Petani memanen garam di Kawasan Penggaraman Talise di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (19/1/2021). | Mohamad Hamzah/ANTARA FOTO

Opini

Swasembada Garam

Kebijakan pemerintah cenderung mengutamakan impor garam ketimbang perbaikan sektor produksi.

JOJO, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB

Peran vital garam dalam kehidupan manusia nyaris tak tergantikan. Tiap hari, rata-rata orang Indonesia mengonsumsi garam sekitar 3,8 gram. Angka ini lebih rendah daripada angka ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 gram per hari.

Peran penting ‘induk bumbu’ ini menjadikan komoditas tersebut strategis bagi rakyat. Setidaknya ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, tidak ada barang substitusi garam. Kedua, ia mampu memberi nilai tambah ekonomi tinggi bagi industri.

Penggunaan garam selain sebagai bahan konsumsi, digunakan untuk kepentingan industri. Garam konsumsi (15 persen kebutuhan) antara lain garam untuk rumah tangga, industri pengasinan ikan, dan industri aneka pangan.

Sedangkan garam industri (85 persen kebutuhan) merupakan  garam untuk industri chlor alkali plant (CAP) dan farmasi, serta industri non-CAP seperti industri perminyakan, kulit, tekstil, dan sabun.

 
Peran penting ‘induk bumbu’ ini menjadikan komoditas tersebut strategis bagi rakyat.
 
 

Sebenarnya, Indonesia memiliki potensi alam luar biasa besar. Ia memiliki garis pantai terpanjang ke-2 di dunia (95.181 km). Sebagian besar wilayahnya berupa lautan, sinar matahari bersinar sepanjang tahun dan SDM berlimpah.

Semestinya, itu jadi potensi  daya ungkit besar untuk menggenjot produksi garam. Sayangnya, hingga kini potensi tersebut belum mampu dimanfaatkan maksimal hingga kita masih tergantung pada garam impor.

Kebutuhan garam setiap tahun selalu meningkat sejalan peningkatan jumlah penduduk serta pertumbuhan industri. Sisi lain, produksi garam dalam negeri susah beranjak dari angka 2,5 juta ton per tahun.

Angka ini, jauh di bawah  produsen utama garam dunia seperti Cina (60 juta ton),  Amerika Serikat  (42 juta ton), dan  India (30 juta ton). Sedangkan kebutuhan garam industri kita, sekitar 3 juta-4 juta ton per tahun.

 
Pada periode itu, terjadi penurunan terbesar produksi garam nasional yaitu mencapai 93,23 persen dari 2,5 juta ton menjadi 168 ribu ton.
 
 

Belum kebutuhan garam konsumsi rumah tangga sekitar 500 ribu ton. Kekurangannya harus ditutup importasi. Malapetaka impor garam kian menjadi sejak 2016.

Pada periode itu, terjadi penurunan terbesar produksi garam nasional yaitu mencapai 93,23 persen dari 2,5 juta ton menjadi 168 ribu ton.

Sejak itu,  keran impor garam dibuka lebar sebesar 2,14 juta ton sebagai rasionalisasi anjloknya produksi garam dan untuk memenuhi kebutuhan sebanyak 4,1 juta ton. Impor pun menjadi solusi praktis hingga kini. 

Seperti pada 2020, kebutuhan garam nasional sekitar 4,2 juta ton. Impor pada 2020 menurun dari 2019. Produksi nasional garam 2020 diperkirakan anjlok hanya 1,2 juta ton. Angka ini turun dari produksi 2019 sebesar 2,8 juta ton. Lagi-lagi,  faktor cuaca jadi kambing hitam.

Kondisi ini tak jauh berbeda dengan 2021. Menurut data Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, total impor garam selama 2021 akan mencapai 3,07 juta ton. Impor ini naik 13,88 persen dari impor 2020 yang  berkisar 2,7 juta ton.

 
Menariknya, selisih kebutuhan garam ini dicukupi dengan jumlah impor lebih besar yaitu 3,07 juta ton. 
 
 

Masih merujuk sumber data yang sama, total kebutuhan garam pada 2021 berjumlah 4,67 juta ton, sedangkan produksi diperkirakan 2,1 juta ton. Dengan demikian, hanya ada selisih 2,57 juta ton sebagai kebutuhan yang perlu ditambal dengan impor.

Menariknya, selisih kebutuhan garam ini dicukupi dengan jumlah impor lebih besar yaitu 3,07 juta ton. Artinya, 20 persen lebih banyak dari selisih produksi dan kebutuhan. Soal berlebihnya impor ini, dalihnya, pelaku usaha butuh cadangan stok untuk tahun depan.

Persoalan utama yang mendera industri garam nasional karena pemanfaatan potensi yang kurang optimal. Di antaranya, pertama, minimnya dukungan pemerintah untuk pengembangan industri garam.

Selama ini, kebijakan pemerintah cenderung mengutamakan impor dibandingkan perbaikan sektor produksi. Di samping itu, kurang sinergi antara kementerian/lembaga ketika menentukan kebijakan impor garam.

Kedua, penggunaan teknologi masih sederhana. Hingga kini, produksi garam nasional lebih banyak disumbang dari tambak garam rakyat yang menggunakan cara tradisional yang sangat bergantung pada cuaca.

 
Hal tersebut berdampak pada daya saing yang rendah, tak terserap industri karena tak sesuai standar.  
 
 

Akibatnya, kualitasnya rendah (kadar NaCl-nya berkisar 88-92,5 persen). Hal tersebut berdampak pada daya saing yang rendah, tak terserap industri karena tak sesuai standar.  

Ketiga, kalah daya saing harga. Harga garam lokal dibanderol sekitar Rp 2.500 per kg-nya, sementara harga garam impor berkisar Rp 500 per kg. Disparitas harga tersebut, menggoda para pemburu rente untuk mendapat kuota atau menambah kuota impor garam.

Keempat, industri pengolahan garam yang sebagian besar hanya terpusat sekitar Pulau Jawa.

Menuju swasembada

Pemerintah mematok target swasembada garam pada 2021 tetapi  gagal, molor ke 2022. Melihat fakta di lapangan, sepertinya taget tersebut sulit terealisasi. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, keterbatasan lahan tambak.

Luasnya wilayah lautan tidak serta merta seluruh lahan pesisirnya dapat digunakan sebagai lahan tambak garam. Merujuk data Balitbang KKP (2012), hanya sekitar 34 ribu hektare lahan pesisir yang memenuhi kriteria teknis sebagai lahan tambak garam.

Kajian Dharmayanti (2013) menyebut, dari luasan tersebut baru sekitar 60 persen yang telah dimanfaatkan sebagai lahan tambak garam produktif. Artinya, jika mau swasembada 4,7 juta ton garam, on farm kita butuh lahan sekitar 50 ribu hektare.

 
Di sini, kebijakan impor hendaknya benar–benar untuk menutupi kekurangan stok garam, bukan didasari  kepentingan lain. 
 
 

Padahal, PT Garam hanya 5 ribu hektare dan punya rakyat hanya 30 ribu hektare. Ada gap 15 ribu hektare. Kedua, belum tersedia kilang pemurnian garam yang mumpuni. Kalaupun ada, kapasitasnya relatif kecil sehingga kurang efisien, sekitar dua ton per jam.

Proses Ini penting untuk pengkristalan dan pemurnian garam dan  peningkatan kualitas garam. Selama ini, pengolahan garam masih dilakukan secara konvensional. Sehingga inefisiensi waktu dan proses yang panjang untuk menghasilkan garam siap pakai.

Guna menggapai swasembada garam, ada beberapa arah dan langkah strategis yang perlu dipertimbangkan. Pertama, menyusun peta jalan produk garam nasional, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri.

Perlu pembenahan terkait validitas data produksi. Keakuratan data ini penting guna memotret jumlah produksi garam yang dihasilkan petambak garam. Data produksi yang dihasilkan BUMN (PT Garam) juga akan sangat menentukan kualitas kebijakan.

Di sini, kebijakan impor hendaknya benar–benar untuk menutupi kekurangan stok garam, bukan didasari  kepentingan lain. Di samping itu, pemerintah perlu memastikan impor tak berpengaruh banyak terhadap harga garam domestik.

 
Jumlah produksi garam sangat dipengaruhi cuaca/intensitas sinar matahari. Diperlukan teknologi tepat guna yang dapat digunakan petani bila ada gangguan cuaca.
 
 

Lalu, tak terjadi rembesan pada garam konsumsi dan tak mengganggu daya serap garam petani di pasaran. Kedua, mendukung petani garam lokal berupa modal,  infrastruktur dan penyuluhan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasilnya.

Karena spesifikasi garam yang dibutuhkan konsumen garam berbeda–beda. Pembinaan yang intensif kepada petani garam hendaknya berkesinambungan hingga mampu menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan.

Ketiga, peningkatan sarana pendukung. Jumlah produksi garam sangat dipengaruhi cuaca/intensitas sinar matahari. Diperlukan teknologi tepat guna yang dapat digunakan petani bila ada gangguan cuaca.

Dengan cara seperti ini, diharapkan petani dapat terus menjalankan usahanya. Keempat, harmonisasi aturan dan terobosan kebijakan untuk memastikan koordinasi antara kementerian/lembaga terkait, dan pemerintah daerah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat