Sejumlah siswi baru mengikuti pembukaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMA Negeri 2 Indramayu, Jawa Barat, Senin (13/7). Pemkab Indramayu masih menerapkan ketentuan seragam bagi siswa/siswi Muslim. | ANTARA FOTO/Dedhez Anggara

Nasional

SKB Seragam Masih Munculkan Mispersepsi

SKB tiga menteri ini masih memunculkan mispersepsi terkait aturan seragam sekolah.

JAKARTA — Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menuturkan, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Seragam masih belum tersosialisasikan dengan baik. Akibatnya, SKB ini masih memunculkan mispersepsi terkait aturan seragam sekolah.

"Ternyata terjadi misinformasi terkait SKB tiga menteri. Di lapangan terjadi perbedaan persepsi, masyarakat lebih percaya dengan medsos yang kemudian sudah dibuat menjadi meme," kata Retno, dalam webinar bertajuk "Sekolah Sebagai Penyemai Toleransi: Respons Terhadap SKB Tiga Menteri", Senin (8/2).

Setelah SKB tiga menteri tersebut diterbitkan, KPAI melakukan survei ke sejumlah sekolah. Ternyata, masih banyak orang tua murid madrasah negeri yang merasa khawatir dengan kebijakan tersebut. Padahal, peraturan dalam SKB tidak diterapkan kepada murid di madrasah negeri dan hanya diterapkan untuk sekolah negeri di bawah pemerintah daerah. 

"Mereka khawatir anaknya jadi suka-suka. Jadi, sebenarnya kekhawatiran ini menunjukkan bahwa bukan anak-anak mereka yang merdeka berjilbab. Ini tidak salah untuk mengajarkan, tapi harusnya membangun kesadaran dan mencontohkan. Kita jadi model bagi anak atau murid kita," kata Retno. 

Selain itu, mispersepsi di masyarakat lainnya adalah pelarangan total menggunakan jilbab. Padahal, yang dimaksud dalam SKB ini adalah penggunaan jilbab adalah hak individu dan bukan diatur di peraturan sekolah atau peraturan daerah. Terkait banyaknya mispersepsi ini, KPAI meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan sosialisasi terlebih dulu sebelum menerapkan SKB ini. 

Waktu maksimal 30 hari untuk sekolah mencabut peraturan dinilai terlalu singkat. Sebab, berdasarkan pantauan KPAI masih banyak mispersepsi yang bisa berbahaya jika dibiarkan. "Sosialisasi secara masif, minimal satu tahun harusnya. Jadi, batasan 30 hari itu karena sekarang sedang PJJ, kan jadi gak kelihatan. Jadi, menurut saya disosialisasikan dulu, baru nanti kalau sudah disamakan persepsinya, baru kita berikan batas waktu," kata Retno.

KPAI mencatat, peristiwa intoleransi mulai terlihat pada 2014. Laporan yang diterima KPAI pada 2014 yakni larangan menggunakan jilbab, walaupun tidak secara harfiah dikatakan 'jilbab' di SMAN 2 Denpasar. Retno menambahkan, ada pula sekolah lain di Bali yang melarang siswa-siswinya untuk menggunakan penutup kepala, yang juga termasuk jilbab. Pada tahun yang sama, di SMP 1 Singaraja Bali secara terang-terangan melarang penggunaan jilbab. 

Selain itu, di SMPN 3 Genteng Banyuwangi juga terdapat peraturan yang mengandung intoleransi. "Sekolah mewajibkan siswa untuk menggunakan jilbab, meski non-Muslim. Aturan ini sudah dicabut oleh Bupati Banyuwangi pada saat itu," kata Retno.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menilai, terbitnya SKB Tiga Menteri soal seragam bukan hanya karena persoalan yang ada di Padang. Beka mengatakan, masih banyak kejadian intoleran yang terjadi di lingkungan pendidikan yang akhirnya membuat SKB tiga menteri ini diterbitkan. 

"Ini bukan persoalan Padang saja. Ini bukan persoalan Padang. Ini persoalan yang ada hampir merata di Indonesia. Saya meyakini itu puncak gunung es. Masih banyak sekali fenomena yang sama yang harus segera diselesaikan," kata Beka, Senin.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat