IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Putra Sulung Sultan Oman Ketiban Pulung

Masyarakat pun bisa bernapas lega, alih generasi penguasa Oman berjalan lancar tanpa ada pergolakan.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Ternyata ada alasan penting Sultan Oman Haitham bin Tariq Al Said tidak menghadiri KTT ke-41 para pemimpin negara-negara Teluk, dua pekan lalu. Di KTT di Al Ula, Arab Saudi, itu ia diwakili Wakil Perdana Menteri Kesultanan Oman Fahd bin Mahmud Al Said.

Padahal, agenda KTT kali ini sangat penting: menormalisasi keanggotaan Qatar di Dewan Kerja Sama Teluk. Selama lebih tiga setengah tahun, Qatar dikucilkan oleh Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir.

Dalam perseteruan empat negara Arab dengan Qatar itu, Oman bersikap netral, tidak ikutan. Mereka tetap berhubungan baik dengan Qatar. Mereka juga ogah ikut berperang melawan kelompok Khouti di Yaman yang dipimpin Arab Saudi dan UEA.

Mereka juga menolak keras memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, yang menjadi salah satu tuntutan negara pengucil kepada Qatar. Namun, bukan karena itu Sultan Oman absen di KTT Teluk.

Alasan penting itu adalah Sang Sultan sedang fokus menggarap amendemen ‘Hukum Dasar Negara’ (an Nizom al Asasi li ad Daulah). Dan di antara yang diamendemen terkait dengan suksesi kekuasaan di Oman. Suksesi kekuasaan yang lebih bisa menjamin stabilitas sosial-politik, keamanan, dan stabilitas ekonomi.   

 
Dalam perseteruan empat negara Arab dengan Qatar itu, Oman bersikap netral, tidak ikutan. 
 
 

Ketika Sultan Qaboos bin Said bin Taimur Al Said meninggal dunia setahun lalu, dalam usia 79 tahun, dan telah berkuasa selama 50 tahun, ia tidak pernah mengangkat seorang putra mahkota yang akan menggantikannya kelak. Dari dua istrinya, ia juga tidak mempunyai keturunan, laki-laki maupun perempuan.

Ia hanya mempunyai saudara perempuan bernama Omaima binti Said. Namun, dalam tradisi Arab, ia tidak mungkin menyerahkan kekuasaan kepada saudara perempuan berikut keturunannya.

Yang terjadi kemudian, para warga Oman — dan juga masyarakat internasional — pun menunggu dengan berdebar: siapa pengganti Sultan Qaboos? Apakah penggantinya nanti sekaliber almarhum?

Konstitusi Oman menyatakan, dalam waktu tiga hari sejak kekosongan posisi sultan, Dewan Keluarga Kesultanan yang akan menentukan siapa penerus takhta. Jika tidak tercapai kesepakatan, Dewan Keluarga akan membuka sebuah surat yang ditulis sultan, yang menyebutkan nama penggantinya. Surat itu tersegel. Tak seorang pun tahu isinya, termasuk anggota keluarga terdekat dengan almarhum sekalipun. 

Dewan Keluarga Kesultanan ternyata tidak membutuhkan waktu hingga tiga hari. Sehari setelah kematian Sultan Qaboos, mereka sepakat membuka saja surat wasiat yang ditulis almarhum. Sebelum jenazah Sultan Qaboos dimakamkan, surat dibuka, disaksikan seluruh anggota Dewan Keluarga Kesultanan dan Dewan Pertahanan Negara. Yang terakhir ini beranggotakan kepala lembaga-lembaga keamanan dan pertahanan negara.

 
Masyarakat pun bisa bernapas lega, alih generasi penguasa Oman telah berjalan lancar tanpa ada pergolakan.
 
 

Ternyata Sultan Qaboos, dalam surat wasiatnya, menunjuk Haitham bin Tariq sebagai penggantinya. Penunjukan ini tentu didasarkan pada keyakinan yang bersangkutan sangat memahami visi-misi almarhum dalam membangun Oman. Penunjukan yang didasarkan pada Konstitusi Negara Oman Pasal 6 ini pun disetujui semua pihak. Masyarakat pun bisa bernapas lega, alih generasi penguasa Oman telah berjalan lancar tanpa ada pergolakan.

Haitham bin Tariq merupakan sepupu Sultan Qaboos. Ia putra ketiga dari pamannya, Tariq bin Taimur Al Said. Dua putra lainnya adalah Assad bin Tariq dan Shihab bin Tariq. Assad saat itu adalah wakil perdana menteri untuk hubungan kerja sama internasional dan perwakilan khusus Sultan Qaboos dan Shihab merupakan pensiunan komandan angkatan laut. Sedangkan Haitham menjabat sebagai menteri warisan budaya nasional dan ketua komite ‘Visi Oman 2040’.

Genap setahun jadi sultan, Haitham bin Tariq pun ingin mengamendemen sistem dan mekanisme suksesi kepemimpinan, yang lebih bisa menjamin kestabilan politik, sosial, keamanan, dan ekonomi negaranya. Dekrit perubahan dalam apa yang disebut ‘Hukum Dasar Negara’ ini dirilis Kesultanan Oman pada Senin (11 Januari 2021) lalu, mencakup, dan ini yang paling penting, ‘suksesi kekuasaan berlangsung dari sultan kepada putra sulungnya’. 

Ini berarti putra sulung Sultan Haitham bin Tariq, yaitu Dhi Yazan bin Haitham, 30 tahun — kini menjabat menteri kebudayaan, olahraga, dan pemuda —, secara otomatis menjadi putra mahkota yang pertama dalam sejarah Kesultanan Oman. Ia pula yang akan menggantikan ayahnya sebagai Sultan Oman. 

Ketika Sultan Qaboos masih berkuasa dan ayahnya belum menjadi sultan, tentu tidak terbayangkan oleh Dhi Yazan, suatu saat ia akan menjadi putra mahkota, apalagi menjadi Sultan Oman. Karena itu, beberapa pihak menyebut Dhi Yazan seperti ketiban pulung. Mendapatkan ‘nasib baik’ yang ia sendiri tidak pernah perkirakan. Terpikir pun mungkin tidak. 

 
Di negara-negara Teluk lain pun mirip, tidak jelas garis suksesinya, entah ke saudara atau ke putranya, entah dengan mengangangkat putra mahkota ataupun tidak.
 
 

Pasal 5, ‘Hukum Dasar Negara’ yang baru itu juga menyebutkan, ‘sistem kekuasaan adalah kesultanan dan turun temurun di antara laki-laki keturunan Sultan Turki bin Said (Al Said) bin Sultan’. Lebih terperinci, pasal yang sama menyebutkan, ‘suksesi kekuasaan berlangsung dari sultan kepada putra sulungnya, kemudian kepada putra sulung dari anak tersebut, dan begitu seterusnya dari generasi ke generasi’.

Masih menurut Pasal 5, ‘apabila putra sulung meninggal sebelum bertahta, maka kekuasaan (negara) akan (tetap) diberikan kepada putra sulungnya, meskipun almarhum memiliki saudara laki-laki. Dalam hal almarhum tidak mempunya anak laki-laki, kekuasaan akan dialihkan kepada saudara laki-laki yang tertua’. Pada pasal lain disebutkan, ‘apabila sultan berhalangan sementara menjalankan kekuasaan negara, maka putra mahkota akan menggantikannya’.

Dengan konstitusi negara yang baru itu, maka Oman merupakan satu-satunya negara yang paling jelas garis suksesi kekuasaannya di antara negara-negara Teluk, meskipun semuanya menganut sistem nonarki. Bahkan hingga rinci serinci-rincinya, sehingga tidak ada celah untuk pro dan kontra tentang siapa yang harus bertahta di Oman. Sementara di lima negara Teluk yang lain — Saudi, UEA, Bahrain, Kuwait, dan Qatar — tidak jelas garis suksesinya, terutama bagi orang luar.

Di Saudi, misalnya, suksesi kekuasaan selama ini berlangsung dari pendiri kerajaan, Raja Abdulaziz bin Abdulrahman, ke putra sulungnya Saud bin Abdulaziz. Dari Saud lalu ke saudara-saudaranya yang lain tapi tidak berdasarkan urut kacang.

Putra mahkota di Saudi pun tidak ada jaminan akan menjadi raja. Misalnya yang dialami Pangeran Muqrin bin Abdulaziz dan Muhammad bin Nayef. Muqrin adalah saudara Raja Salman, sedangkan Muhammad merupakan keponakannya. Keduanya diberhentikan di tengah jalan sebagai putra mahkota. Sedangkan putra mahkota sekarang, Muhammad bin Salman, adalah putra Raja Salman, namun bukan putra sulung.

 
Maka, berbahagialah rakyat Oman yang negaranya mempunyai garis suksesi yang jelas dan transparan. 
 
 

Di Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad bin Khalifa al Tsani hingga kini tidak menunjuk putra mahkota. Sang Emir Qatar sendiri merupakan putra keempat dari Sheikh Hamad bin Khalifa al Tsani, yang mengundurkan diri dan ia gantikannya.

Di negara-negara Teluk lain pun mirip, tidak jelas garis suksesinya, entah ke saudara atau ke putranya, entah dengan mengangangkat putra mahkota ataupun tidak. Semuanya tergantung kepada raja, sultan atau emir yang sedang berkuasa, dibantu keluarga inti, dengan nama yang berbeda-beda. Di Oman bernama Dewan Keluarga Kesultanan. 

Maka, berbahagialah rakyat Oman yang negaranya mempunyai garis suksesi yang jelas dan transparan. Barbahagialah Dhi Yazan bin Haitham yang tiba-tiba menjadi putra mahkota berdasarkan konstitusi baru Oman. Berbahagialah putra sulung Dhi Yazan bin Haitham yang kelak akan menjadi putra mahkota dan kemudian Sultan Oman. Sayangnya, sang putra mahkota hingga usia 30 sekarang ini masih jomblo. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat