
Khazanah
Gelar Muktamar, Al Washliyah akan Pilih Ketum
Al Washliyah adalah ormas Islam yang menjunjung tinggi persaudaraan.
JAKARTA — Pengurus Besar (PB) Al Washliyah akan menggelar Muktamar XXII di Hotel Sari Pasifik, Jakarta, pada 19-21 Maret 2021. Ada sejumlah agenda penting yang akan dibahas dalam muktamar, salah satunya pemilihan ketua umum (ketum) baru.
Sekretaris Jenderal PB Al Washliyah KH Masyhuril Khamis mengatakan, agenda utama muktamar adalah meletakkan dasar-dasar organisasi dan strategi pengembangan organisasi untuk lima tahun ke depan. Di antaranya, menetapkan dan mengesahkan AD/ART, program kerja, dan peta jalan organisasi untuk 2021- 2026.
"Setelah itu semua ditetapkan, termasuk visi-misi organisasi kita ke depan, untuk melaksanakan itu tentu ada pemilihan imam yang baru atau ketua umum yang baru," kata Kiai Masyhuril kepada Republika, Senin (15/3).
Pemilihan ketua umum ini tidak menggunakan sistem pemilihan satu orang satu suara. Hal ini karena Al Washliyah menggunakan asas musyawarah dan mufakat. Menurut Kiai Masyhuril, Al Washliyah adalah ormas Islam yang menjunjung tinggi persaudaraan, kebersamaan, dan menghormati satu sama lain.
Mengenai tata cara pelaksanaan muktamar, ia menerangkan, mengingat pandemi Covid-19 masih berlangsung, muktamar kali ini dilakukan secara hybrid. Muktamar secara hybrid, yaitu muktamar yang dilakukan dengan cara sebagian peserta hadir di lokasi dan sebagian lagi hadir secara virtual.
Adapun yang hadir di lokasi muktamar, di antaranya pengurus wilayah Al Washliyah seluruh Indonesia, dewan fatwa, dewan pertimbangan, dan pengurus besar. Maksimal 100 orang yang hadir di lokasi muktamar.
"Sementara, peserta muktamar yang hadir melalui Zoom (secara virtual) terdiri dari seluruh pengurus daerah yang berada di kabupaten dan kota se-Indonesia," ujarnya.
Ia mengatakan, panitia penyelenggara muktamar telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyukseskan kegiatan lima tahunan ini.
Terkait kiprah Al Washliyah, Kiai Masyhuril menyampaikan, ormas yang berdiri pada 1930 ini berkiprah dalam tiga hal penting, yakni dakwah, pendidikan, dan sosial.
Di bidang pendidikan, Al Washliyah memiliki madrasah dan sekolah, mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi. Al Washliyah tercatat memiliki 14 perguruan tinggi serta 700 sekolah dari TK sampai MA. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di 13 provinsi. Al Washliyah juga memiliki tujuh panti asuhan lengkap dengan sekolahnya.
"Jadi, ke depan pendidikan ini harus menjadi lokomotif untuk pembangunan keumatan dan pembangunan bangsa karena ruh sebuah negara adalah sumber daya manusia," kata dia.
Saat ini, dia melanjutkan, Al Washliyah dikenal sebagai organisasi yang pusatnya di Jakarta, tapi kiprahnya banyak di Sumatra. Terkait hal ini, Al Washliyah ingin membuat satu visi bahwa Al Washliyah harus bersetara nasional dan menusantara.
"Konsen (Al Washliyah) juga di bidang dakwah. Selama ini daerah di pedalaman di Sumatra itu di tanah Batak, Karo, Nias, Mantawai itu merupakan basis pedalaman yang menjadi garapan dakwah kita," ujarnya.
"Dakwah kita memang lebih banyak pada ceruk-ceruk pasar, khususnya daerah pedalaman di mana mereka rentan terhadap pemurtadan akidah.”
Selama ini daerah di pedalaman di Sumatra itu di tanah Batak, Karo, Nias, Mantawai itu merupakan basis pedalaman yang menjadi garapan dakwah kita.
Pendiri al Washliyah
Di era kolonial, penjajah Belanda begitu gencar menerapkan politik adu domba untuk memecah belah persatuan di kalangan umat Islam. Penjajah Belanda memanfaatkan perbedaan pandangan di kalangan umat Islam, terutama terkait dalam hal ibadah dan cabang dari agama (furu’iyah) untuk menghancurkan ukhuwah Islamiyah.
Penjajah Belanda tak mau melihat umat Islam bersatu. Sebab, persatuan di kalangan umat Islam adalah ancaman bagi mereka. Strategi adu domba itu pun berhasil. Kala itu, umat Islam terbagi menjadi dua kelompok yang disebut dengan kaum tua dan kaum muda. Perseteruan antara kedua kubu itu pun semakin memanas dan meruncing.
Perseteruan antara kaum tua dan muda itu terjadi di kalangan umat Islam di Kota Medan, Sumatra Utara. Kondisi yang memprihatinkan itu membetot perhatian dari para pelajar yang menimba ilmu di Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT), Medan. Mereka tergerak untuk mempersatukan kembali umat yang terpecah belah itu.
Para siswa MIT itu kerap membahas dan mendiskusikan masalah perpecahan itu dalam forum Debating Club (Perkumpulan Debat). Diskusi mencapai puncaknya pada Oktober 1930. Pada awal Oktober diadakanlah sebuah pertemuan di kediaman Yusuf Ahmad Lubis, yang bertempat di Jalan Glugur, Kota Medan.
Pada pertemuan yang dipimpin Abdurrahman Syihab itu, hadir sejumlah pelajar seperti Yusuf Ahmad Lubis, Adnan Nur, M Isa, dan beberapa pelajar lainnya. Para pelajar bersepakat untuk memperbesar perkumpulan yang mereka miliki yaitu Debating Club.
Dalam pertemuan yang bertempat di rumah Abdurrahman Syihab, hadir Ismail Banda, Yusuf Ahmad Lubis, Adnan Nur, Abdul Wahab, dan M Isa. Mereka sepakat untuk mengundang alim ulama, tuan-tuan guru, dan para pelajar lainnya pada pertemuan yang lebih besar.
Pertemuan itu digelar pada 26 Oktober 1930 di Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan. Dalam pertemuan itu, hadir para ulama, guru-guru, pelajar, dan pemimpin Islam di Kota Medan dan sekitarnya. Seluruh peserta pun bersepakat untuk membentuk perkumpulan yang bertujuan memajukan, mementingkan, dan menambah tersyiarnya agama Islam.
Ismail Banda tampil sebagai pemimpin pertemuan itu. Ia bersama M Arsyad Thalib dan H Syamsudin menjelaskan kepada seluruh peserta pertemuan tentang bentuk organisasi yang hendak didirikan.
Sebulan kemudian, tepatnya pada 30 November 1930/9 Rajab 1349 H berdirilah organisasi yang dicita-citakan para pelajar MIT Medan itu. Organisasi itu bernama al-Jam’iyatul Washliyah biasa disebutan al-Washliyah. Untuk pertama kalinya, ormas Islam yang lahir di Medan itu dipimpin oleh Tuanku H Ismail Banda.
Ismail Banda lahir pada 1910. Setelah menamatkan pendidikan pertamanya, ia masuk sekolah menengah Islamiyah di Medan, selama lima tahun. Kemudian, ia meneruskan studinya ke Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, dengan bantuan orang tua dan al-Washliyah.
Saat menimba ilmu di perguruan tinggi Islam tertua itu, Ismail Banda dikenal sebagai mahasiswa yang brilian. Ia tampil sebagai pemuda Indonesia yang cerdas dan kreatif. Ia pun berhasil meraih gelar Ahliyyah dari al-Azhar. Pada 1937, sang pendiri al-Washliyah itu mengantongi ijazah ulama.
Dalam pergerakan Organisasi Mahasiswa Islam di Mesir, Ismail Banda turut aktif menjadi anggota pengurus dari perkumpulan Jam’iyah Chiriyah Jawiyah. Organisasi itu berubah nama menjadi Perkumpulan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom). Pada 1945, Ismail Banda mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia di Kairo, Mesir.
Selama di luar negeri, Ismail Banda menjadi pembantu tetap Pewarta Deli dan Pemandangan, sebagi koresponden luar negeri untuk Timur Tengah antara 1932 hingga 1942. Ia pun sempat pula menjadi staf redaksi surat kabar Icksan bagian luar negeri di Mesir yang terbit dalam bahasa Arab.
Meski sibuk di dunia politik dan pergerakan, ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya mendapat pengakuan. Pada 1940, ia menyandang gelar BA pada program studi filsafat di sekolah tinggi al-Azhar. Dua tahun kemudian, ia meraih gelar MA di bidang filsafat.
Tak cuma itu, ia juga mengantongi ijazah bahasa Inggris dari Cambrige University pada 1944. Ismail Banda kembali ke Tanah Air pada 1947 dan terus ke Ibu Kota negara yang kala itu berada di Yogyakarta.
Pergaulannya di Yogyakarta amat menguntungkan umat Islam. Ismail Banda aktif di Masyumi. Awalnya, ia bekerja di Kementerian Agama, tetapi hatinya lebih tertarik dengan urusan luar negeri. Sejak1948, ia diangkat menjadi refrendaris pada Kementerian Luar Negeri di Yogyakarta. Ismail sempat kembali keluar negeri dan menjadi penyiar pada beberapa radio untuk memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia.
Pada 1950, Ismail Banda dipindahkan ke Jakarta pada kementerian Luar Negeri dan menjabat perwakilan pada Kedutaan Indonesia di Teheran. Berbekal surat Kementerian Luar Negeri tertanggal 30 November 1951, ia diperintahkan bekerja pada perwakilan Indonesia di Kabul, Afganistan, dan harus berangkat dengan pesawat udara pada akhir Desember 1951.
Sebelum ke Afganistan, Ismail Banda bermaksud hendak singgah dahulu di Mesir dan di Teheran. Namun, takdir berkata lain. Pesawat yang ditumpangi Ismail Banda dihantam badai topan dan mengalami kecelakaan di Teheran yang menyebabkan seluruh penumpangnya meninggal dunia, termasuk pendiri al-Washliyah Ismail Banda.
Jasadnya dimakamkan di tempat kejadian, yaitu di Teheran. Ismail Banda meninggalkan seorang anak perempuan bernama Nur Laila yang ketika itu berusia 22 tahun dan sempat menjadi pengajar di sekolah al-Washliyah di Medan.
Umat Islam Indonesia pun kehilangan seorang tokoh yang amat berjasa bagi umat dan bangsa. Ia bukan hanya seorang pemimpin Masyumi serta pemimpin al-Jam’iyatul Washliyah, pemimpin umat Islam umumnya. Umat Islam yang berada di Jakarta dan Sumatra Utara menggelar shalat gaib untuk mendoakan sang ulama pejuang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.