Petinggi Majelis Ulama Indonesia bersalaman sebelum memberikan komentar soal Perpres 10/2021, Selasa (2/3). | Republika/Putra M. Akbar

Tajuk

Tak Boleh Lagi Ada Kebijakan Sembrono

Sebelum diundangkan pun, sudah selayaknya sebuah kebijakan diujipublikkan.

Pro dan kontra legalisasi investasi industri minuman keras (miras), yang memanas di media sosial dalam sepekan ini berakhir sudah. Setelah menuai penolakan dari berbagai kalangan, Presiden Joko Widodo akhirnya resmi menghapus poin tentang pembukaan investasi industri minuman keras (miras) dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Selasa (2/3).

Poin yang menuai protes dan penolakan dalam Perpres 10 Tahun 2021 itu tercantum dalam Lampiran III. Dalam beleid itu, ditetapkan bahwa bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.  Hal serupa juga dapat dilakukan di provinsi lain atas usulan gubernur, dengan persetujuan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Menurut Presiden, keputusan menghapus Lampiran III dalam Perpres 10 Tahun 2021 itu diambil setelah mempertimbangkan masukan dari para ulama, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan tokoh agama lain.

Selain itu, Presiden juga mempertimbangkan masukan dari provinsi dan daerah. Langkah Presiden mencabut poin legalisasi investasi miras mendapat apresiasi dari berbagai kalangan.

 
Penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah seperti ini, seharusnya tak terjadi apabila penyusunan kebijakan publik turut melibatkan seluruh stake holder
 
 

Penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah seperti ini, seharusnya tak terjadi apabila penyusunan kebijakan publik turut melibatkan seluruh stake holder. Di awal pembahasan, pemerintah sepatutnya mengundang perwakilan dari MUI, NU, Muhammadiyah, ormas Islam lainnya, serta organisasi keagamaan lainnya.

Terlebih, peraturan ini mengatur hal yang sensitif, yakni minuman keras. Harus dipahami bahwa mayoritas penduduk di negeri ini beragama Islam. Dan, Islam adalah agama yang mengharamkan miras.

Sebelum diundangkan pun, sudah selayaknya sebuah peraturan diujipublikkan. Jika pihak pemerintah menyatakan penyusunan aturan ini telah melibatkan masyarakat, lalu mengapa ketika disahkan menuai penolakan yang begitu hebat?

Sampai-sampai, seluruh ormas Islam menggelar pernyataan sikap menolak kebijakan ini. Bahkan, menurut Juru Bicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi, terkait aturan ini KH Ma'ruf Amin sama sekali tak dilibatkan dalam penyusunan beleid, yang mendapat penolakan dari banyak pihak tersebut.

Pemerintah tentu harus belajar dari penolakan ini. Intinya, hal seperti ini tak boleh terulang. Aturan yang baru disahkan kemudian dicabut, tentu akan mengurangi muruah pemerintah.

 
Pemerintah pun perlu mendengar sikap Muhammadiyah, yang mengingatkan agar pengambilan kebijakan tak hanya mengutamakan aspek ekonomi. 
 
 

Harapan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, agar pemerintah tidak membuat kebijakan yang semborono lagi mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia. "Saya harapkan lain kali tidak terulang lagi seperti ini. Jadi tidak kelihatan sekali sembrono, tidak ada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat agama, yang bersifat etika, bersifat kemasyarakatan langsung," kata Kiai Said. Ini harus menjadi catatan penting bagi pemerintah.

Pemerintah pun perlu mendengar sikap Muhammadiyah, yang mengingatkan agar pengambilan kebijakan tak hanya mengutamakan aspek ekonomi. PP Muhammadiyah dalam pernyataan sikapnya dengan tegas menyatakan, kebijakan publik yang ditetapkan tak boleh mengesampingkan aspek-aspek budaya bangsa yang luhur dan ajaran agama karena tidak sesuai dengan Pancasila.

Yang terpenting, menurut Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto, pemerintah hendaknya mendengarkan, memahami, dan memenuhi arus terbesar masyarakat, khususnya umat Islam, yang berkeberatan dan menolak keras pemberlakuan Perpres Nomor 10 Tahun 2021. Dalam ajaran Islam, miras (khamr) adalah zat yang diharamkan. 

Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Asrorun Niam Sholeh, menegaskan bahwa tanggung jawab kepemimpinan adalah mewujudkan kemaslahatan publik dan mendengar aspirasi publik. Karena itu, pemerintah harus melindungi semua warga negaranya dari bahaya minuman keras, yang bisa merusak masa depan anak-anak bangsa. Ini adalah amanat konstitusi yang menjadi tugas negara. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat