Warga berjalan melintasi banjir yang merendam kawasan Cipinang Melayu, Jakarta Timur, Jumat (19/2/2021). | Republika/Thoudy Badai

Opini

Kebencanaan dan Peradaban Ekologis

Banjir Jakarta dan sekitarnya menegaskan, ada kerusakan ekologis akibat perubahan tata ruang.

NIRWONO JOGA, Pusat Studi Perkotaan

Pemanasan global dan perubahan iklim telah mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan dan bencana ekologis. Bencana hidrometereologis di berbagai belahan Indonesia kemungkinan akan bertambah parah pada masa mendatang.

Frekuensi intensitas hujan dan curah hujan ekstrem kemungkinan kembali dapat terjadi setiap musim hujan tiba. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor ialah bencana yang bisa diprediksi, diantisipasi, dan dimitigasi sejak awal.

Banjir Jakarta dan sekitarnya menegaskan, ada kerusakan ekologis akibat perubahan tata ruang. Pembangunan kawasan permukiman, industri, dan komersial di kawasan resapan air telah mengabaikan rencana tata ruang kota.

 
Alih fungsi kawasan resapan air itu terbukti memperparah banjir. Lalu, apa yang harus dilakukan?
 
 

Alih fungsi kawasan resapan air itu terbukti memperparah banjir. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Pertama, rencana tata ruang wilayah di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten bertujuan mengatur, mengendalikan, dan memanfaatkan peruntukan lahan sesuai kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Penertiban pemanfaatan ruang harus ditegakkan untuk mematuhi rencana tata ruang kota dan peta rawan bencana (Bappenas dan BNPB, 2017).

Pemerintah DKI Jakarta dan sekitarnya harus mengaudit dan mengevaluasi rencana tata ruang wilayah masing-masing. RTRW Provinsi DKI Jakarta 2010-2030, RTRW Provinsi Jawa Barat 2009-2029, RTRW Provinsi Banten 2010-2030, RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036, RTRW Kota Bogor 2011-2031, RTRW Kota Depok 2012-2032, RTRW Kota Tangerang 2012-2032, RTRW Kota Tangerang Selatan 2011-2031, RTRW Kabupaten Tangerang 2011-2031, RTRW Kota Bekasi 2011-2031, RTRW Kabupaten Bekasi 2011-2031 harus diselaraskan dengan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

 
Penyelesaian bencana banjir harus dilakukan secara sistemik dan terpadu dari hulu ke hilir. 
 
 

Kedua, bencana banjir kiriman yang menerjang permukiman di bantaran sungai, banjir lokal yang menggenangi jalanan dan permukiman yang berada di tanah cekungan, serta banjir rob yang menenggelamkan permukiman di kawasan pesisir pantai memperlihatkan adanya pelanggaran tata ruang yang terjadi dari hulu hingga ke hilir serta lintas wilayah administrasi.

Penyelesaian bencana banjir harus dilakukan secara sistemik dan terpadu dari hulu ke hilir. Pemerintah pusat harus memegang kendali dalam mitigasi bencana dan upaya perbaikan lingkungan secara keseluruhan.

Kerusakan lingkungan pada sebuah wilayah telah berdampak pada wilayah lain, baik yang dekat maupun jauh, yang berada di wilayah provinsi, kota/kabupaten lain. Proses mitigasi bencana banjir harus bebas dari batas wilayah administratif.

Ketiga, analisis data BMKG sejak 1866 yang dipublikasikan dalam “International Journal of Climatology” (2016/2017), perubahan iklim di Indonesia mengakibatkan kenaikan suhu 2,12 derajat celsius dalam periode 100 tahun.

 
Pemerintah harus melakukan kajian seberapa besar kapasitas daya dukung lingkungan kota dapat menampung curah hujan dan pada intensitas berapa.
 
 

Selain itu, peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem dalam 30 tahun terakhir. Hasil kajian ini harus menjadi pijakan dalam memitigasi bencana banjir yang terus berulang setiap tahun.

Pemerintah harus melakukan kajian seberapa besar kapasitas daya dukung lingkungan kota dapat menampung curah hujan dan pada intensitas berapa.

Kita dapat mengukur dan mengelola pemanfaatan lahan permukaan untuk menampung hujan deras yang turun. Pemerintah setempat harus berani bertanggung jawab apabila gagal dan menyebabkan banjir jika hujan turun di bawah kapasitas tampung yang sudah ditetapkan itu.

Pemerintah daerah bertanggung jawab merehabilitasi seluruh saluran air kota secara terpadu dan komprehensif. Dimensi saluran diperbesar tiga sampai lima kali lipat untuk meningkatkan kapasitas daya tampung air sesuai ukuran dan layanan, terintegrasi dengan revitalisasi trotoar dan jaringan utilitas bawah tanah/trotoar, serta terhubung ke tempat menampung air.

 
Pemerintah daerah bertanggung jawab merehabilitasi seluruh saluran air kota secara terpadu dan komprehensif. 
 
 

Keempat, berbekal Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, pemerintah dapat meregenerasi 13 sungai yang melintasi Jakarta secara bertahap, yakni Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, Sunter, Mookervart, Grogol, Krukut, Baru Barat, Baru Timur, Cipinang, Buaran, Kramat Jati, dan Cakung.

Pemerintah daerah membebaskan lahan bantaran sungai dan merelokasi warga ke rumah susun. Garis sempadan sungai tidak bertanggul selebar 10 meter kiri-kanan kedalaman kurang dari tiga meter, lebar 15 meter kedalaman tiga sampai 20 meter, dan lebar 30 meter kedalaman lebih dari 20 meter.

Untuk garis sempadan sungai bertanggul dengan lebar bantaran jalur hijau minimal tiga meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Penataan bantaran dapat memadukan pendekatan naturalisasi dan normalisasi.

Garis sempadan situ/danau/embung/waduk (SDEW) paling sedikit berjarak 50 meter dari tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi, menjadi batas badan SDEW, berfungsi sebagai wadah air. 

Revitalisasi SDEW meliputi penataan badan air, sarana prasarana pengendali banjir, dan ruang terbuka hijau. Ada 208 situ di Jakarta dan sekitarnya yang perlu direvitalisasi, yakni Jakarta 16 situ, Jawa Barat 146 situ, Banten 46 situ (BBWSCC, Kemen-PUPR, 2018). 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat