Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Kita Itu Bangsa Pembuat Tempe

Tradisi bangsa Indonesia bukan tradisi 'tempe'.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Tradisi bangsa Indonesia bukan tradisi 'tempe'. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok,teriak Sukarno saat menyampaikan amanat pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1963.

Apa sebenarnya yang dimaksud tradisi tempe? Lembek? Entahlah.Yang jelas, pada masa lalu proses pembuatan tempe dilakukan dengan cara merebus kedelai terlebih dulu, lalu diinjak-injak untuk membuang kulitnya. Setelah itu diberi ragi pengembang dan baru menjadi tempe yang lezat.

Itukah tradisi tempe? Baru bangkit setelah diinjak-injak? Atau diam saja ketika diinjak-injak? Pada masa lalu, bangsa Indonesia memang bangkit setelah diinjak-injak penjajah. Sekarang pedagang tempe protes dengan cara mogok berproduksi karena terinjak-injak oleh harga kedelai.

Pada November 1964, Presiden Sukarno menerima kunjungan Presiden Mali Modibo Keita. Di hadapan Keita, Sukarno sempat menjelaskan soal tempe. Direktur Program TVRI Beranti Ismail yang menjadi penerjemah berbisik kepada Sukarno ketika bingung menerjemahkan tempe ke dalam bahasa Inggris.

"Ya sudah bilang saja tempe, tidak usah diterjemahkan, nanti juga ia mengerti," kata Sukarno dalam bahasa Belanda seperti diceritakan Eddi Elison di buku Ketawa Bareng Bung Besar.

 
Ya sudah bilang saja tempe, tidak usah diterjemahkan, nanti juga ia mengerti.
SUKARNO
 

Seusai acara, Presiden Mali menyatakan kepada Beranti pernah membaca pidato Sukarno dalam bahasa Inggris: "Bangsa Indonesia bukan bangsa tempe". Beranti pun menjelaskan proses produksi tempe dengan terlebih dulu menginjak-injak bahan tempe, kedelai. Sukarno pun berjanji pada jamuan makan malam akan menyajikan berbagai menu tempe kepada tamunya itu.

"Biar dia kecanduan. Nah, kalau sudah kecanduan, kita bisa ekspor tempe ke negaranya. Dan kamu tak usah jadi wartawan TV lagi, tetapi eksportir wanita pertama yang mengekspor tempe," kata Sukarno kepada Beranti.

 
Biar dia kecanduan. Nah, kalau sudah kecanduan, kita bisa ekspor tempe ke negaranya. Dan kamu tak usah jadi wartawan TV lagi.
SUKARNO
 

Sukarno memang menyukai tempe. Menu makan di Istana selalu ada tempe, yang oleh koran Belanda ketika mengulas makanan favorit Sukarno pada 1965, disebut sebagai sojabonen koekjes (biskuit kedelai). Di Maleis Woordenboek (1939) susunan van Ronkel, tempe dirujuk ke timpe, berasal dari bahasa Jawa, yang diterjemahkan sebagai koekjes van gebakken (biskuit panggang), gegiste boontjes (kacang fermentasi).

Di Jawa, kedelai difermentasi menjadi tempe sudah sejak lama. Serat Centhini telah mencatat tempe. Buku Joy of Cooking yang terbit perdana pada 1931 juga mencatat tempe sebagai makanan asli Indonesia.

Kedelai ditengarai berasal dari Cina dan atau Jepang sehingga disebut juga sebagai kacang cina atau kacang jepun. Menurut PJ Veth, tanaman ini tampaknya berasal dari Jepang dengan dua jenis, jenis musim panas dan musim gugur. Namun, jenis yang terakhir gagal dikembangkan di Eropa sehingga dibawa ke Asia yang bercuaca tropis baik.

Di Jawa kadang-kadang disebut kacang jepun, yaitu kacang Jepang, tetapi biasanya kadele atau kedele. "Orang Jawa menggunakannya untuk mengolah, selain untuk saus, juga tempe yang jika dibentuk menjadi biskuit pipih dan dipanggang atau digoreng, merupakan makanan penutup yang sangat populer dengan nasi," tulis Veth ketika membahas kedelai pada Februari 1889.

Di Jepang, kata Veth, saus dibedakan dua jenis. Yang dicampur jelai atau yang dicampur gandum. Yang dengan gandum dianggap lebih enak. Di Jawa, saus kedelai dikenal sebagai kecap.

Untuk pembuatan tempe, diperlukan ragi. Ragi dibuat secara tradisional dengan cara membungkus kedelai setengah matang hingga mengeluarkan jamur putih dengan daun waru atau jati kering. Dua daun yang ada lapisan bulunya menutup kedelai itu. Jamur putih itu kemudian diambil untuk dijadikan ragi pembuat tempe di proses berikutnya.

Buku De Voeding in Nederlandsch-Indie yang terbit di Belanda pada 1904 bercerita banyak soal proses pembuatan tempe, termasuk proses pembuatan ragi menggunakan daun waru atau jati itu. Buku ini menyebut tempe dengan istilah tempe saja.

 
Buku De Voeding in Nederlandsch-Indie yang terbit di Belanda pada 1904 bercerita banyak soal proses pembuatan tempe.
 
 

PJ Veth juga menyebutnya tempe saja, tetapi mempersoalkan penyebutan soya (kedelai) yang berasal dari nama saus Jepang (soo-joe atau sjoo-joe, saus yang enak) ditulis soja dalam bahasa Belanda.

Pada Oktober 1939, di Grobogan, Jawa Tengah, diadakan pasar malam untuk memberikan kesempatan ekonomi rakyat miskin dengan penjualan produk-produk pertanian. Asisten Wedana Grobogan Tarwin Dipoatmodjo memperkenalkan alat produksi tempe yang higienis agar pembuat tempe tak perlu lagi menginjak-injak kedelai untuk mengupas kulitnya.

Alat yang biaya pembuatannya sebesar dua gulden itu juga diklaim mempercepat proses pembuatan tempe.

Grobogan dari dulu dikenal sebagai produsen kedelai. Hingga kini dikenal sebagai pemasok 30 persen produksi kedelai Jawa Tengah. Produksi kedelai Grobogan pada 2014 tercatat ada 52.179 ton, namun lima tahun kemudian (2019) produksinya hanya 13.961 ton.

Banyak petani yang sudah malas menanam kedelai rupanya. Menurut laporan majalah Agrisep edisi September 2020, sebanyak 67 persen petani kedelai di Grobogan ternyata sudah berusia di atas 50 tahun, yang berarti 33 persennya berusia di bawah 50 tahun. Yang sudah lebih dari 15 tahun menjadi petani kedelai ada 79 persen, 21 persennya lagi kurang dari 15 tahun.

Saat peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada April 1952, Sukarno menegaskan perlunya juga memperhatikan pertanian lahan kering. Lahan ini bisa ditanami padi gogo, umbi-umbian, dan kacang-kacangan, dan peternakan agar kebutuhan kalori atau protein masyarakat Indonesia terpenuhi.

Ia mengutip data 1940, konsumsi kalori bangsa Indonesia masih 1.700 kalori per orang per hari, masih perlu ditingkatkan menjadi 2.250 kalori.

"Di zamannya Sultan Agung Hanjokrokusumo ... di Ibu Kota Mataram itu tiap-tiap hari disembelih orang 500 ternak yang besar-besar. Dan lihatlah dalam sejarah pada waktu itu kita satu bangsa yang dinamis tangkas; yang ulet, yang berani, yang gemar bekerja," kata Sukarno tegas.

"Tradisi bangsa Indonesia bukan tradisi 'tempe'," kata Sukarno di Istana Merdeka, 17 Agustus 1963.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat