Suasana sidang paripurna DPR. (ilustrasi) | ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Nasional

DPR Tunggu Pemerintah Soal Revisi UU ITE

DPR dan pemerintah akan membahas nasib RUU ITE setelah reses.

JAKARTA—DPR masih menunggu kepastian pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengaku ada peluang untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

"Kami tunggu Menkumham (Yasonna Laoly) untuk bisa membahas itu di dalam raker lagi, sebelum penetapan Prolegnas (Prioritas) 2021. Jadi, Baleg prinsipnya terbuka dan benar-benar mengapresiasi sebuah konsep dari Presiden," tutur Willy saat dihubungi, Kamis (18/2).

Revisi UU ITE berpeluang masuk ke dalam daftar prioritas, karena Prolegnas Prioritas 2021 hingga saat ini belum ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Rencananya, Baleg bersama pemerintah dan DPD akan menggelar rapat kerja membahas penetapan Prolegnas Prioritas 2021 usai masa reses yang selesai pada 7 Maret mendatang.

Willy mengaku, mayoritas fraksi di DPR mendukung revisi UU ITE. "Sejauh ini belum ada ganjalan berarti jika ini masuk ke dalam Prolegnas," ujar politikus Partai Nasdem itu. Dikutip dari laman resmi DPR, revisi UU ITE sendiri masuk ke dalam Prolegnas 2020-2024. Revisi itu menjadi usulan DPR dan berada di nomor urut tujuh, di bawah RUU tentang Tugas Perbantuan Militer.

Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan, pada dasarnya pihaknya mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo yang membuka peluang untuk merevisi UU ITE. Namun hingga saat ini, Komisi I masih menunggu pemerintah untuk memasukkan usulan tersebut. Menurutnya, Komisi I memang terus menerima masukan ihwal UU ITE sejak terakhir direvisi pada 2016. Saat itu, pembahasan revisi berkutat pada Pasal 45 ayat 3 yang mengatur ketentuan pidana atas penghinaan atau pencemaran nama baik.

"Revisi UU ITE bisa diajukan pemerintah, sehingga DPR akan menunggu pemerintah memasukkan usulannya terkait hal tersebut," ujar Meutya. Diketahui, UU ITE pernah direvisi pada 2016 lalu. Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Henri Subiakto mengaku, sebelum direvisi, ada 220 korban UU ITE, dan yang paling fenomenal adalah kasus Prita Mulyasari.

Sebanyak 92 persen dari 220 korban tersebut menerapkan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pasal itu melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan data elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik.

"(Sebanyak) 71 persen diproses hingga pengadilan dan 29 persen tidak jelas keputusannya. Lalu, 13 persen yang diputus bersalah," ujar Henri, Kamis.

Delik aduan

Ia menjelaskan, sebelum direvisi terdapat persoalan implementasi dalam pelaksanaan UU ITE, khususnya dalam Pasal 27 ayat 3. Setelah direvisi, penjelasan penghinaan dan pencemaran nama baik mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) delik pencemaran nama baik/penistaan di Pasal 310 dan delik fitnah Pasal 311.

"Deliknya dari delik biasa menjadi delik aduan, artinya korban harus mengadu pada penegak hukum. Tanpa aduan, tidak bisa diproses," tegasnya.

photo
Tersangka Petinggi Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat (kanan) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (16/10/2020). Jumhur Hidayat diperiksa Direktorat Siber Bareskrim Polri sebagai tersangka dalam kasus penyebaran informasi yag ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau pemberitahuan bohong dengan menerbitkan keonaran dikalangan rakyat terkait penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja - (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

UU ITE, kata Henri, pada dasarnya melarang dua jenis perbuatan pidana. Pertama, larangan berbuat jahat dengan menggunakan informasi teknologi (IT), seperti perjudian, terorisme, penipuan kartu kredit, pornografi, pemerasan, dan pencemaran nama baik. "Kedua, larangan berbuat jahat dengan sasaran IT, seperti peretasan, penyebaran kode jahat, robot Internet, pencurian identitas, dan lain-lain," kata dia.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menegaskan akan menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan agar tidak ada lagi penggunaan pasal-pasal karet UU ITE untuk mengkriminalisasi pihak tertentu. Dia meminta jajaran-nya mengedepankan upaya mediasi dalam menangani kasus pelanggaran UU ITE yang tidak berpotensi menimbulkan konflik horizontal, seperti kasus pencemaran nama baik.

Kapolri juga akan menerbitkan instruksi terkait laporan dengan pasal UU ITE yang bersifat delik aduan. "Tolong dibuat semacam STR atau petunjuk agar bisa dijadikan pegangan bagi para penyidik saat menerima laporan," kata Sigit. Menurut dia, bila perlu, jika ada pelaporan tertentu yang bersifat delik aduan, yang melaporkan harus korbannya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat