Wisatawan berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Aceh, Jumat (21/8/2020). Sejumlah wisatawan dari berbagai daerah memanfaatkan liburan Tahun Baru Islam untuk mengunjungi objek wisata Masjid Raya Baiturrahman, salah satu situs sejarah di dae | ANTARA FOTO/Ampelsa

Kitab

Telusur Sejarah Aceh Darussalam

Buku Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi menyajikan riwayat Kesultanan Aceh dari perspektif peradaban Islam.

OLEH HASANUL RIZQA 

Sebagai kawasan paling barat, wajarlah kiranya Aceh menjadi “penerima” pertama dakwah Islam di seantero Nusantara. Para akademisi, semisal Buya Hamka dan Syed Hussein Naquib al-Attas, meyakini, syiar Islam pertama kali datang ke Indonesia langsung dari Jazirah Arab atau tepatnya Hadramaut (Arab Selatan).

Mulanya, hipotesis ini digagas orientalis Inggris, Crawfurd, pada 1820. Hamka dengan tegas membantah klaim selainnya, seperti hipotesis yang menyatakan Gujarat sebagai lokasi awal datangnya Islam ke Nusantara.

Menurut penulis buku Sejarah Umat Islam itu, teori Gujarat hanya buah manipulasi orientalis semacam Snouck Hurgronje untuk mengaburkan fakta historis hubungan yang berbilang abad antara Arab dan Aceh.

Bagi sejarawan atau peminat sejarah, penyelidikan historis atas dakwah Islam di Nusantara akan terasa hambar bila tidak menyertakan pembicaraan tentang Aceh. Sejarah Aceh memang tak lepas dari Islam. Akan tetapi, ada berbagai catatan untuk itu. Meskipun Aceh dikenal kaya akan sejarah masa lalu—terutama sebagai sebuah kerajaan Islam yang mencapai puncak kejayaan pada abad ke-17—problematika kekurangan sumber masih terus membayangi para peneliti.

Prof Amirul Hadi dari Universitas Islam Negeri (UIN) ar-Raniry Banda Aceh berupaya menjawab persoalan tersebut melalui karyanya, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi. Buku karya guru besar ilmu sejarah dan peradaban Islam itu bermaksud mengisi rumpang yang ada dalam panggung sejarah Aceh. Tepatnya, buku yang terbit pada 2010 itu menyajikan paradigma yang cenderung berbeda dengan buku-buku sebelumnya karangan penulis lain yang membahas Aceh.

Sebagai gambaran, buku terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia ini mengangkat dimensi keislaman historiografi Aceh ke permukaan. Banyak peneliti sebelumnya tentang Aceh cenderung mengabaikan dimensi tersebut.

Hal itu diakui banyak kalangan sejarawan Islam di Asia Tenggara, semisal Prof Anthony H Johns dan Prof William R Roff. Keduanya mengakui, dimensi keislaman dari kawasan ini sering terlewatkan oleh para sarjana, khususnya Barat. Mereka condong memberikan penekanan pada dimensi ekonomi dan politik.

Amirul Hadi menegaskan, ketika seorang peneliti berbicara mengenai Aceh, mau tidak mau, suka tidak suka, dirinya secara otomatis akan membahas mengenai masyarakat Islam. Artinya, dimensi keagamaan tidak dapat dipisahkan, apalagi ditinggalkan, dari setiap perilaku penduduk Aceh, baik di masa silam maupun kini.

Dapatkah dikatakan bahwa perlawanan gigih Aceh terhadap keberadaan Portugis di Malaka dimotivasi semata-mata oleh ambisi ekonomi dan politik? Apakah benar bahwa kepemimpinan ratu yang sempat terjadi di Aceh pada abad ke-17 dipicu oleh motif ekonomi dan politik? Bukankah patut digarisbawahi peran ajaran Islam dalam kedua kasus demikian?

Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi terdiri atas 10 bab yang disusun secara kronologis. Dalam arti, bab pertama menyinggung tentang terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam. Adapun bab terakhir ditutup dengan refleksi tentang kesadaran sejarah dan memori kolektif masyarakat Aceh.

Amirul Hadi juga membahas sumbangsih Aceh untuk khazanah intelektual Islam. Beberapa nama besar dalam sejarah peradaban Aceh tentunya turut dibahas sang penulis. Sebagai contoh, Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, dan Syekh Nuruddin ar-Raniry. Aceh mengalami puncak tradisi intelektual Islam terutama pada paruh pertama abad ke-17.

Lengkapnya, buku ini mengulas faktor-faktor di balik kebangkitan Aceh Darussalam pada abad ke-16 dan resistensinya terhadap kekuatan Portugis di Asia Tenggara. Pembahasan tentang ranah politik di kesultanan tersebut mencakup antara lain kontroversi pemerintahan ratu dan Perang Aceh (1873-1912).

Pertempuran yang terjadi secara periodik itu memperhadapkan antara Aceh dan kekuatan kolonial Belanda. Terkait pula dalam pembahasan tersebut, misi Christiaan Snouck Hurgronje sebagai penasihat Belanda untuk urusan Aceh. Kebijakan kolonial yang diusulkan orientalis lulusan Universitas Leiden itu turut andil dalam kekalahan Aceh.

Perang Sabil

Dalam bab delapan buku Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, Amirul mengulas Perang Aceh yang terjadi antara tahun 1873 dan 1912 itu. Momen tersebut berlangsung ketika negeri Islam itu memasuki fase ketiga atau kemundurannya. Adapun fase pertama ditandai dengan kemunculan Aceh Darussalam sebagai kekuatan politik dan ekonomi baru di ujung barat Pulau Sumatra sepanjang abad ke-16.

Periode kedua adalah masa keemasan yang terjadi sejak awal hingga pertengahan abad ke-17. Iskandar Muda menjadi sultan yang paling populer pada rentang waktu tersebut. Ketika Aceh mulai diperintah para ratu pada paruh kedua abad ke-17, fase kemunduran pun dirasakan. Keadaan terus memburuk hingga datangnya Kompeni Belanda.

Dari perspektif Belanda, pecahnya Perang Aceh tidak lepas dari persaingannya dengan Britania Raya dalam memperebutkan pengaruh di Sumatra. Pada 1824, kedua belah pihak berkompromi dalam Perjanjian London, yang pada prinsipnya mengakui status Aceh sebagai sebuah negara berdaulat. Namun, Belanda belakangan tak puas dengan London Treaty karena masih berambisi menguasai seluruh Nusantara.

Tanpa mengindahkan kedaulatan Aceh, Kompeni mencaplok Barus dan Singkil. Padahal, kedua kota tersebut masuk wilayah kerajaan Islam itu. Antara Belanda dan Inggris kemudian dibuat perjanjian baru, Soematra Treaty. Sejak itu, Belanda semakin gencar memperluas wilayah jajahannya di Sumatra, termasuk Aceh. Belanda pun memaksa Aceh untuk mengakui kekuasaannya. Inilah faktor pendorong pecahnya Perang Aceh.

Dalam membahas Perang Aceh, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi menyuguhkan perspektif yang cenderung berbeda daripada buku-buku lainnya. Sebab, penulisnya mengangkat semangat keagamaan sebagai faktor pendorong masyarakat dan pemimpin Aceh untuk melawan Belanda. Bagi Amirul Hadi, dinamika jihad Islam di Aceh terlihat jelas. Sebagai contoh, berbagai fatwa mengenai jihad dikeluarkan oleh para ulama dan para pemimpin setempat, termasuk Tuanku Hasyim, Tuanku Panglima Polem, Syekh Abbas bin Muhammad, dan Tgk Chik Di Tiro.

Lebih lanjut, Hadi pun menyertakan sumber-sumber sejarah yang meyakinkan untuk mendukung hipotesisnya. Umpamanya, petikan surat yang dibuat tiga orang tokoh Aceh—Tuanku Hasyim, Sri Muda Perkasa Panglima Polem, dan Sri Muda Setia Ulama—tertanggal 18 April 1874. Surat dari ketiganya itu ditujukan kepada beberapa pemimpin Aceh yang lain terkait nestapa masyarakat akibat serbuan Belanda.

“Jikalau ada yakin saudara kami akan Allah dan Rasul dan akan agama Islam mendirikan syariat Muhammad dan bersaudara dengan kami semuanya dalam Aceh, maka hendaklah saudara kami melawan [Belanda] dengan sekuat-kuat melawan. Mudah-mudahan, terpelihara syariat Muhammad, agama Islam, dan nama agama bangsa Aceh adanya,” demikian kutipan surat tersebut.

Seruan jihad fii sabilillah tidak hanya diserukan kaum pemimpin dalam berbagai kesempatan, semisal korespondensi atau khutbah Jumat. Karya sastra pun dijadikan sebagai wahana untuk mengajak orang-orang. Contohnya, Hikayat Prang Sabi karya Teungku Chik Pante Kulu yang sering kali disampaikan secara lisan di hadapan publik.

Salah satu bait di antaranya berbunyi: “Soe prang kaphee lam prang sabi; Niet peutinggi hak agama; Kalimah Allah agama Islam; Kaphee jahannam asoe neuraka. Sabilullah geupeunan prang; Tuhan pulang page syeuruga; Ikot suroh sampoe janji; Pahala page that sampurna.” (Yang memerangi kafir di medan sabil; niat meninggikan hak agama; kalimat Allah agama Islam; kafir jahanam isi neraka. Sabilullah dinama perang; Tuhan berikan akhirnya surga; mengikuti suruhan sampai ajal; pahala nanti sangat sempurna.)

 

DATA BUKU

Judul: Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi

Penulis: Prof Dr Amirul Hadi MA

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tebal: 319 halaman

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat