Warga Kongo berebut menambang emas di gunung yang berada di Luhihi, Provinsi Kivu Selatan. | Youtube/Displore

Fatwa

Perebutkan Emas di Gunung, Bagaimana Hukumnya Menurut Islam?

Bagaimana hukumnya bila kita sebagai Muslim menemukan emas di perut bumi?

 

OLEH ANDRIAN SAPUTRA

Penemuan gunung yang memiliki banyak kandungan biji emas di Republik Demokratik Kongo beberapa waktu lalu sempat membuat heboh dunia. Warga Kongo pun berebut menambang emas di gunung yang berada di Luhihi, Provinsi Kivu Selatan itu. Meski kemudian Pemerintah Kongo menutup kawasan tersebut.

Berkaca dari kasus tersebut, bagaimana hukumnya bila kita sebagai Muslim menemukan emas di perut bumi? Apakah halal mengambil dan memilikinya? Atau emas yang ditemukan harus diserahkan kepada negara?

Pakar fikih yang merupakan guru besar hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung yang juga menjabat sebagai Sekretaris Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (BPH DSN MUI), Prof Jaih Mubarok, memberikan penjelasan gamblang tentang hukum memiliki emas atau biji emas yang ditemukan berada di perut bumi sebagaimana yang terjadi di Kongo.  

Prof Jaih menjelaskan, di antara elemen penting fikih muamalah maliyah adalah harta (amwal). Dalam ilmu fikih harta adalah benda yang disukai, disenangi, atau digandrungi masyarakat, dan boleh dimanfaatkan berdasarkan syariah.

Dalam arti lain, tidak terdapat nash terkait larangan untuk memanfaatkannya. Selain itu, harta memiliki nilai (qimah) baik dari segi benda maupun dari segi jumlah. Harta boleh dimiliki (mamluk) oleh manusia dan boleh dijadikan objek akad (mauqud alaih).

Barang yang belum ada pemiliknya secara sah atau barang bebas disebut dengan ihraz al-mubahat. Prof Jaih mengatakan, ihraz al-mubahat terjadi karena adanya benda yang tidak ada pemiliknya, dan penguasaan (ihraz) merupakan cara yang sah secara syariah untuk memiliki harta yang tidak ada pemiliknya.

"Dari aspek teologis, semua benda dan harta adalah milik Allah. Jadi, tidak ada benda dan harta yang tidak ada pemiliknya. Tetapi, yang dimaksud tidak ada pemiliknya adalah pemilik majazi (bukan pemilik hakiki) yaitu manusia, yang dimaksud harta yang belum ada pemiliknya adalah harta yang tidak dimiliki oleh subjek hukum tertentu baik orang (syakhshiyyah) maupun yang dipersamakan dengan orang (syakhshiyyah-i‘tibariyyah)," kata Prof Jaih kepada Republika, beberapa hari lalu.

 
Dari aspek teologis, semua benda dan harta adalah milik Allah. Jadi, tidak ada benda dan harta yang tidak ada pemiliknya.
 
 

Prof Jaih menjelaskan, di antara contoh cara penguasaan yang benar secara syariah terhadap benda-benda tanpa pemilik adalah seperti membuka, menghidupkan atau mengelola lahan yang kosong (ihya al-mawat), mengambil semisal air, rumput, api yang tak ada pemiliknya (akhdz). Selain itu, seperti memburu hewan yang tak ada pemiliknya (shaid) baik di darat maupun di laut dengan cara menjaring, memancing, atau lainnya yang biasa dilakukan.

Menurut dia, hal ini termasuk penguasaan benda tanpa pemilik yang benar sesuai syariah adalah seperti menemukan harta tanpa pemilik yang sah (luqathah).

"Menemukan harta menjadi sebab kepemilikan karena pihak yang menemukannya berhak menjadi pemilik harta yang ditemukannya, dalam hal tidak ditemukan pemiliknya setelah dilakukan cara-cara yang benar dan wajar untuk menemukan pemiliknya," kata dia.

Pada kasus warga Kongo yang berebut emas yang terdapat dalam pegunungan di Luhihi, menurut Prof Jaih, terjadi karena diyakini pegunungan tersebut tanpa pemilik, sehingga warga berlomba-lomba memiliki dengan cara menguasai.

 
Jika gunung tersebut telah ada pemiliknya (yang dibuktikan melalui sertifikat hak milik), maka emas tersebut telah ada pemiliknya.
 
 

Menurut Prof Jaih, bila ada status yang jelas tentang kepemilikan gunung, emas yang terkandung atau berada di dalam gunung tersebut pun ada pemiliknya. Namun, bila gunung tersebut tidak ada pemiliknya, emas yang terkandung di dalamnya dapat dimiliki.

"Jika gunung tersebut telah ada pemiliknya (yang dibuktikan melalui sertifikat hak milik), maka emas tersebut telah ada pemiliknya, yaitu pemilik gunung tersebut, dalam hal gunung tersebut milik negara, berarti emas yang dikandungnya juga milik negara. Dalam hal gunung tersebut tidak ada pemiliknya, emas tersebut tidak ada pemiliknya (mubahat) sehingga boleh dimiliki dengan cara menguasainya (ihraz al-mubahat)," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat