KH Muhammad Akyas, seorang ulama besar dari Pondok Pesantren Buntet Cirebon, Jawa Barat. | DOK Nahdlatul Ulama

Mujadid

KH Muhammad Akyas, Ulama Karismatik dari Buntet

KH Muhammad Akyas juga turut dalam perjuangan fisik melawan penjajah.

OLEH MUHYIDDIN 

Di Indonesia, pondok-pondok pesantren berperan strategis dalam mencetak ulama. Salah satu contoh lembaga demikian adalah Pondok Pesantren Buntet di Mertapada Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat.

Seorang tokoh dari sana yang turut berkiprah besar untuk umat dan bangsa ialah KH Muhammad Akyas. Ia dikenal masyarakat lantaran sifat-sifatnya yang alim, tawaduk, tegas, dan sederhana.

Putra sesepuh Pesantren Buntet, KH Abdul Jamil, itu lahir pada tahun 1893. Sejak kecil, dirinya dididik dengan ajaran Islam. Ayahnya mengajarkan dasar-dasar agama, termasuk kemampuan membaca Alquran.

Sesudah itu, Muhammad Akyas berguru dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Dari rihlah keilmuan itu, dirinya tidak hanya mendapatkan ilmu-ilmu agama, melainkan juga kebiasaan hidup penuh disiplin dan bersahaja.

Tentunya, Akyas kecil sudah ditempa dengan sikap-sikap positif itu oleh kedua orang tuanya. Saat masih di Buntet, ia dibimbing untuk mencintai ilmu pengetahuan. Kegemarannya melahap pustaka juga mulai muncul pada masa ini. Menurut berbagai sumber, putra kiai sepuh itu senang mempelajari dan menghafal sejumlah kitab, semisal Alfiyah karangan Ibnu Malik. Ia bahkan lebih suka menghabiskan waktu di antara tumpukan buku, sembari pikirannya berkelana mengikuti kata-kata karya alim ulama terdahulu.

Salah satu lembaga pendidikan tempatnya belajar ialah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Institusi ini diasuh KH Hasyim Asy’ari. Sewaktu menimba ilmu-ilmu agama di sana, Akyas sudah berusia remaja. Berbeda dengan para santri setempat pada umumnya, saat masuk ke Tebuireng ia sudah hafal keseluruhan Alfiyah.

Karena itu, dirinya hanya membutuhkan waktu 18 bulan ketika nyantri di Jombang. Usai itu, pemuda ini diperbolehkan untuk berguru langsung kepada sosok pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang bergelar hadratussyekh tersebut.

Dari Tebuireng, Akyas muda melangkahkan kakinya ke Pondok Pesantren Jami Soren, Solo, Jawa Tengah. Lembaga itu diasuh KH Abdul Malik. Terasa adanya peningkatan kapasitas dirinya selepas berguru dengan Kiai Hasyim. Buktinya, Kiai Abdul Malik mengizinkannya untuk mengajarkan murid-murid setempat, khususnya peserta didik di Madrasah Mambaul Ulum. Salah satu matapelajaran yang diampunya ialah tata bahasa Arab, termasuk membedah kitab Alfiyah.

Penunjukan dirinya bermula dari kesan yang diterima gurunya. Suatu hari, guru madrasah tersebut mengisi kegiatan belajar-mengajar. Seluruh murid ditanya, adakah yang sudah menghafal kitab Alfiyah. Tidak ada yang mengangkat tangan di antara mereka selain Akyas.

Setelah diuji, benarlah bahwa pemuda ini sudah mengingat kandungan kitab karya Ibnu Malik tersebut. Banyak kawannya yang seakan tak percaya dan berdecak kagum akan keilmuan remaja ini. Begitu pula para pengajar setempat.

Tidak hanya di Tebuireng ataupun Jami Soren, kepribadian dan kemampuan Akyas muda juga tampak unggul di pesantren-pesantren lain tempatnya menuntut ilmu. Ia senang melakukan tabarruk atau mencari kebaikan dari kiai-kiai yang darinya ilmu diperoleh.

Dalam hal ini, prinsip adab dalam menimba ilmu selalu dipatuhinya. Sikap yang konsisten itu menempa dirinya menjadi pribadi yang rendah hati dan senang menolong di manapun berada.

Dengan berbekal ilmu dan pengalaman di pelbagai pesantren, Akyas akhirnya dipercaya untuk mengajar para santri di pesantren ayahnya. Setelah itu, bapaknya mengamanahkannya untuk mendirikan asrama di lingkungan Pondok Pesantren Buntet. Inilah awal mulanya mengisi peran sebagai kiai pesantren. Dari bulan ke bulan, semakin banyak santri yang datang ke sana untuk mendalami ilmu-ilmu agama dari mubaligh ini.

Dakwah hingga dipenjara

photo
Dikisahkan, KH Muhammad Akyas menggunakan kerikil untuk menandai hafalan hadis. - (DOK PXHERE)

KH Muhammad Akyas dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki suatu ciri khas dalam berdakwah. Kepiawaiannya dalam mengomunikasikan ajaran agama Islam kepada masyarakat cukup unik. Salah satunya tampak ketika dirinya berdakwah. Sang alim mahir menirukan gaya seorang dalang. Syair-syair berbahasa Arab pun dimodifikasinya agar menjadi langgam yang akrab di telinga para penggemar pertunjukan wayang.

Suatu ketika, Kiai Akyas pernah diundang ke suatu daerah. Kebetulan, di dekat kediaman tuan rumah ada pegelaran wayang. Setelah pertunjukan itu selesai, sang dai pun bercerita seputar tokoh-tokoh wayang yang dikaitkan dengan ajaran keagamaan. Suara dan intonasinya yang fasih melafalkan ayat-ayat Alquran dan syair-syair Arab pun memukau hadirin. Sekan-akan, penampilan dalang yang baru saja digelar tak jauh dari sana kalah oleh gaya dakwah Kiai Akyas.

Selain aktif berdakwah di tengah masyarakat, ulama asal Cirebon itu juga ikut merasakan perjuangan di masa penjajahan Belanda. Pondok Pesantren Buntet termasuk target operasi pemerintah kolonial.

 
Pondok Pesantren Buntet termasuk target operasi pemerintah kolonial.
 
 

Tak sedikit polisi mata-mata yang dikerahkan untuk mengawasi lembaga pendidikan Islam itu. Bahkan, suatu hari bereda kabar burung bahwa Buntet hendak diserbu dan dibakar tentara penjajah. Serangan demikian disebut-sebut akan dilancarkan tidak hanya lewat darat, melainkan juga udara.

Setelah mendengar desas-desus itu, banyak warga setempat yang mengungsi ke daerah lain. Harapannya, kemunculan korban luka maupun jiwa dapat dihindari. Tentunya, ada yang memilih bertahan di tempat masing-masing.

Banyak di antaranya yang berasal dari Laskar Hizbullah, termasuk para santri dan kiai Pesantren Buntet. Mereka pun turut menolong penduduk yang hendak mengungsi keluar Cirebon.

Ketika banyak orang hendak bersembunyi di perbatasan desa atau hutan, Kiai Akyas tetap bertahan. Ia tidak mau pindah dari rumahnya. Istrinya, Nyai Masri, turut menemaninya. Perempuan itu pandai berbahasa Belanda.

 
Ketika banyak orang hendak bersembunyi di perbatasan desa atau hutan, Kiai Akyas tetap bertahan. Ia tidak mau pindah dari rumahnya.
 
 

Malam sebelumnya, sang nyai berhasil mendekati sekitar markas Belanda di Cirebon. Sebuah informasi berharga dapat diperolehnya. Yakni, jika masih ada warga setempat yang enggan mengungsi, maka daerah tersebut tidak akan dibumihanguskan.

Maka benarlah Kiai Akyas tidak jadi pergi. Sebagai gantinya, ia dan para pengikutnya sudah bersiap menghadapi pasukan Belanda. Setelah kontak senjata, sang mubaligh ditahan prajurit kolonial. Namun, selang beberapa lama kemudian ia dibebaskan kembali. Setidaknya, dengan keberanian dan pengorbanan Kiai Akyas tersebut, Kampung Buntet tidak jadi dibakar musuh.

Patriotisme juga ditunjukkan kakaknya, KH Abbas Djamil Buntet. Tokoh ini dikenal sebagai seorang alim dan pejuang. Pernah turut memimpin pasukan Hizbullah pada Perang Surabaya 10 November 1945. Dua kakak beradik ini dikenal sebagai alim ulama yang berkhidmat untuk kepentingan agama dan mencintai Tanah Air.

Di tengah kesibukannya dalam menyebarkan syiar agama di tengah masyarakat, Kiai Akyas tetap memiliki perhatian kepada keluarganya. Dalam masalah pernikahan, misalnya, ia sering kali menasihati putra-putrinya untuk mencari pasangan yang tepat.

Menurutnya, calon pasangan paling tidak harus selalu mengerjakan shalat lima waktu. Nasihat dan pesannya kepada anak-anaknya ialah agar tidak memandang kedudukan atau harta calon pasangannya. Kriteria utama selalu ketakwaan kepada Allah.

 
Nasihat dan pesannya kepada anak-anaknya ialah agar tidak memandang kedudukan atau harta calon pasangannya. Kriteria utama selalu ketakwaan kepada Allah.
 
 

Di samping perhatian terhadap keluarga, Kiai Akyas juga memiliki intensitas hubungan baik dengan orang-orang biasa. Ia berinteraksi dengan siapa saja, entah itu seorang tukang becak, orang miskin, dan lain-lain. Tak jarang dirinya mengundang mereka untuk makan bersama. Keakraban demikian terus ditunjukkan hingga akhir hayatnya.

Kiai Akyas wafat pada 1978 dalam usia 85 tahun. Ia memiliki seorang anak dari isteri pertama, Nyai Tike. Adapun dari pernikahan dengan istri keduanya, Nyai Masriah, almarhum memperoleh sembilan orang anak. Mubaligh ini menghembuskan napas terakhir di Pondok Pesantren Buntet.

Hampir seluruh usia Kiai Akyas dihabiskan untuk membimbing masyarakat dan keluarga. Selain mengajar para santri, ia juga berdakwah di tengah masyarakat, termasuk kaum ibu dalam pengajian "Senen-an" dan "Kemis-an". Majelis taklim itu biasa dihadiri ratusan orang. Mereka datang dari berbagai daerah. Semuanya berbondong-bondong ke rumah Kiai Akyas untuk mengaji pada pagi hari.

Meskipun menjadi seorang kiai, ia tetap bertani dan berkebun sebagai mata pencaharian. Hasil kegiatan tani itu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Pendapatannya tidak hanya dinikmati diri dan keluarganya, tetapi juga para santrinya yang tinggal di asrama. Sebab, pada masa itu, mereka yang nyantri di Pesantren Buntet tidak semuanya mampu membayar; hanya memiliki semangat yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu agama.

 
Mereka yang nyantri di Pesantren Buntet tidak semuanya mampu membayar.
 
 

Kiai Akyas di mata keluarga dan santri-santrinya adalah sosok ulama yang ahli tahajud dan sangat mencintai Alquran. Pada malam hari, sang alim selalu menyibukkan diri untuk beribadah dan berzikir kepada Allah SWT. Ia pun menekuni dunia tasawuf, yakni sebagai pembimbing spiritual dalam Tarekat Tijani.

Tasawuf memang merupakan pola hidup Kiai Akyas. Selain beribadah yang rutin, ia juga menerapkan disiplin kepada santri-santrinya di Buntet agar menerapkan karakteristik sufi. Nasihat-nasihatnya dalam setiap pengajian disampaikan dalam bahasa yang jelas dan sangat mengena.

Ada beberapa nasehat Kiai yang masih dikenang oleh para muridnya. Di antaranya adalah, pesan bahwa masyarakat manapun akan hancur manakala terjadi empat hal. Pertama, orang alim yang mengaku-aku kealimannya. Kedua, orang miskin yang disuruh memegang uang. Ketiga, orang kaya yang ambisius buta dalam meraup keuntungan. Kelima, penguasa yang suka mendambakan dan mempertahankan mati-matian jabatan. 

Kerikil untuk menghafal hadis

KH Muhammad Akyas (1893-1978) berasal dari keluarga tokoh sepuh Pondok Pesantren Buntet di Mertapada Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat. Ia dididik dengan penuh disiplin. Sejak muda, dirinya sudah memiliki kemampuan bahasa Arab yang mumpuni. Kepiawaiannya dalam menguasai bahasa ini terus diasah dalam kesehariannya, termasuk ketika membina masyakat dan santri-santrinya.

Bidang keilmuan lain yang dikuasainya ialah ilmu hadis. Bahkan, ulama yang pernah berguru pada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari itu gemar menghafal hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Ia pun terbiasa menggunakan kerikil ketika sedang mengingat kalimat demi kalimat sabda Rasulullah SAW.

Kisah ini dituturkan seorang cucunya, Imaduddin Al Kaf. Kang Imad—demikian lelaki ini biasa disapa—menyaksikan sendiri ketika mendampingi kakeknya itu sampai akhir hayatnya. Menurutnya, salah satu kebiasaan Kiai Akyas adalah suka menghafal hadis. Kang Imad kala itu biasa disuruh sang alim untuk mengumpulkan beberapa batu kerikil di sekitar rumah.

 
Bila sudah terkumpul, batu-batu kecil itu dipakai untuk menandai hadis yang sudah dihafal.
 
 

Bila sudah terkumpul, batu-batu kecil itu dipakai untuk menandai hadis yang sudah dihafal. Saat menghafal sebuah hadis, Kiai Akyas lantas mengambil satu kerikil. Setelah selesai menghafal, kerikil itu kemudian dilempar ke wadah yang lain.

Selain itu, Kang Imad juga mengaku pernah disuruh menulis hafalan hadis Kiai Akyas. Catatannya terhimpun dalam sebuah buku. Sayangnya, buku itu dipinjam seorang santri dan tidak pernah dikembalikan hingga kini. Padahal, di dalamnya terekam perjalanan Kiai Akyas dalam menghafal hadis. Menurut Kang Imad, dia sudah mencatat sekitar 400 hadits yang dihafal kakeknya itu.

Selain banyak menghafal hadits, Kiai Akyas juga dikenal sebagai mursyid Tarekat Tijani. Ia selalu mendoakan keselamatan bangsa ini, termasuk saat terjadi peristiwa G30S/PKI pada 1965. Suatu waktu Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Buntet Pesantren Cirebon, Tubagus Ahmad Rifqi Chowas pernah bercerita tentang untaian doa yang dipanjatkan Kiai Akyas saat itu. Di antaranya adalah doa Nabi Nuh AS, sebagaimana termaktub dalam Alquran surah Nuh ayat 26.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat