Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Nama rumah ibadah yang megah itu terinspirasi dari sosok Omar Ali Saifuddien III, sultan ke-28 kerajaan tersebut | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Telusur Sejarah Kesultanan Brunei

Wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei tak hanya seluruh Kalimantan, tapi juga sebagian Filipina.

OLEH HASANUL RIZQA

Brunei Darussalam adalah salah satu negeri petrodolar yang makmur. Sejak abad ke-15, kesultanan itu menjadi mercusuar peradaban Islam di Asia Tenggara. Kini, kerajaan tersebut bersiap menuju ekonomi berkelanjutan.

Sejarah Awal Kesultanan Brunei

Brunei Darussalam merupakan sebuah negara modern yang terletak di utara Pulau Kalimantan. Sebelah utaranya berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sedangkan sisi selatan, barat, dan timurnya dengan Serawak, Malaysia. Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim itu merdeka pada 1 Januari 1984 setelah 96 tahun dijajah Britania Raya.

Hingga kini, kerajaan dengan luas yang setara Pulau Bali itu merupakan satu-satunya negara dengan bentuk pemerintahan kesultanan di Asia Tenggara. Rajanya saat ini, Sultan Hassanal Bolkiah, adalah penguasa ke-29 dari trah yang telah memerintah enam abad lamanya.

Pada masa pra-Islam, Brunei sudah menjadi salah satu kawasan pelabuhan penting di Kalimantan. Hal itu seiring dengan hidupnya arus perdagangan yang menghubungkan antara India, Indonesia, dan Cina sejak abad kedua sebelum Masehi (SM).

DS Ranjit Singh dan Jatswan S Sidhu dalam buku Historical Dictionary of Brunei Darussalam (1997) mengatakan, orang-orang Cina pada masa itu menyebut Brunei sebagai Po-ni. Para pemuka negeri Po-ni diketahui mengirimkan sejumlah utusan kepada kaisar Tiongkok untuk meminta perlindungan. Hubungan awal dengan Cina kemudian mengonsolidasikan negeri tersebut secara politik.

Tentu saja, Cina bukanlah satu-satunya imperium yang diakui Brunei. Sriwijaya, Majapahit, dan Malaka berturut-turut merupakan tiga kerajaan besar yang melebarkan kendalinya hingga ke utara Kalimantan.

 
Sriwijaya, Majapahit, dan Malaka berturut-turut merupakan tiga kerajaan besar yang melebarkan kendalinya hingga ke utara Kalimantan.
 
 

Maka dari itu, Brunei pun berupaya untuk menjaga hubungan politik dan ekonomi yang kondusif dengan mereka. Bahkan, dalam sejarahnya negeri itu pernah menjadi daerah vasal atau taklukan ketiganya.

Sejak akhir abad ke-14, Brunei berangsur-angsur menjadi salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara. Hal itu bersamaan dengan melemahnya pengaruh Majapahit. Pascakematian Patih Gadjah Mada pada 1364 dan Hayam Wuruk 1389, imperium yang menganut kepercayaan Hindu-Buddha itu semakin kehilangan dominasinya, terutama di daerah-daerah luar Pulau Jawa. Sementara itu, syiar Islam kian masif tersebar di pelbagai kawasan Nusantara.

Singh dan Sidhu menjelaskan, tonggak penyebaran Islam di Brunei berawal sejak Awang Alak Betatar menjadi seorang Muslim pada awal 1360-an. Catatan sejarah mengenai leluhur raja-raja Brunei itu tidak begitu banyak.

 
Tonggak penyebaran Islam di Brunei berawal sejak Awang Alak Betatar menjadi seorang Muslim pada awal 1360-an.
 
 

Riwayat tentangnya cenderung hanya mengandalkan tradisi lisan masyarakat Melayu. Folklor terkait silsilah kebangsawanan Brunei baru dibukukan pada 1807 dengan judul Batu Tarsilah. Di dalamnya, disebutkan bahwa raja mereka merupakan keturunan Alawiyin yang berasal dari Tarim atau Hadramaut, Yaman.

Pada 1363, Alak Betatar sesudah memeluk agama Islam menikah dengan putri raja Temasik—negeri Singapura sekarang. Sejak saat itu, namanya menjadi Muhammad Shah.

Begitu kembali ke Brunei, dirinya diangkat menjadi raja pertama di negeri tersebut. Ia mendapatkan dukungan dari saudara-saudaranya, seperti Awang Semaun dan Awang Pateh Berbai—yang akhirnya menjadi raja Brunei dengan nama Sultan Ahmad.

Menurut Singh dan Sidhu, Brunei hingga akhir masa pemerintahan Muhammad Shah masih merasakan dominasi Cina dan Majapahit. Sebuah catatan dari Tiongkok pada 1370 menyebutkan, kaisar Cina mendapatkan upeti dari seorang bangsawan bernama Mo Ha Mo Sha yang memerintah sebuah negeri di pesisir laut selatan. Negeri yang dimaksud adalah Brunei, sedangkan rajanya ialah Muhammad Shah.

 
Brunei hingga akhir masa pemerintahan Muhammad Shah masih merasakan dominasi Cina dan Majapahit.
 
 

Sang leluhur raja-raja Brunei itu wafat pada 1402. Posisinya digantikan oleh Abdul Majid Hassan. Sosok bergelar Maharaja Karna itu melanjutkan kebijakan sebelumnya dalam menjalin relasi dengan Tiongkok. Namanya tercatat dalam sebuah manuskrip Dinasti Ming sebagai Ma Na Re Jia Na, seorang penguasa negeri selatan.

Laksamana Cheng Ho diketahui menyambangi Brunei pada 1405. Satu tahun kemudian, Abdul Majid mengirimkan misi diplomatik ke Cina pada 1406. Bahkan, dua tahun berikutnya dirinya turut serta dalam rombongan resmi ke sana.

Sayangnya, dalam perjalanan raja yang masih berusia 28 tahun itu meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Nanjing, kini ibu kota Provinsi Jiangsu, Republik Rakyat Cina (RRC).

photo
Laksamana Cheng Ho - (DOK Wikipedia)

Setelah kematian Abdul Majid, Brunei dipimpin Awang Pateh. Saudara lelaki Muhammad Shah ini naik takhta dengan gelar Sultan Ahmad. Singh dan Sidhu mengatakan, pada periode pemerintahannya Brunei mulai lepas dari dominasi Majapahit.

Negeri ini terus menunjukkan karakteristik kosmopolitan yang terbuka dengan berbagai unsur asing, khususnya Cina dan Arab. Diawali dari lingkungan istana sendiri, Sultan Ahmad menikah dengan seorang perempuan berdarah Cina yang juga putri Pengiran Maharaja Lela alias Ong Sum Ping, asal Kinabatangan, Sabah.

Pasangan suami-istri itu dikaruniai seorang putra dan putri. Anak lelakinya, Nakhoda Angging, menjadi penguasa Sulu, Filipina. Adapun putrinya kelak dijodohkan dengan Syarif Ali, seorang mubaligh kelahiran Thaif, Hijaz.

Sultan Ahmad wafat pada 1425. Yang naik takhta setelahnya adalah menantunya sendiri, Syarif Ali. Seperti tampak dari namanya, ia masih keturunan Nabi Muhammad SAW, yakni melalui jalur cucu beliau, Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Kedatangan mantan pemimpin (amir) Makkah itu ke Nusantara bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam, termasuk amalan-amalan tarekat yang diikutinya. Pihak istana Brunei menerimanya dengan baik, dan bahkan menjodohkannya dengan seorang putri raja. Rakyat pun menghormatinya sebagai sosok pemuka agama yang alim.

Maka ketika Syarif Ali memegang tampuk kepemimpinan pada 1426, seluruh elemen masyarakat Brunei menyambutnya dengan hangat. Ia memerintah dengan berpegang teguh pada syariat Islam sekaligus memberikan keteladanan sebagai pemimpin yang merakyat.

Dalam periodenya, Brunei semakin berkembang pesat. Wilayah kekuasaannya mencakup nyaris seluruh Pulau Kalimantan—hanya menyisakan area pedalamannya. Karena itu, tidak mengherankan bila para pengelana Eropa yang tiba di Nusantara pada awal abad ke-16 menyebut Kalimantan sebagai Borneo, yang sebenarnya merujuk pada nama Kesultanan Brunei.

photo
Peta Nusantara pada abad prakolonialisme Eropa. Dalam peta ini, Borneo merujuk pada keseluruhan Pulau Kalimantan. Orang-orang Eropa menamakannya sesuai nama Kesultanan Brunei yang berjaya pada abad ke-15 - (DOK MAP HALBINSEL)

Bagaimanapun, nama Brunei untuk menyebut pulau tersebut “kurang” dipakai umumnya masyarakat Nusantara. Orang Jawa, misalnya, lebih mengenal pulau ini sebagai Kalimantan. Itu berasal dari kata lamanta, sebutan lokal untuk sagu mentah yang dihasilkan pohon enau. Pulau Kalimantan memang banyak ditumbuhi pepohonan tersebut.

Syarif Ali wafat pada 1432. Jenazahnya dikebumikan di dekat Kota Batu, Distrik Muara, Brunei. Penggantinya adalah anaknya sendiri, Sultan Sulaiman. Ia memimpin hingga turun takhta pada 1485, untuk memberikan kesempatan bagi putranya berkuasa.

Menurut tradisi lisan setempat, putra Syarif Ali itu hidup hingga berumur 100 tahun. Sepanjang usianya, ia terus meneguhkan syariat Islam di kerajaannya serta membangun pusat pemerintahan di Kota Baru.

Masa keemasan

Pada 1485, Sultan Bolkiah menjadi raja kelima dengan menggantikan ayahnya, Sultan Sulaiman. Singh dan Sidhu menuturkan, Brunei mencapai masa keemasannya sejak diperintah oleh raja yang bergelar Nakhoda Ragam itu. Rakyat setempat menikmati pertumbuhan ekonomi yang merata.

Syiar Islam pun semakin tersebar luas. Bahkan, Brunei menjadi salah satu mercusuar peradaban Islam di Asia Tenggara.

Ketika mengunjungi Brunei pada 1520-an, Antonio Pigafetta mencatat berbagai kemajuan yang ditemuinya. Sebelum mencapai Pulau Kalimantan, pengelana asal Venesia, Italia, itu ikut dalam ekspedisi Ferdinand Magellan yang berbendera Spanyol.

Armada mereka akhirnya terdampar di Filipina dan pada April 1521 terlibat dalam pertempuran dengan penduduk lokal. Magellan beserta sejumlah anak buahnya tewas. Beberapa awak kapalnya yang selamat, termasuk Pigafetta, kemudian meneruskan pelayaran ke arah selatan.

Pigafetta terpana menyaksikan keanggunan ibu kota Brunei saat itu, Kampong Ayer. Ia mencatat, kota tersebut dihuni sekitar 25 ribu kepala keluarga. Istananya tampak begitu megah.

Di sana-sini, terlihat berbagai ornamen yang dilapisi emas. Bahkan, peralatan makan yang dipakai kalangan bangsawan setempat juga terbuat dari logam mulia. Para prajurit tampak gagah mengawal tempat tinggal sang sultan. Begitu pula dengan kuda-kuda dan sejumlah gajah yang melengkapi acara-acara seremonial. 

Pada awal abad ke-16, wilayah kekuasaan Brunei tidak hanya mencakup seluruh Kalimantan, tetapi juga sebagian Filipina, khususnya Pulau Luzon dan Mindanao. Manila jatuh ke tangan kekuasaan Brunei sejak Sultan Bolkiah berhasil mengusir Wangsa Tondo dari sana.

 
Pada awal abad ke-16, wilayah kekuasaan Brunei tidak hanya mencakup seluruh Kalimantan, tetapi juga sebagian Filipina, khususnya Pulau Luzon dan Mindanao.
 
 

Sejak abad ke-13, daerah yang kini menjadi ibu kota Republik Filipina itu sudah dihuni komunitas Muslim. Namun, baru ketika dikendalikan Brunei wilayah tersebut berkembang pesat sebagai salah satu bandar perniagaan yang menghubungkan Nusantara dengan Tiongkok. Konon, nama Manila berasal dari ungkapan bahasa Arab, “fii amanillah” yang berarti 'di bawah perlindungan Allah SWT'.

Sejak pertengahan abad ke-16, Manila semakin mandiri dari Brunei meskipun tetap menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengannya. Pemimpin kota tersebut adalah seseorang yang dahulunya komandan untuk Brunei, Rajah Matanda.

Ia memerintah Manila bersama dengan putranya, Rajah Sulayman. Keduanya menghadapi invasi Spanyol pada 1574, tetapi berujung pada kegagalan. Peristiwa itulah yang mengawali merebaknya penyebaran agama Kristen sekaligus surutnya syiar Islam di Kepulauan Filipina.

Sultan Bolkiah wafat beberapa dekade sebelum imperialisme menggurita di Asia Tenggara. Pada 1524, kepemimpinannya diteruskan oleh putranya, Abdul Kahar, yang menjadi raja keenam Kesultanan Brunei.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat