Ali Taufiqurrahman Khendar menemukan hidayah saat dirinya merenungi konsep ketuhanan dalam ajaran Islam, yang ternyata selaras dengan pemahaman budaya Cina. | DOK IST

Oase

Ali Taufiqurrahman Khendar Bertauhid Sepenuh Hati

Ali Khendar memeluk Islam setelah berdiskusi tentang konsep Tuhan dalam budaya Cina.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

Hidayah kadang kala datang ketika seseorang merenung tentang kebenaran dan Tuhan. Hal itulah yang dialami Ali Khendar. Lelaki berusia 49 tahun ini akrab dengan budaya Tionghoa.

Ayahnya merupakan pendatang dari Negeri Tiongkok. Adapun ibunya adalah warga negara Indonesia (WNI) yang masih berdarah Cina. Keluarga ini telah lama menetap di Tanah Air.

Sejak kecil, Ali dibesarkan dalam lingkungan yang kental budaya Cina. Meskipun tidak tergolong religius, kedua orang tuanya selalu mengajak seluruh anggota keluarga untuk ke wihara tiap hari raya. Bapaknya pun sering menasihati agar menjadi orang yang baik, apa pun kelak profesinya. Dan, jadikan iman sebagai pedoman hidup sebab itulah sumber kedamaian.

Adapun perkenalannya dengan Islam dimulai secara tidak sengaja. Ali mengingat, waktu itu dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Keluarganya merekrut beberapa asisten rumah tangga (ART). Salah seorang di antaranya beragama Islam, yakni Budi—bukan nama sebenarnya.

Budi termasuk ART yang pergi-pulang alias tidak menetap di rumah keluarga Ali. Sebab, keahliannya hanya diperlukan ketika ada peralatan rumah tangga yang rusak. Selebihnya, lelaki Muslim ini bekerja serabutan.

Kedua orang tuanya Ali senang dengan hasil pekerjaan Budi. Karena itu, hubungan keluarganya dengan pria tersebut berlangsung cukup awet. Hingga Ali beranjak remaja, mereka hanya mengandalkan Budi untuk membetulkan barang-barang yang perlu diperbaiki.

Sebagai seorang Muslim, Budi cukup taat menjalankan ibadah harian. Ketika azan berkumandang, misalnya, ia akan meninggalkan sejenak pekerjaannya untuk memenuhi panggilan shalat. Tidak jarang dirinya melaksanakan shalat di sebuah ruangan yang tak terpakai dalam rumah keluarga Ali.

Beberapa kali Ali melihat gerakan-gerakan shalat yang dipraktikkan ART-nya itu. Ibadah tersebut menimbulkan kesan mendalam pada dirinya, yang saat itu masih beragama non-Islam.

 
Gerakan shalat menimbulkan kesan mendalam pada dirinya, yang saat itu masih beragama non-Islam.
 
 

Budi cukup jarang menjumpai orang-orang Islam seperti Budi. Di SMA, nyaris seluruh guru dan kawan-kawannya adalah non-Muslim. Karena itu, dirinya pun lama-lama tertarik untuk mengenal agama Islam.

Sebagai remaja, rasa ingin tahunya sedang memuncak. Untuk mempelajari agama ini lebih intens, Ali tidak hanya mengandalkan buku-buku atau artikel-artikel yang diperoleh dari perpustakaan dan internet.

Ia juga mendengarkan langsung penuturan dari pemeluk agama itu sendiri, khususnya tentang bagaimana ajaran Islam menjelaskan konsep Tuhan, manusia, dan alam semesta. Karenanya, Ali pun senang berdiskusi dengan Budi, terutama setiap pekerjaannya tuntas diselesaikan.

Ada satu hal yang menurutnya menarik, yakni konsep tauhid dalam keyakinan Islam. Sejak kecil, Ali fasih berbahasa Cina. Apalagi, di rumahnya seluruh anggota keluarga memang memakai bahasa tersebut untuk komunikasi sehari-hari.

Pada suatu hari, perbincangannya dengan Budi mengungkapkan sebuah fakta yang mencerahkan. Ternyata, Islam memandang bahwa Tuhan itu satu. Pandangan ini sejalan dengan “pola pikir” bangsa Cina, yang tecermin melalui bahasa.

“Dalam aksara Cina, kata Tuhan terdiri atas dua huruf. Yang pertama berarti 'esa’, sedangkan (huruf) yang kedua artinya 'besar'. Jadi, seharusnya orang Cina tidak akan menyekutukan Tuhan dengan suatu apa pun. Mestinya, justru mengesakan Tuhan, memuji Tuhan sebagai Yang Mahabesar, (seperti dalam ungkapan –Red) 'Allahu Akbar',” tutur Ali kepada Republika beberapa waktu lalu.

Hingga lulus SMA, Ali terus mempelajari Islam secara mandiri. Meskipun belum mengucapkan dua kalimat syahadat, ia saat itu mulai mempraktikkan beberapa amalan dalam Islam, seperti berpuasa.

Ya, selama bulan suci Ramadhan remaja yang duduk di kelas XI itu beberapa kali mengamalkan puasa, yakni tidak makan dan minum sama sekali sejak pagi hingga petang. Itu dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Kawan-kawannya di kelas toh mengetahui bahwa Ali sedang berpuasa meskipun tidak tuntas hingga sebulan lamanya.

 
Waktu itu, bulan Ramadhan, beberapa teman SMA tahu saya sedang berpuasa. Mereka lalu menyindir saya.
 
 

“Waktu itu, bulan Ramadhan, beberapa teman SMA tahu saya sedang berpuasa. Mereka lalu menyindir saya. Katanya, saya jadi korban kebohongan Laksamana Cheng Ho,” ujarnya mengenang.

Maksudnya, lanjut Ali, teman-temannya itu meyakini bahwa Cheng Ho bukanlah seorang Muslim. Ketika mengunjungi Jawa abad ke-15, laksamana Tingkok itu dipandang hanya berpura-pura puasa untuk “membohongi” penduduk pulau tersebut. Apalagi, waktu itu tak sedikit masyarakat Jawa yang masih memeluk Hindu. Dalam kepercayaan agama ini, ada laku yang dinamakan puasa geni.

Menghadapi sindiran dan anggapan kawan-kawannya itu, Ali tidak ambil pusing. Perdebatan sejarah tidak menarik perhatiannya. Sebab, puasa yang dijalaninya adalah salah satu cara untuk lebih merasakan bagaimana menjadi seorang Muslim. Waktu itu, ia tidak hanya berpuasa pada selang beberapa hari, tetapi juga menghindari makanan dan minuman yang diharamkan Islam.

Pernah suatu hari, dia pulang ke rumah dan mencium aroma masakan dari arah dapur. Panci yang ada di atas meja pun dibukanya. Isinya adalah sajian daging babi kecap. Ali secara spontan menutup panci itu dan menjauh. Padahal, dulu ketika masih kecil makanan tersebut bisa disantapnya dengan lahap. Namun, saat itu dia menolak memakan daging babi meskipun belum resmi memeluk Islam.

 
Saya membuka panci itu dan melihat isinya. Begitu tahu (daging babi), rasanya langsung ingin muntah.
 
 

“Saya membuka panci itu dan melihat isinya. Begitu tahu (daging babi), rasanya langsung ingin muntah. Sejak saat itu, tidak pernah lagi suka dengan daging babi,” katanya.

Ali meneruskan studi pendidikan tinggi di sebuah universitas. Mungkin karena menjadi perantauan, dirinya lebih bebas dalam menjalani rutinitas yang dipilihnya. Sejak menjadi mahasiswa, ia pun lebih sering mempraktikkan tata cara ibadah Islam. Walaupun saat itu belum resmi menjadi mualaf, lelaki ini masih memupuk keberanian dalam dadanya agar sewaktu-waktu siap memeluk Islam.

photo
ILUSTRASI Ali Khendar, seorang mualaf, kini aktif dalam komunitas dakwah, terutama yang menyasar Muslimin berdarah Tionghoa. - (DOK REP/Iman Firmansyah)

Menjadi Muslim

Saat itu, Ali tetap menjaga silaturahim dengan Budi. Keduanya pun sering berkomunikasi untuk bertukar pikiran tentang agama. Selama berstatus mahasiswa, ia masih galau untuk menentukan sikap, apakah tetap pada agama lamanya atau memeluk Islam.

Barulah setelah dirinya lulus kuliah, kehidupannya terasa lebih mapan. Penghasilan dapat diperolehnya sendiri, tanpa harus selalu mengandalkan kiriman dari orang tua.

Tepat pada 26 September 1996, Ali mengucapkan dua kalimat syahadat di sebuah masjid. Turut menyaksikan prosesi ini ialah seorang imam yang menjadi pembimbingnya dan sejumlah jamaah. Perasaan haru dan bahagia menyelimuti hatinya sesudah resmi menjadi Muslim. Kabar keislamannya lalu disampaikan kepada Budi, yang kemudian mengucapkan syukur ke hadirat Illahi.

 
Perasaan haru dan bahagia menyelimuti hatinya sesudah resmi menjadi Muslim.
 
 

Ia memilih nama baru, yakni Ali Taufiqurrahman. Nama depannya seturut dengan sosok Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang utama dan termasuk salah satu dari khulafaur rasyidin. Adapun nama belakangnya, Khendar, tetap dipertahankan.

Sebagai mualaf, dirinya kemudian meminta Budi untuk membimbingnya agar lancar beribadah harian. Permintaan itu lantas disanggupi. Selama sebulan, mantan ART-nya itu mengajarkannya berbagai tata cara ibadah, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, sedekah, dan lain-lain.

Atas sarannya pula, Ali pun mengikuti pengajian yang diadakan seorang ustaz di masjid. Dengan bimbingan ustaz tersebut, ia mulai lancar membaca Alquran.

Setelah bersyahadat, Ali memberitahukan kepada keluarganya bahwa dirinya kini Muslim. Berbagai respons diterimanya. Namun, yang paling keras menentang pilihannya saat itu adalah ayah dan abangnya sendiri.

 
Yang paling keras menentang pilihannya saat itu adalah ayah dan abangnya sendiri.
 
 

“Tetapi, mereka akhirnya pelan-pelan menerima keputusan saya untuk memeluk Islam. Sekarang, hubungannya sudah seperti biasa. Memang, ada beberapa kebiasaan yang tidak bisa lagi saya ikuti karena sekarang saya (memeluk) Islam,” ujarnya.

Kejadian kurang mengenakkan sempat dialaminya saat menjelang pernikahan. Mayoritas anggota keluarga besarnya tidak setuju akan keputusannya menikah dengan seorang Muslimah. Bahkan, tak ada satu pun dari mereka yang menghadiri acara akad dan resepsi pernikahan Ali.

Meskipun demikian, ia bersyukur karena keluarga dari pihak istri menerima dirinya dengan tangan terbuka. Padahal, waktu itu Ali baru beberapa bulan memeluk Islam. Ia pun telah meyakinkan mereka bahwa keislamannya bukan lantaran akan menikah, tetapi memang sudah melalui proses yang panjang sejak dirinya berusia anak-anak.

Saat ini, Ali masih terus mempelajari qiraah Alquran, terutama tajwid. Ia pun aktif dalam dewan takmir masjid di sekitar rumahnya yang berlokasi di bilangan Sunter, Jakarta Utara. Malahan, sudah beberapa kali dirinya diminta mengisi acara bertema mualaf atau Islam di kalangan keturunan Tionghoa.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat