Para pimpinan Jamiat Kheir dari masa ke masa. | Dok Jamiat Kheir

Tema Utama

Jamiat Kheir Menjadi Inspirasi Perjuangan

Jamiat Kheir berperan dalam menumbuhkan perlawanan antikolonialisme di Tanah Air.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Ada peran bangsa Arab dalam merintis syiar Islam di Nusantara. Hal itu ditegaskan banyak peneliti. Misalnya, Syed Farid Alatas dari Universitas John Hopkins. Dalam artikelnya, “Hadhramaut and the Hadhrami Diaspora: Problems in Theoretical History”, putra sosiolog Syed Hussein Alatas itu mengatakan, kaum Hadrami turut berkiprah dalam mendakwahkan agama tauhid di Indonesia.

Mereka adalah orang-orang Arab yang sejak abad ke-10 menetap di Hadramaut, Arab selatan (kini Yaman). Tidak hanya berdarah Arab, nasab mereka pun bersambung hingga ke Nabi Muhammad SAW.

Syed Farid meneruskan, nenek moyang Wali Songo dapat ditelusuri sejak Jamaluddin Akbar al-Hussein. Sosok bergelar sayyid itu memiliki kakek yang bernama Abdullah bin Abdul Malik. Ulama tersebut hijrah dari Hadhramaut ke India untuk menghindari konflik politik yang terjadi di Arab selatan.

Sesampainya di India, Abdullah diterima dengan baik. Penguasa setempat menggelarinya Adzamat Khan, yang dalam bahasa Urdu berarti 'keluarga yang mulia'.

Abdullah Adzamat Khan mempunyai seorang putra, yakni Ahmad Shah Jalal. Inilah sosok ayahanda Jamaluddin Akbar al-Hussein. Lahir pada 1310 di pesisir barat India (Malabar), Jamaluddin Akbar al-Hussein saat dewasa lantas berkelana. Dari Gujarat, ia ke Campa (Indocina sekarang). Di antara anak-anaknya adalah Zainal Alam Barakat dan Nurul Alam.

photo
Jajaran pengurus Jamiat Kheir berfoto bersama di depan kantor pusat organisasi tersebut di Batavia (Jakarta) - (Dok. Jamiat Kheir )

Zainal Alam Barakat menurunkan Maulana Malik Ibrahim, yang ketika dewasa berhijrah ke Gresik, Jawa Timur. Tokoh ini kemudian lebih dikenal sebagai Sunan Gresik, sang Wali Songo pertama.

Sementara itu, Nurul Alam hijrah ke Mesir dan memperoleh seorang putra bernama Syarif Abdullah Umdatuddin. Anak Syarif Abdullah bernama Syarif Hidayatullah. Kelak ketika dewasa, Syarif hijrah ke Nusantara, tepatnya Jawa Barat. Namanya lebih masyhur sebagai Sunan Gunung Jati.

Memasuki zaman kolonialisme, peranan keturunan Arab tidak dapat dipandang sebelah mata. Dengan mayoritas masyarakat pribumi, mereka memiliki rasa kebersamaan, khususnya dalam identitas agama. Karena itu, yang muncul kemudian adalah solidaritas untuk sama-sama melawan penjajahan Belanda.

 
Memasuki zaman kolonialisme, peranan keturunan Arab tidak dapat dipandang sebelah mata.
 
 

Abad ke-20 menjadi momentum kebangkitan gerakan-gerakan nasionalis di Indonesia. Komunitas Arab di Tanah Air pun turut dalam gelombang ini. Salah satu di antaranya berpusat di Batavia (Jakarta). Organisasi yang berdiri pada 1905 ini bernama Jamiat Kheir.

Seperti tampak dari penamaannya, yang harfiah berarti ‘Perkumpulan untuk Kebaikan’, Jamiat Kheir berfokus pada kerja-kerja maslahat yang manfaatnya dapat dirasakan kaum Muslimin. Dengan begitu, sifatnya menjadi inklusif. Dalam arti, tidak membatasi diri hanya pada komunitas Arab di Hindia Belanda.

Buktinya, banyak tokoh Islam yang turut mendaftarkan diri sebagai anggota Jamiat Kheir. Sebagai contoh, KH Ahmad Dahlan (terdaftar dengan nomor anggota 770), HOS Tjokroaminoto (diberi amanah mengendalikan perusahaan di Surabaya), Rd Djajanegara (hoofd jaksa Batavia) dan lain-lain. Mereka dipersatukan oleh semangat untuk mewujudkan persatuan dan kebangkitan Islam.

photo
Jamiat Kheir disebut menginspirasi berdirinya organisasi-organisasi Islam lainnya, seperti Muhammadiyah. Bahkan, KH Ahmad Dahlan pernah tercatat sebagai anggotanya. - (Dok. Jamiat Kheir )

Lawan penjajahan

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara menjelaskan, pemerintah kolonial cemas akan keberadaan Jamiat Kheir (yang disebutnya “Djaimat Choir”). Organisasi tersebut serta Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta dinilai membahayakan tatanan penjajahan di Nusantara. Sebab, konteks geopolitik Asia Tenggara saat itu “diapit” pergolakan nasionalisme Cina yang dipimpin Dr Sun Yat Sen.

Dalam sebuah keterangannya, Sun Yat Sen berterima kasih kepada Muslimin Cina atas keikutsertaan dalam perjuangan melawan Inggris. Berita kemenangan Jepang atas Rusia juga membuat khawatir rezim Belanda di Hindia. Sebab, itu membangkitkan perasaan bahwa “Eropa dapat dikalahkan Asia”.

Seorang penasihat pemerintah kolonial, KF Holle (1829-1896), lantas menyarankan perlu adanya organisasi penyeimbang sebagai lawan dari Jamiat Kheir. Organisasi yang dimaksud hendaknya didirikan kalangan pribumi yang mendukung hegemoni kolonial di Hindia. Cakupan kerjanya pun mesti di Ibu Kota, Batavia. Rencana tersebut didukung Bupati Serang Banten PAA Achmad Djajadiningrat.

“Adapun nama organisasi tandingannya, menurut PAA Achmad Djajadiningrat, harus sama pula seperti Djamiat Choir. Untuk itu, dipilihlah nama Boedi Oetomo (Budi Utomo),” tulis Suryanegara.

Untuk mengisi Budi Utomo, disarankan orang-orang dari Suku Jawa dan kalangan bangsawan pula. Suryanegara mengatakan, memang Islam adalah agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia kala itu—bahkan hingga sekarang. Akan tetapi, para bangsawan Jawa dan bupati pendukung Budi Utomo tidak berpihak pada pemeluk agama mayoritas pribumi, melainkan Jawanisme atau Kejawen.

“Dari kenyataan sejarah tersebut, dapat dipahami bila Boedi Oetomo bersikap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia, 1928 M. Hal ini karena ide cita-cita persatuan Indonesia terlahir dari Kongres Jong Islamieten Bond, 1925 M. Jong Islamieten Bond merupakan kontra organisasi dari Jong Java atau Tri Koro Dharmo, organisasi pemuda Boedi Oetomo,” tutur akademisi tersebut dalam subbab “Boedi Oetomo Pengimbang Djamiat Choir”.

Visi kebangsaan Indonesia yang digagas Jamiat Kheir tidak hanya di ranah pendidikan, tetapi juga media massa. Pada 31 Maret 1913, organisasi ini membidani lahirnya surat kabar Utusan Hindia. Penamaan “Hindia” mengindikasikan semangat nasionalisme yang kuat.

Perhatiannya tidak hanya pada perjuangan antikolonialisme di Nusantara, tetapi juga belahan bumi lain tempat Muslimin berpijak. Umpamanya, Afrika Utara. Pada 1911, Jamiat Kheir mendatangkan seorang tokoh pejuang dari Tunisia, al-Hasyimi.

Sebelum menginjakkan kaki di Indonesia, ia pernah memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial Prancis di daerah asalnya. Usai bergabung dengan Jamiat Kheir, keaktifannya tidak hanya dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid-murid di kelas, khususnya dalam mata pelajaran bahasa Arab dan agama Islam.

Al-Hasyimi bahkan memperkenalkan kepanduan atau pramuka di lingkungan Jamiat Kheir. Dapat dikatakan, dialah orang pertama yang mendirikan gerakan kepanduan di tengah Muslimin Indonesia.

 
Dapat dikatakan, dialah orang pertama yang mendirikan gerakan kepanduan di tengah Muslimin Indonesia.
 
 

Sejarah pun membuktikan, konsistensi dan daya tahan Jamiat Kheir melampaui usia penjajahan Belanda di Tanah Air. Bahkan, hingga hari ini perannya masih bisa disaksikan di Indonesia.

Walaupun mayoritas anggota atau tokohnya keturunan Arab, organisasi itu terbuka bagi setiap Muslim di negeri ini, tanpa diskriminasi asal-usul.

Ilhami ormas Islam

Pada awal terbentuknya, Jamiat Kheir dilarang oleh pemerintah kolonial untuk membentuk cabang-cabang di luar Batavia. Akan tetapi, pelarangan itu sama sekali tidak membatasi reputasinya di tengah masyarakat Indonesia.

Terbukti, banyak tokoh daerah-daerah yang menghubungi kantor pusat organisasi itu. Mereka meminta agar Jamiat Kheir mendeklarasikan cabang-cabang di wilayah masing-masing. Bagaimanapun, pimpinan Jamiat Kheir saat itu memperhatikan peraturan yang dirancang Belanda. Karena adanya larangan tersebut, maka dianjurkan agar para tokoh itu mendirikan perkumpulan sendiri.

Setidaknya lantaran anjuran tersebut, beberapa organisasi Islam pun bertumbuhan di sejumlah daerah. Pada 1 November 1913, al-Irsyad berdiri di Tegal-Pekalongan. Pada awal pendiriannya, organisasi tersebut tak bersangkut paut dengan Jam’iyyat al-Islah wa al-Irsyad al-Arabiyah yang dibentuk pada 1913 di Batavia, yang salah seorang perintisnya adalah Syekh Ahmad Surkati.

Senapas dengan Jamiat Kheir di pusat, al-Irsyad di Tegal-Pekalongan pun memfokuskan diri pada bidang pendidikan. Keanggotaannya terbuka bagi setiap Muslim.

Hadirnya Muhammadiyah pun tak lepas dari pengaruh Jamiat Kheir. KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 mendirikan persyarikatan itu di Yogyakarta. Sebelumnya, kiai berjulukan “Sang Pencerah” ini merupakan seorang anggota Jamiat Kheir. Seperti halnya organisasi di Batavia itu, Muhammadiyah pun menaruh perhatian besar pada bidang pendidikan Islam, dengan sistem kurikulum dan pengajaran yang modern.

Cendekiawan Prof Aboebakar Atjeh, seperti dikutip Wasilah Faray Saleh dalam buku Jam’iyyat Khair Gerakan Modern Islam di Indonesia (2016) mengatakan, “Djami’at Chair telah menghasilkan tokoh-tokoh masyarakat pula yang akan jadi pelopor pembangunan di kemudian hari. Antara lain, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah”.

Kiai Dahlan diketahui berkomunikasi terlebih dahulu dengan tokoh-tokoh Jamiat Kheir di Batavia sebelum mendirikan Muhammadiyah. Salah seorang figur tempatnya bertukar pikiran ialah Abdullah bin Alwi Alatas.

Sosok yang akhirnya diangkat menjadi pahlawan nasional itu diminta untuk menangkal upaya-upaya Kristenisasi yang marak dilakukan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di samping itu, semangat pembaruan dan modernisme Islam pun dijadikan sebagai pegangan.

Di Balik Transformasi Gerakan ke Yayasan

 

Sejak 1919, Jamiat Kheir bertransformasi menjadi sebuah yayasan. Menurut Wasilah Faray Saleh (2016), perubahan bentuk itu, antara lain, dilatari faktor politik. Dalam arti, banyak tokoh perkumpulan tersebut yang cenderung sibuk dalam aktivitas politik pergerakan.

Sebagai contoh, ketika Sarekat Islam (SI) sedang berkibar di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, banyak simpatisannya yang sebelumnya merupakan anggota Jamiat Kheir. Pada 1913, ketua Jamiet Kheir kala itu Abdullah bin Hoesin al-Aijdroes kerap menghadiri rapat-rapat SI. Bahkan, ia duduk di meja ketua, sejajar dengan pimpinan SI.

Memang, tokoh-tokoh Jamiat Kheir—sebelum menjadi sebuah yayasan—turut berjuang pula di ranah politik pergerakan. Reputasinya bahkan sudah mendunia. Untuk menyebut satu contoh, Ali bin Ahmad bin Muhammad Shahab, seorang figur Jamiat Kheir. Ia merupakan koresponden surat kabar Al-Muayyad dan Tamarat al-Funun.

Tulisan-tulisannya banyak dibaca di Turki maupun Mesir. Dalam berbagai artikelnya, ia mengungkapkan berbagai penindasan yang dilakukan Belanda ataupun Inggris di Indonesia dan Malaya.

Pemerintah kolonial pun tak tinggal diam. Pada 1917, beberapa tokoh Jamiat Kheir ditangkap dan ditahan. Rezim memberlakukan kebijakan piramida sosial dengan mengelompokkan orang-orang keturunan Arab di Nusantara sebagai “warga Timur Asing” sehingga dilarang terlibat dalam organisasi atau gerakan pribumi.

photo
Beberapa tahun setelah berdirinya, Jamiat Kheir terus mendapatkan tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Untuk menjaga eksistensinya, organisasi itu lantas mengambil bentuk sebagai yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan. - (Dok. Jamiat Kheir )

Bahkan, izin berdirinya Jamiat Kheir pun diancam dapat dicabut sewaktu-waktu. Menyadari bahaya tersebut, pimpinan organisasi ini lantas mengambil strategi untuk kembali “berpatokan” pada anggaran dasarnya, khususnya bidang pendidikan. Akibat terus-menerus dicurigai pemerintah kolonial, pada 17 Oktober 1919 bentuk perkumpulan ini diubah menjadi sebuah yayasan.

Kini, sudah lebih dari satu abad usia Jamiat Kheir. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir Prof Habib Husin Alatas mengatakan, hingga saat ini organisasi tersebut menaungi empat jenis lembaga. Keempatnya adalah Madrasah Jamiat Kheir, Sekolah Bina Kheir, Institut Agama Islam Jamiat Kheir, serta Lembaga Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab Jamiat Kheir.

“Untuk saat ini, keseluruh lembaga pendidikan tersebut berlokasi di Jakarta dan Depok,” ujar Husin Alatas saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Guru besar ilmu fisika teori IPB University itu memaparkan, Madrasah Jamiat Kheir memiliki murid sebanyak 647 orang. Jenjang pendidikan di sana lengkap, mulai dari taman kanak-kanak, ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Untuk Sekolah Bina Kheir, saat ini memiliki unit pendidikan dari tingkat TK hingga sekolah menengah pertama (SMP), dengan jumlah murid sebanyak 592 orang.

photo
Foto para murid di sekolah Jamiat Kheir pada zaman kolonial. Jamiat Kheir berkiprah di dunia pendidikan sebagai jalan untuk mewujudkan kebangkitan Muslimin (Pan-Islamisme). - (Dok Jamiat Kheir)
Walau fokus ke dunia pendidikan, lanjut Husin, identitas sejarah Jamiat Kheir tak akan pernah ditanggalkan. “Ciri khas yang masih dipertahankan hingga saat ini, semenjak Jamiat Kheir berdiri 120 tahun lalu sebagai sebuah perkumpulan, adalah, terus dipeliharanya keunggulan pembelajaran bahasa Arab,” ucapnya.

Untuk kepengurusan periode 2018-2023, Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir terdiri atas tokoh-tokoh nasional. Ketuanya adalah Prof Muhammad Quraish Shihab. Dewan Pengawas diketuai Prof Muhammad Idrus Alhamid.

Untuk saat ini, sebut Husin, yayasan tersebut terus melakukan pembenahan diri. Termasuk di antaranya, peningkatan ciri unggulan dalam pembelajaran bahasa Arab. Tak ketinggalan, pembelajaran agama Islam dan pembentukan karakter murid pun turut ditingkatkan.

“Diharapkan melalui pembenahan yang dilakukan, Jamiat Kheir dapat kembali memiliki peran yang signifikan bagi terbentuknya masyarakat madani di masa mendatang melalui pendidikan. Visi kami mencetak insan-insan yang utamanya mengedepankan adab serta berkarakter rahmatan lil 'alamin,” tutup dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat