Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Covid-19 Antara Target, Prioritas, dan Skedul

soal pandemi kita tak bicara skedul misalnya bahwa anak anak harus mulai sekolah tanggal sekian, semester sekian.

Oleh ASMA NADIA

OLEH  ASMA NADIA

Alhamdulillah, akhir-akhir ini makin marak kabar menunjukkan perkembangan positif terkait langkah pemerintah menghadapi Covid-19. Bisa dikatakan, sebagian besar sudah tepat prioritas dan target serta skedul (jadwal) realistis. Namun, masih ada sedikit catatan.

Ketika vaksinasi dicanangkan, pemerintah memprioritaskan tenaga kesehatan (nakes). Sebuah pilihan tepat karena nakes jelas paling rentan tertular Covid-19.

Mereka bertugas di area penderita Covid-19 dirawat, beraktivitas di lokasi pasien dengan berbagai masalah kesehatan berkumpul, dan di antaranya bisa saja menderita Covid-19. Intinya, di antara semua profesi saat ini, nakes paling tinggi risiko tertular.

Sudah ratusan dokter meninggal dunia, belum terhitung perawat. Selanjutnya, vaksinasi menyasar orang tua, alasannya juga masuk akal. Di antara semua korban Covid-19, lansia adalah sosok paling rentan. Mereka menghadapi risiko terburuk hingga kematian.

 

 
Kalau guru sudah divaksin, apakah tatap muka boleh dilakukan? Benarkah ini kebijakan tepat?
 
 

Wajar karenanya bila lansia menempati prioritas. Pemerintah Inggris termasuk yang menjadikan lansia sebagai prioritas pertama vaksinasi. Yang menarik ketika pemerintah mulai menjadikan pedagang pasar sebagai prioritas berikutnya.

Menurut saya, ini keputusan brilian. Selain menjadi langkah penanganan Covid-19, pilihan ini sekaligus mendukung kebangkitan ekonomi. Pasar adalah simbol pergerakan perekonomian, di sisi lain aktivitas keramaiannya menjadi risiko penularan.

Tentu saja, yang berinteraksi dengan banyak orang adalah pedagang. Vaksinasi terhadap mereka, berarti meminimalisasi pedagang sebagai korban sekaligus pembawa virus, yang berpotensi menulari pembeli atau pengunjung pasar.

Target berikutnya, sopir daring. Pilihan ini menurut saya juga harus diapresiasi. Salah satu sebab cepatnya penularan adalah mobilitas warga. Namun, mobilitas juga simbol kebangkitan ekonomi. Dengan vaksinasi pengemudi publik, mobilisasi tercapai dengan risiko berkurang.

Intinya, vaksinasi menyasar tiga prioritas utama. Pertama, yang paling rentan terhadap penyakit, yaitu lansia. Kedua profesi paling sering berinteraksi dengan Covid-19, yaitu nakes. Ketiga profesi yang berinteraksi dengan banyak orang sehingga rentan tertular atau menulari, terpilihlah pedagang pasar dan pengemudi daring.

 
Terbayang bagaimana mereka duduk berdekatan, bermain tanpa menjaga jarak, melepas rindu, mengobrol  lama tanpa masker, makan di kantin sambil berbincang.
 
 

Lalu muncul wacana baru memprioritaskan guru karena akan berinteraksi dengan banyak murid. Sampai di sini, logika saya masih menerima. Namun, ketika pilihan ini diterjemahkan sebagai langkah pembuka belajar tatap muka di sekolah, saya mulai bertanya-tanya.

Kalau guru sudah divaksin, apakah tatap muka boleh dilakukan? Benarkah ini kebijakan tepat? Permasalahannya, sekolah berbeda dengan pasar atau ojek daring. Pedagang pasar atau pengemudi bertemu orang berbeda-beda. Pengunjung tak saling kenal dan interaksi relatif singkat.

Sedangkan siswa di sekolah, berkumpul di satu ruangan, dalam waktu cukup lama, saling mengenal dan mudah berinteraksi, disiplin menerapkan protokol kesehatan (prokes) cenderung lemah, dan banyak risiko akibat pelanggarannya.

Guru yang sudah divaksin, lalu tatap muka dengan murid yang belum divaksin, pun masih rentan berhadapan dengan risiko cukup besar. Antara murid bisa saling menularkan, begitu juga saat mereka pulang, bisa saja anak-anak menghantarkan virus ke orang tua di rumah.

Terlebih kesadaran dan kontrol diri sebagian besar siswa masih harus diawasi ketat. Terbayang bagaimana mereka duduk berdekatan, bermain tanpa menjaga jarak, melepas rindu, mengobrol lama tanpa masker, makan di kantin sambil berbincang.

 
Kesimpulannya, sebelum mengambil keputusan mengembalikan belajar tatap muka di sekolah, pastikan itu memang sudah aman dilakukan. 
 
 

Intinya, prokes akan paling sulit diatur dan ditegakkan terkait anak-anak saat berkumpul di sekolah. Karena itu, menurut saya, soal pandemi kita tak bicara skedul misalnya bahwa anak anak harus mulai sekolah tanggal sekian, semester sekian, tetapi semua bergantung situasi.

Jika situasi memungkinkan, baru dijalankan. Situasi bukan diukur dari target waktu, melainkan keadaan, misalnya jika semua siswa sudah divaksin, jika prokes siap dijalankan, jika ruang memungkinkan, baru kegiatan belajar tatap muka memungkinkan dilakukan.

Sudah banyak negara yang mengembalikan aktivitas belajar tatap muka di sekolah, kemudian meralatnya dan mengembalikan aktivitas belajar dari rumah setelah terjadi peningkatan kasus signifikan.

Sebagai rakyat, tentu kita bersyukur dan tetap mendukung pemerintah atas begitu banyak perkembangan positif yang terlihat, walau tidak mengurangi kewaspadaan dan upaya mengawal bersama, karena begitu melangkah pada kebijakan yang salah, akibatnya bisa fatal.

Kesimpulannya, sebelum mengambil keputusan mengembalikan belajar tatap muka di sekolah, pastikan itu memang sudah aman dilakukan. Atau, mungkin hanya diterapkan pada sekolah dan daerah tertentu yang benar-benar siap.  

Jika tidak, sebaiknya urungkan sebab terkait persoalan kesehatan yang berujung hilangnya nyawa, bukan perkara di mana trial dan error bisa diterapkan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat