Muslimah Sri Lanka mengenakan burqa saat berjalan di seputaran Kota Colombo, Sri Lanka, Ahad (14/3/2021). Pemerintah Sri Lanka akan melarang pengenaan burqa dan bakal menutup 1.000 sekolah madrasah yang tak berizin. EPA-EFE/CHAMILA KARUNARATHNE | EPA

Internasional

Sri Lanka Larang Burqa dan Tutup Sekolah Islam

Pelarangan burqa dan penutupan sekolah tanpa melibatkan perwakilan masyarakat Muslim di Sri Lanka.

 

 

SRI JAYAWARDENAPURA KOTTE — Sri Lanka memulai gerakan baru dalam memberantas ekstremisme agama. Pemerintahnya sepakat menjalankan rencana melarang pemakaian burqa dan cadar hingga menutup lebih dari seribu sekolah Islam di seluruh negara.

Kebijakan ini akan berdampak besar bagi minoritas Muslim di negara tersebut. Menteri Keamanan Publik Sarath Weerasekera mengaku telah menandatangani makalah pada Jumat (12/3) untuk persetujuan kabinet dalam melarang burqa dengan alasan keamanan nasional.

Burqa merupakan pakaian luar yang menutupi seluruh tubuh dan wajah yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim.

"Pada masa-masa awal kami, wanita dan gadis Muslim tidak pernah mengenakan burqa," katanya seperti dikutip laman Aljazirah, Ahad (14/3). "Itu adalah tanda ekstremisme agama yang muncul baru-baru ini. Kami pasti akan melarangnya," ujarnya.

Weerasekera menjelaskan, dokumen tersebut perlu disetujui terlebih dulu oleh kabinet menteri, parlemen, dan pemerintah yang memiliki dua pertiga mayoritas suara untuk melihat dokumen tersebut.

Ia melanjutkan, pemerintah juga berencana untuk melarang lebih dari 1.000 sekolah Islam yang menurutnya melanggar kebijakan pendidikan nasional. "Tidak ada yang bisa membuka sekolah dan mengajarkan apa pun yang Anda inginkan kepada anak-anak," katanya.

 
Tidak ada yang bisa membuka sekolah dan mengajarkan apa pun yang Anda inginkan kepada anak-anak.
 
 

Langkah pemerintah pada burqa dan sekolah mengikuti perintah tahun lalu yang mengamanatkan kremasi korban Covid-19. Sebab, kremasi bertentangan dengan keinginan Muslim, yang menguburkan jenazah mereka.

Larangan ini dicabut awal tahun ini setelah mendapat kritik dari Amerika Serikat (AS) dan kelompok hak asasi internasional. Aktivis perdamaian dan hak-hak perempuan Sri Lanka, Shreen Sarror, mengatakan, gerakan tersebut dilakukan dan membuat komunitas Muslim kian menjadi sasaran.

Menurut dia, hal itu merupakan bagian dari reaksi Islamofobia di Sri Lanka. "Kebijakan wajib kremasi direvisi dan sekarang kami mendengar begitu banyak tindakan lain untuk menghukum komunitas Muslim," kata dia yang juga mencatat bahwa Muslim di negara itu tidak pernah diajak berkonsultasi sebelumnya.

Fakta bahwa pemakaian masker telah diwajibkan di Sri Lanka selama pandemi virus korona, Saroor mengatakan, menjadikan pelarangan burqa langkah yang sangat politis. Pemakaian burqa di negara mayoritas Buddha tersebut sebelumnya telah sempat dilarang secara sementara pada 2019.

 Tepatnya, setelah pengeboman gereja dan hotel pada hari Paskah oleh milisi bersenjata yang menewaskan lebih dari 250 orang. Langkah tersebut kemudian mendapat tanggapan beragam. Para aktivis mengatakan, hal itu melanggar hak wanita Muslim untuk menjalankan agama mereka dengan bebas.

Cegah terorisme

Pemerintah Sri Lanka pada Sabtu (13/3) juga mengumumkan penggunaan undang-undang antiteror untuk menangani ekstremisme agama. Termasuk juga, memberikan kewenangan besar untuk menahan tersangka hingga dua tahun untuk deradikalisasi.

Presiden Gotabaya Rajapaksa mengeluarkan peraturan yang mengizinkan penahanan terhadap siapa pun yang diduga menyebabkan tindakan kekerasan atau ketidakharmonisan agama, ras atau komunal, atau perasaan niat buruk antara komunitas yang berbeda. Aturan tersebut berlaku efektif pada Jumat (12/3) dan telah ditetapkan di bawah Undang-Undang Pencegahan Terorisme (PTA).

Pemerintah Sri Lanka sebelumnya telah berjanji untuk mencabut PTA setelah mengakuinya secara serius merusak kebebasan individu, tetapi gagal melakukannya. Saat ini, penduduk Muslim di Sri Lanka mencapai sekitar sembilan persen dari 22 juta orang.

Sementara, umat Buddha Sinhala berjumlah sekitar 75 persen dari populasi. Presiden Rajapaksa sangat populer di kalangan mayoritas Buddha Sinhala karena telah mengakhiri perang saudara yang selama 26 tahun telah berlangsung di negara pulau itu pada 2009.

 Namun, para kritikus kerap menyerang Rajapaksa yang dianggap selama perang memberikan sangat sedikit perhatian pada hak asasi manusia, termasuk mengizinkan penculikan dan memberikan persetujuan untuk pembunuhan di luar hukum.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat