Patung dada Umar al-Mukhtar di Caracas, ibu kota Venezuela. Pejuang kebebasan Libya itu diakui luas sebagai pahlawan dunia terjajah. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Jejak Perjuangan Umar al-Mukhtar

Umar al-Mukhtar merupakan seorang mubaligh-sufi yang juga pahlawan nasional Libya.

OLEH HASANUL RIZQA

Pahlawan Libya ini dijuluki Singa Padang Pasir. Keberanian dan kegigihannya dalam berjuang melawan kolonialisme menginspirasi dunia. Hingga kini, Umar al-Mukhtar merupakan simbol pemersatu negeri di utara Afrika itu.

Heroisme Sang Singa Padang Pasir

 

Pada bulan ini, Libya merayakan ulang tahun kemerdekaan nasional ke-74. Sejak 10 Februari 1947, negara yang beribu kota di Tripoli itu bebas dari cengkeraman penjajahan Italia. Perjuangannya dalam merebut kedaulatan memunculkan banyak pahlawan. Di antaranya ialah Umar al-Mukhtar.

Ketokohan sosok yang dijuluki “Assad ash-Shahra” (Singa Padang Pasir) itu menginspirasi bukan hanya masyarakat setempat, melainkan juga dunia. Sebagai contoh, biopik The Lion of the Desert (1981) didedikasikan untuk mengenang heroismenya.

Film itu dibintangi sederet aktor terkenal, semisal Anthony Quinn, Oliver Reed, Raf Vallone, dan Irene Papas. Sutradara asal Suriah, Mustapha Akkad, dinilai berhasil menggambarkan kolonialisme Barat dalam karya tersebut. Pemerintah Italia bahkan sempat melarang penayangan biopik itu di negerinya karena takut akan melunturkan semangat angkatan bersenjata mereka.

Nama lengkap tokoh ini adalah Umar al-Mukhtar Muhammad bin Farhat al-Manifi. Ia lahir pada 20 Agustus 1858 di Kota Zanzur, dekat Tobruk, yang masuk wilayah Barqah (Cyrenaica) Utsmaniyah. Ayahnya, Syekh Mukhtar bin Umar, merupakan seorang tokoh agama di kampung halamannya.

Sang ayah berkeinginan kuat agar putra kesayangannya itu kelak menjadi figur ulama yang mumpuni. Umar kecil pun disekolahkan ke lembaga pendidikan Islam di al-Jaghbub, Libya timur. Sehari-hari, dirinya rutin mengaji dan menghafal Alquran.

 
Sehari-hari, Umar al-Mukhtar kecil rutin mengaji dan menghafal Alquran.
 
 

Saat Umar masih berusia belia, bapaknya meninggal dunia. Begitu pula dengan ibunya yang menyusul beberapa waktu kemudian. Sebagai anak yatim-piatu, ia pun diasuh Syekh Hussein al-Ghariani. Pamannya itu merupakan seorang pemimpin agama dan politik di Barqah. Di bawah bimbingannya, Umar mengawali perkenalannya dengan dunia pergerakan.

Ia tetap meneruskan pendidikan agamanya di masjid dekat tempat tinggalnya. Secara khusus, ulama setempat Syekh Abdul Kader Bodia menjadi pembimbingnya, khususnya dalam tahfiz Alquran. Dalam masa belajar tersebut, Umar belia gemar menyimak kisah-kisah kepahlawanan Muslim. Baginya, perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan generasi mujahid sesudahnya menginspirasinya untuk mengorbankan diri demi ridha Allah SWT.

Umar muda kerap menjalankan amalan yang jarang dilakukan oleh anak-anak sebayanya. Sebagai contoh, ia tidak pernah tidur lebih dari tiga jam sehari. Tiap sepertiga malam terakhir, dia selalu bangun untuk melaksanakan shalat tahajud dan tadarus Alquran hingga Subuh menjelang. Dalam sepekan, Alquran dapat dikhatamkannya berkali-kali. Meniru sang guru, pemuda ini juga gemar berpuasa sunah Senin-Kamis dan puasa Nabi Daud.

 
Ia tidak pernah tidur lebih dari tiga jam sehari. Tiap sepertiga malam terakhir, dia selalu bangun untuk melaksanakan shalat tahajud dan tadarus Alquran hingga Subuh menjelang.
 
 

Selanjutnya, Umar menempuh pendidikan tinggi di Universitas Senussi di al-Jaghbub. Selama delapan tahun, dia menimba ilmu pendidikan sebagai mahasiswa kampus tersebut. Walaupun sibuk dengan tugas sehari-hari, ia tidak pernah lalai melakukan amalan-amalan rutin, seperti ketika masih di bawah bimbingan langsung Syekh Abdul Kader. Begitu lulus, ia menjadi guru di sejumlah sekolah di Jabal Akhdhar.

Umar menampilkan karakteristik seorang pemimpin di tengah komunitasnya. Masyarakat setempat menghormatinya sebagai figur yang alim dan bijaksana. Apalagi, keluarganya memiliki ikatan emosional dengan Tarekat Sanusiyah.

Tak menunggu waktu lama, sebelum menapaki usia 40 tahun, dia diterima sebagai tokoh tasawuf. Bahkan, sering kali ia diminta menengahi suku-suku Muslim yang bertikai.

photo
Umar al-Mukhtar memimpin perjuangan rakyat Libya untuk merebut kemerdekaan dari Italia selama 10 tahun. - (DOK Twitter)

Gerakan Sanusiyah

Libya merasakan ganasnya penjajahan Eropa sejak pengaruh Turki Utsmaniyah di Afrika Utara melemah. Bahkan, melalui Perjanjian Berlin tanggal 13 Juli 1878 negara-negara Eropa sudah berencana untuk membagi-bagikan wilayah Utsmaniyah di region tersebut. Penandatanganan kesepakatan itu terjadi beberapa bulan usai kekhalifahan kalah perang dengan Rusia.

Pada 1912, Italia merebut Libya dari kekuasaan Turki dan mengubah nama negeri itu menjadi Afrika Utara-Italia (Italian North Africa). Sepuluh tahun kemudian, Benito Mussolini menguasai pemerintahan.

Pemimpin Italia yang berhaluan fasis itu menggencarkan penjajahan atas Libya yang saat itu terbagi dua secara administratif, yakni Tripolitania di barat dan Cyrenaica di timur. Tak kurang dari 150 ribu imigran Italia menghuni kedua wilayah tersebut. Jumlahnya bahkan mencakup seperlima total populasi lokal kala itu.

photo
Benito Mussolini, pemimpin fasis Italia. - (DOK Wikipedia)

Dalam kondisi demikian, rakyat setempat terus mengobarkan perlawanan. Di antara mereka adalah komunitas pengikut Tarekat Sanusiyah. Gerakan tasawuf ini didirikan oleh Syekh Muhammad bin Ali al-Sanusi pada akhir paruh pertama abad ke-19. Pria yang silsilahnya sampai pada Rasulullah SAW itu lahir pada 1787 di dekat Mustaghanin, Aljazair.

Bertahun-tahun lamanya menuntut ilmu di Tanah Suci, sosok berjulukan Sanusi Agung itu tidak bisa kembali ke tanah airnya. Aljazair sedang dijajah Prancis. Ia pun melanjutkan perjalanan ke Libya, tepatnya wilayah Cyrenaica. Di sana, murid Sayyid Ahmad bin Idris al-Fasi (1794-1837) itu mendirikan basis pergerakannya.

Dia terus berjuang hingga ajal menjemputnya pada 2 September 1859. Sepeninggalannya, Tarekat Sanusiyah menjadi gerakan Islam yang dominan di seluruh Libya. Pengaruhnya bahkan terasa sampai Afrika bagian tengah. Umar al-Mukhtar menjadi penerus perjuangan Syekh Muhammad al-Sanusi.

Penjajahan Italia atas Libya bermula dalam konteks Perang Dunia I. Roma bak Goliath yang mempersenjatai diri dengan alat perang canggih, seperti tank, pesawat tempur, hingga panser antipeluru, pada masa itu. Sementara, para mujahid Libya dapat diibaratkan Daud, dengan senjata seadanya, usang dan berkendaraan kuda. Perbedaan kekuatan itu belum lagi diukur dari jumlah pasukan. Antara kedua belah pihak, sama sekali tak sebanding. 

Pada 1923, Regio Esercito—julukan bagi angkatan bersenjata Italia—menyerang permukiman para pengikut Sanusiyah. Perang besar pun dimulai. Dalam memimpin pasukannya, Umar menerapkan taktik gerilya. Pasukan yang berbasis di Cyrenaica itu mengenal baik medan pertempuran. Alhasil, militer Italia sempat dibuat nyaris tak berdaya.

Di wilayah pegunungan Jabal Akhdhar (Gunung Hijau), Gubernur Jenderal Afrika Utara-Italia Ernesto Bombelli membombardir setiap lokasi yang dicurigai sebagai tempat persembunyian laskar-laskar gerilya. Operasi militer yang dijalankan sejak 1924 itu dapat meredakan serangan-serangan dari kubu Sanusiyah.

 
Sejak itu, sang mujahid dengan cepat mengubah strateginya.
 
 

Pada April 1925, Umar menelan kekalahan telak dari gempuran yang dilancarkan Bombelli dan pasukannya. Sejak itu, sang mujahid dengan cepat mengubah strateginya.

Sementara itu, bantuan dari Mesir mulai berdatangan sehingga sedikit meringankan Umar. Laskar-laskar Muslim gabungan dari Libya dan Negeri Piramida dapat bertahan selama beberapa bulan. Pada Februari 1926, Jaghbub diduduki pasukan Regio Esercito.

Pada Maret 1927, pasukan yang dipimpin Umar dapat mengalahkan prajurit Italia di Raheiba. Sejak itu, pengganti Bombelli, Gubernur Jenderal Attilio Teruzzi, menerapkan penindasan yang lebih keras kepada penduduk lokal, terutama mereka yang dicurigai membantu perlawanan laskar-laskar mujahid.

Antara tahun 1927 dan 1928, Umar mengatur kembali kekuatan tempurnya. Pemerintah kolonial Italia seakan-akan hewan buas yang harus berburu mangsa di tengah kegelapan. Tidak tahu di mana lokasi para pejuang, dan saat lengah harus merasakan serangan mereka.

Dalam kondisi kalut itu, rezim akhirnya mengakui kualitas Umar sebagai pemimpin pertempuran. Teruzzi berkata, “Dia (Umar al-Mukhtar) adalah sosok dengan ketekunan yang luar biasa dan tekad yang kuat.”

Marsekal Pietro Badoglio menjadi Gubernur Jenderal Libya sejak Januari 1929. Berbeda dari para pendahulunya, Badoglio mengambil opsi negosiasi ekstensif dengan Umar. Hingga akhir Oktober 1929, berkali-kali jenderal itu mengirimkan utusan ke pihak mujahidin.

Menanggapi tawaran itu, Umar mengajukan sejumlah persyaratan, seperti kesediaan Italia untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri Libya dan pengakuan bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Namun, semua tuntutan itu ditolak Italia.

Gubernur Jenderal Rodolfo Graziani, yang menjabat sejak Maret 1930, mulai mengerahkan serangan besar-besaran untuk mengepung laskar-laskar mujahid. Tidak hanya itu, pemerintah kolonial juga terus mengintimidasi warga sipil untuk mencegah arus bantuan ke pihak Umar.

Sebanyak 100 ribu penduduk Jabal Akhdhar dipaksa mengungsi ke daerah-daerah yang kering kerontang. Bila menolak, mereka akan ditangkap. Sebagian dipindahkan ke kamp konsentrasi milik pemerintah yang dibangun di pantai utara Libya atau dekat perbatasan dengan Mesir. Dengan cara demikian, akses dukungan dan bantuan dari kalangan Pribumi untuk Umar coba dihilangkan.

 
Umar diberkahi kecerdasan yang brilian dan lincah. Dia sosok berpengetahuan luas dalam masalah agama, memiliki karakter yang energik, tidak kenal kompromi.
 
 

Sejak 1931, laskar-laskar Sanusiyah mulai terdampak arus pasokan yang tersendat-sendat. Pada saat yang sama, bala tentara Italia terus menekan basis-basis pertahanan kubu mujahidin. Tak sedikit dari mereka yang ditangkap. Ada pula kolaborator atau informan lokal yang memberikan bantuan kepada mata-mata musuh. Pantang menyerah, Umar terus berjuang meski kesulitan dan risiko yang dihadapinya terus meningkat.

Pada 11 September 1931, ulama-pejuang itu ditangkap di dekat Slonta. Graziani menggambarkan sang pemimpin Sanusiyah dengan kata-kata, “Dengan tinggi sedang, agak gemuk, beruban lebat serta jenggot dan kumis, Umar diberkahi kecerdasan yang brilian dan lincah. Dia sosok berpengetahuan luas dalam masalah agama, memiliki karakter yang energik, tidak kenal kompromi. Pada akhirnya, dia telah menjadi salah satu tokoh Sanusiyah yang paling penting.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat