Patung Umar Khayyam di Nishapur, Iran. Sarjana Muslim berkebangsaan Persia ini dipandang sebagai salah satu penyair sufi terbesar dalam sejarah. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Di Balik Tamsil Umar Khayyam

Umar Khayyam menggubah sajak-sajak bernuansa sufistik yang terhimpun dalam rubaiat.

OLEH HASANUL RIZQA

 

 

Umar Khayyam merupakan seorang ilmuwan Muslim yang hidup pada abad pertengahan. Sosok berkebangsaan Persia (Iran) itu termasuk polymath karena menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Sebut saja geometri, astronomi, matematika, dan fisika. Malahan, dialah perintis perspektif non-Euclidian sehingga membuka jalan bagi perkembangan ilmu geometri modern.

Wajarlah kiranya tokoh ini digelari sebagai seorang polymath. Apalagi, kemahirannya tidak hanya meliputi dalam bidang eksakta, melainkan juga dunia artistik. Hal itu dibuktikan dengan syair-syair karyanya yang terus menginspirasi dunia hingga kini.

Seyyed Hossein Nasr dalam Science and Civilization in Islam (1968) mengatakan, Umar Khayyam masyhur terutama berkat sajak-sajak rubaiat (ruba’iyyat). Disebut demikian karena karyanya itu terdiri atas empat (arba’a) baris. Rubaiat Umar Khayyam sarat akan ajaran-ajaran religius dan simbol-simbol filosofis.

Cinta kerap menjadi tema utama sajak-sajak gubahannya. Bukan hanya cinta manusiawi, tetapi juga cinta Ilahi. Dalam mengekspresikan tema tersebut, sang penyair sering memakai tamsil-tamsil, seperti kedai, piala, cawan, gelas, dan anggur.

 
Dalam mengekspresikan tema tersebut, sang penyair sering memakai tamsil-tamsil, seperti kedai, piala, cawan, gelas, dan anggur.
 
 

Karena itu, sejumlah penerjemah awal puisi lirik karyanya, termasuk Edward Fitzgerald (1859), sempat mengira bahwa gejolak yang diungkapkan Rubaiat Umar Khayyam semata-mata hanyalah cinta duniawi. Padahal, yang dimaksudnya melampaui perkara-perkara empiris.

Di Indonesia, terjemahan atas Rubaiat Umar Khayyam disajikan dengan sangat baik oleh penyair yang juga akademikus, Prof Abdul Hadi WM. Dalam Cakrawala Budaya Islam (2016), guru besar Universitas Paramadina Jakarta ini menerangkan aspek kesejarahan di balik penggunaan diksi yang tampaknya duniawi itu.

Pada mulanya, citraan simbolik yang terkesan profan digunakan para penyair Persia ataupun Arab pra-Islam untuk menggambarkan kehidupan hedonistis. Itu tentu saja bertolak belakang dengan kesalehan manusia.

Sajak-sajak pemujaan terhadap anggur sebagai sumber kenikmatan, misalnya, ditulis oleh para sastrawan secara masif. Sampai-sampai, sebuah genre tersendiri muncul ke permukaan, semisal khamriyyah (khamr, ‘arak’). Genre tersebut tidak hanya memuji-muji minuman keras, tetapi juga kemolekan tubuh wanita.

 
Perkembangan yang signifikan terjadi sejak ajaran Islam menyinari bangsa Arab serta Persia.
 
 

Namun, perkembangan yang signifikan terjadi sejak ajaran Islam menyinari bangsa Arab serta Persia. Khususnya sejak abad ke-11, penggunaan tamsil anggur mengalami perubahan. Kini, pemaknaannya semakin menjauhi yang profan dan kian mendekati yang sakral. Adalah kaum penyair-sufi yang menggunakan tafsiran demikian.

Anggur dipakai untuk menyimbolkan kondisi mabuk mistikal. Di antara pelbagai ritual sufi, yang sering diidentikkan dengan mabuk anggur ialah zikir, aktivitas mengingat Allah SWT. Dalam Rubaiat Umar Khayyam, tamsil anggur marak dijumpai. Simbolisme demikian, kata Abdul Hadi, dipilih sang pujangga sebagai bentuk pembebasan dari rutinitas atau situasi sosial yang membingungkan.

Di kedai anggur kusaksikan seorang lelaki tua

Kataku, “Pernah kau dengar berita dari yang pergi?”

Jawabnya, “Ambil gelas dan anggur, manusia seperti kita

Telah banyak yang pergi dan tak kembali lagi

Selain anggur, keramik dan tembikar pun kerap dipakai Umar Khayyam sebagai simbol dalam puisi-puisinya. Memang, kota tempat kelahirannya—Nishapur—merupakan sebuah kota perdagangan yang ramai akan industri kerajinan. Barang-barang produksi setempat, termasuk keramik dan tembikar, diperdagangkan melalui Jalur Sutra hingga ke Cina.

 
Tamsil keramik atau tembikar digunakan Umar Khayyam antara lain untuk menyuarakan kritik sosial.
 
 

Tamsil keramik atau tembikar digunakan Umar Khayyam antara lain untuk menyuarakan kritik sosial. Sang pujangga memprotes ketidakmampuan penguasa dalam memperbaiki keadaan rakyat, terutama yang berasal dari lapis kaum jelata. Dalam karyanya, penguasa diingatkan bahwa nasib setiap manusia dapat berbalik. Yang dahulu di bawah, bisa jadi kemudian berada di atas.

Kulihat pembikin tembikar di pabriknya

Perhatikan si pandai itu, kaki injak tanah liat

Tidak malu dia membuat tutup dan pegangan kendi

Dari kepala seorang raja dan tangan seorang pengemis.

Acep Zamzam Noor dalam artikel “Puisi Anggur Omar Khayam” (1990) menjelaskan, sejumlah orientalis Barat pada abad ke-19 telah keliru dalam memahami perlambang anggur atau kemabukan di sajak-sajak sufistik Persia atau Arab. Mereka menganggapnya sebagai ekspresi hedonisme atau cinta keduniawian. Padahal, yang perlu diperhatikan adalah konteks historisnya.

Dalam sejarah, kaum sufi banyak mendapatkan pertentangan dari kalangan ulama ahli fikih yang ortodoks. Mereka bahkan menganggap kaum salik sebagai golongan zindik.

Sementara itu, para sufi banyak mengungkapkan pengalaman mistisnya secara simbolis. Dalam hal ini, diksi-diksi seperti “anggur” dipakai untuk menggambarkan pengalaman ekstase atau penyatuan diri secara mistis.

Maka dari itu, puisi Umar Khayyam dapat dianggap menyuarakan koreksi atau kritik terhadap kemunafikan yang keliru, yakni sikap yang memandang bentuk-bentuk relatif sebagai kebenaran mutlak. Syairnya bukanlah suara penolakan terhadap kemungkinan untuk memperoleh kepastian hidup dalam agama.

Acep mengatakan, di balik skeptisme Umar Khayyam tersembunyi keyakinan bahwa manusia mesti memakai intuisi di samping intelektualitas. Itulah maksud dari pelbagai syair rubaiat, semisal berikut.

Dunia yang luas dan jauh telah kujelajahi

Semua cakrawala telah kukunjungi

Tak seorang kudengar muncul di jalan ini

Jalan yang ia lalui jalan tanpa kembali.

Atau, syair di bawah ini.

Jika hidup ini telah usai, akan sama di Baghdad atau Balkh

Jika gelas meluap, akan sama pahit ataupun sedap

Bergembiralah, setelah sewaktu kita lewati

Bulan tentu purnama, lantas pudar perlahan-lahan.

Sampai di sini, kecenderungan berpikir Umar Khayyam sekilas tampak mendua. Di satu sisi, dirinya adalah penyair yang kerap sangsi akan kemampuan akal rasional dalam mengungkap kebenaran hakiki.

Di sisi lain, pada faktanya ia berkiprah luar biasa dalam mengembangkan banyak disiplin ilmu eksakta. Di antaranya adalah matematika, ilmu yang dibahasakan secara pasti melalui angka-angka.

Acep memandang, sesungguhnya Umar Khayyam tidak bermaksud mempertentangkan antara akal dan intuisi. Semuanya diperlukan dalam kehidupan sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Dengan cara demikian, sang ilmuwan-pujangga bisa menghadapi realitas dengan lebih bijaksana. Kehidupan tak hanya dipandang skeptis, tetapi juga optimistis. Skeptismenya menjadi bagian dari sebuah perjalanan panjang menuju kesejatian.

O, Hati, jangan sedihkan dunia yang renta

Kau yang tanpa tujuan, jangan bermanja dalam duka tanpa tujuan

Karena apa yang lenyap dan tak lenyap tidak nyata

Berbahagialah, jangan tersiksa oleh lenyap dan tak lenyap.

 

photo
Makam Umar Khayyam di Nishapur, Iran. Tokoh dari abad keemasan Islam ini dikenang sebagai seorang pujangga sekaligus saintis besar. - (DOK WIKIPEDIA)

Kontribusi untuk Ilmu Pengetahuan Modern

Umar Khayyam (1048-1131) merupakan salah satu saintis Muslim dari abad pertengahan yang berjasa besar dalam sejarah ilmu pengetahuan. Husain Heriyanto dalam Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (2011) mengatakan, pada masanya sang tokoh lebih dikenal sebagai ahli matematika dan astronomi.

Di samping itu, ilmuwan yang lahir di Nishapur, Khurasan, itu juga diakui luas sebagai seorang filsuf. Pemikiran filsafatnya banyak dipengaruhi gagasan-gagasan Ibnu Sina.

Di Persia (Iran), Umar Khayyam dikenang antara lain berkat karyanya, kalender surya Jalali. Kalender ciptaannya itu terbukti lebih tepat dibanding dengan kalender Gregorian yang dipakai hingga sekarang oleh sebagian besar dunia internasional.

Hal itu diakui Welty dalam bukunya, Human Expression: A History of the World (1985). Dengan presisi, ilmuwan Islam ini menemukan bahwa ketidakcermatan perhitungan kalender Gregorian selama satu hari terjadi dalam kurun waktu 3.300 tahun. Adapun dalam kalender Jalali, ketidakcermatan perhitungan satu hari terjadi dalam kurun waktu lima ribu tahun.

Dalam bidang matematika, kiprahnya pun sangat mengemuka. Salah satu karyanya berjudul Al-Jabr. Buku tersebut membahas persamaan melalui urutan kubik, dengan menyelesaikannya secara geometris.

photo
Salah satu manuskrip karya Umar Khayyam yang menjelaskan tentang perhitungan matematika pada bidang geometris. - (DOK WIKIPEDIA)

Di samping itu, Umar juga terbukti mampu menyelesaikan persamaan-persamaan matematika yang kompleks, semisal persamaan berderajat tiga dan empat melalui penggunaan elips, hiperbola, dan parabola. Pada 1857, Al-Jabr diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh F Woepcke. Tak menunggu waktu lama, buku tersebut memberi sumbangan berarti bagi perkembangan telaah matematika di Negeri Heksagon.

Memang, sejumlah karyanya telah hilang, tetapi yang sampai kepada masyarakat modern tidak luput menunjukkan pemikirannya yang brilian. Umar Khayyam berhasil menyajikan sintesis antara aljabar dan geometri.

Menurut Heriyanto, sarjana Muslim dari abad ke-11 itu dapat membuktikan bahwa untuk suatu masalah geometri tertentu, dapat ditunjukkan dengan fungsi-fungsi dan persamaan-persamaan aljabar.

Begitu pula sebaliknya. Persamaan aljabar dapat dijelaskan dengan menggunakan ilmu ruang. Sebelumnya, kalangan ilmuwan seolah-olah meyakini aljabar dan geometri terpisah satu sama lain. Di sinilah jasa besar Umar Khayyam dalam meruntuhkan “tembok” di antara kedua disiplin tersebut.

Karena itu, sangat mengherankan bila ilmuwan-ilmuwan Barat dari abad ke-17 dianggap sebagai perintis “perkawinan” antara aljabar dan geometri. Umar Khayyam-lah yang pertama-tama merintis salah satu cabang matematika, ilmu geometri analitik.

 
Umar Khayyam-lah yang pertama-tama merintis salah satu cabang matematika, ilmu geometri analitik.
 
 

Namun, belakangan hal itu seakan-akan diklaim sebagai temuan Rene Descartes, seorang pemikir Prancis yang meninggal pada 1650. Sistem koordinat Kartesius merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip matematika yang diperkenalkan sang ilmuwan Muslim ratusan tahun sebelumnya.

Heriyanto meneruskan, penemuan lain Umar Khayyam yang membuka babak baru dalam telaah geometri adalah kritik terhadap Euclid. Salah satu aksioma Euclid adalah bahwa seseorang hanya dapat menarik satu garis sejajar dengan sebuah garis tertentu lewat titik dalam sebuah bidang.

Sang pemikir Yunani dari abad keempat sebelum Masehi (SM) itu pun sampai pada kesimpulan, jumlah sudut-sudut segitiga pastilah 180 derajat tepat. Akan tetapi, Umar Khayyam lantas berhasil menunjukkan adanya kemungkinan yang berlainan.

Ternyata, jumlah sudut-sudut segitiga dapat kurang atau lebih dari 180 derajat. Karena itu, saintis Muslim tersebut dapat dipandang sebagai perintis ilmu geometri non-Euclidian.

Pada abad ke-20, corak geometri non-Euclidian menjadi populer berkat pemakaiannya oleh Albert Einstein. Menurut ilmuwan Jerman tersebut, garis-garis cahaya bukanlah lurus, sebagaimana yang dipersepsi umumnya banyak orang.

Sebab, cahaya bergerak sesuai dengan kelengkungan ruang-waktu. Tidak mungkin membahasakan pembuktian teori relativitas Einstein tanpa geometri yang benar-benar berbeda, yakni geometri non-Euclidian.

Anehnya, dalam naskah-naskah matematika modern disebutkan bahwa penemu geometri non-Euclidian adalah Lobachevsky-Bolyai. Tidak disebut kontribusi luar biasa dari Umar Khayyam. Maka dari itu, kaum Muslimin hendaknya menyadari pentingnya menguatkan narasi kesejarahan yang benar. Narasi yang bebas dari syak wasangka kolonial sekaligus orientalis anti-Islam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat