Kemasan vaksin Covid-19 yang diperlihatkan di PT Bio Farma di Bandung, jawa Barat, Kamis (7/1). | M Agung Rajasa/ANTARA FOTO

Opini

Multidimensi Vaksinasi

Dimensi utama vaksinasi adalah masalah kesehatan.

ABDUL MU'TI, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Sudah hampir satu tahun, pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bahkan, usai libur Natal dan tahun baru, jumlah mereka yang terdampak dan wafat terus meningkat.

Persentase penyintas, mereka yang sembuh dari Covid-19, sebenarnya cukup tinggi. Namun, tetap belum sebanding dengan mereka yang terpapar. Bangsal rumah sakit pemerintah dan swasta tak mampu menampung pasien.

Pemakaman khusus jenazah Covid-19 di Jakarta sudah tidak mencukupi. Merespons keadaan tersebut, pemerintah memberlakukan PSBB lebih ketat di Pulau Jawa. Walaupun terlambat, kebijakan ini perlu dukungan semua pihak.

Pemerintah “mulai” menyadari usaha paralel penanganan Covid-19 dengan tetap membuka kegiatan ekonomi ternyata tak berhasil. Perbaikan ekonomi tak signifikan dan tak sebanding dengan biaya penanganan pasien Covid-19 dan dampaknya.

 

 
Pemerintah “mulai” menyadari, usaha paralel penanganan Covid-19 dengan tetap membuka kegiatan ekonomi ternyata tak berhasil. 
 
 

 

Untuk meningkatkan daya tahan masyarakat terhadap Covid-19, pemerintah akan melakukan vaksinasi bagi lebih dari 181 juta warga. Namun, vaksinasi tampaknya tidak akan berjalan mulus. Banyak pihak menentang dan menantang.

Multidimensi

Dimensi utama vaksinasi adalah masalah kesehatan. Tujuan utamanya, menjaga imunitas masyarakat dari kemungkinan terpapar Covid-19. Vaksinasi bukanlah obat. Dan, sesuai jumlah yang tersedia, vaksinasi hanya menjangkau sekitar 50 persen populasi Indonesia.

Karena itu, vaksinasi tidak bisa menjadi ikhtiar tunggal mencegah pandemi Covid-19. Hal ini perlu dijelaskan dengan transparan dan objektif kepada masyarakat.

Dimensi kedua, teologi. Tak sedikit kalangan Muslim menolak vaksinasi karena meragukan kehalalan vaksin. Di media sosial (medsos), beredar kabar vaksin Sinovac yang dipilih pemerintah mengandung babi. Perlu jaminan kehalalan dari MUI atau ormas Islam otoritatif.

Selain kehalalan, masih banyak kalangan Muslim menolak vaksin dan imunisasi. Ini bukan masalah sederhana dan tak bisa dipandang sebelah mata.

 
Dimensi ketiga, politik. Bukan soal halal atau haram melainkan legitimasi pemerintah. 
 
 

Pemerintah sebaiknya bersabar menggunakan vaksin sampai diterbitkannya rekomendasi BPOM dan MUI, untuk memastikan jaminan keamanan dan kehalalan. Dua hal itu pulalah yang menjadi syarat dukungan Muhammadiyah terhadap vaksinasi.

Meskipun dalam keadaan darurat, sesuatu yang hukum asalnya haram, seperti khamar, daging babi, dan zat haram lainnya diperbolehkan untuk mencegah bencana yang lebih besar. Hal ini mengikuti kaidah fikih: al-dlaruratu tubihu al-mahdlurat.

Dimensi ketiga, politik. Bukan soal halal atau haram melainkan legitimasi pemerintah. Masih ada pihak yang belum move on menerima kepemimpinan Presiden Joko Widodo karena terpilih dalam pemilu yang curang.

Residu politik Pemilihan Presiden 2019 masih cukup kuat. Masuknya Prabowo-Sandi dalam Kabinet Indonesia Maju tak mengubah kelompok ini untuk terus beroposisi. Dalam situasi demikian, Prabowo-Sandi tak boleh diam, mereka harus membantu.

Dimensi keempat, ekonomi. Nilai ekonomi vaksin sangat tinggi. Bisnis vaksin bagian dari persaingan perdagangan global. Munculnya penolakan Sinovac, tak lepas dari persaingan bisnis Cina dengan negara lainnya.

 
Menkes menyadari, kesuksesan vaksinasi tak cukup hanya mengandalkan jaringan pemerintah. 
 
 

Terakhir, dimensi komunikasi. Selama ini, sosialisasi tentang vaksin masih  kurang. Sosialisasi lewat media massa, banner, dan bentuk media "modern" lain, tak cukup berhasil. Model ini perlu dievaluasi dengan penguatan media untuk milenial  dan masyarakat tradisional.

Gerakan sosial

Dalam pertemuan dengan PP Muhammadiyah, menteri kesehatan menegaskan, vaksinasi perlu dukungan seluruh masyarakat. Menkes menyebut, vaksinasi tidak bisa dilakukan dengan pendekatan program, tetapi gerakan.

Menkes menyadari, kesuksesan vaksinasi tak cukup hanya mengandalkan jaringan pemerintah. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat, seperti Muhammadiyah dan ormas Islam pada umumnya, sangat diperlukan.

Otoritas ormas Islam terkait jaminan keamanan dan kehalalan, akan menjadi salah satu faktor utama keberhasilan. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim yang taat menjalankan ajaran agamanya.

Gerakan kedua, pendidikan masyarakat melalui berbagai media dan moda. Sinergi pemerintah dan masyarakat sebagai penggerak inti merupakan harapan baru. Tak kalah penting, dampak kesehatan bagi yang sudah divaksinasi. Vaksinasi harus zero accident

Berita medsos soal kegagalan vaksin di mancanegara memengaruhi psikologi massa. Berita medsos perlu diuji kebenarannya, apakah hoaks, disinformasi, fakta, atau fake. Alternatifnya, konter narasi yang cerdas dan mendidik.

Gerakan sosial vaksinasi sebagai usaha mencegah pandemi Covid-19 adalah keniscayaan. Diperlukan kesadaran kolektif bahwa pandemi ini tanggung jawab bersama. Vaksinasi adalah ikhtiar ilmiah, diniyah (keagamaan), dan harakah (gerakan) untuk menanggulangi pandemi.

Lima belas bulan vaksinasi, bukanlah waktu yang singkat dan kerja yang sederhana. Kuncinya, stamina mental-spiritual, soliditas sosial, dan kebersamaan.  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat