang ini?”

Mereka berkata, “Jangan sampai engkau terpengaruh dengan ucapan anjing ini dan meninggalkan agamamu, tidakkah kau lihat bagaimana penampilannya? Bagaimana kumuh pakaiannya?”

Rustam berkata kepada mereka, “Celakalah kalian jangan hanya melihat kepada penampilan dan bajunya, tetapi lihatlah betapa cemerlangnya perkataan pemikiran dan jalan hidupnya. Sesungguhnya orang Arab tidak pernah merasa bangga dan begitu peduli dengan pakaian dan makanan. Tetapi mereka benar-benar menjaga harga diri.”

Rib’iy dan sejumlah utusan Khalifah telah menawarkan tiga pilihan: masuk Islam, membayar jizyah, atau diperangi. Ternyata, Rustam memilih yang ketiga. Maka pecahlah Perang Qadisiyyah. Sejarah mencatat, Imperium Persia jatuh di tangan Khalifah Umar bin Khattab atas izin Allah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat