Perajin membuat tahu di Krapayak X, Margoagung, Seyegan, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (2/1/2021) | Andreas Fitri Atmoko/Antara Foto

Tajuk

Intervensi Pemerintah untuk Kedelai

Jika kebutuhan kedelai dalam negeri terpenuhi, kita tidak terlalu terpengaruh kondisi di luar negeri.

Masyarakat merasa resah beberapa hari belakangan karena tahu dan tempe hilang dari pasaran. Makanan pokok dan sumber protein itu tak bisa dinikmati karena para perajin tempe dan tahu melakukan mogok. Mereka berhenti memproduksi bahan makanan utama rakyat itu menyikapi harga kedelai yang meroket.

Biasanya, harga kedelai yang merupakan bahan baku tempe dan tahu dijual sekitar Rp 6.500 sampai Rp 7.000 per kilogram (kg). Akan tetapi, karena kenaikan harga kedelai dunia, para perajin terpaksa membeli bahan bakunya dengan harga Rp 9.200 hingga Rp 10.000. Bahkan, ada yang harus merogoh kocek hingga lebih dari Rp 10.000.

Kenaikan harga kedelai ini pun dikhawatirkan dapat mendorong para perajin gulung tikar. Sahabat Pengrajin Tempe Pekalongan (SPTP) Indonesia, misalnya, menyebut bahwa tak sedikit para perajin yang tergabung dalam organisasinya, yang gulung tikar akibat dari kenaikan harga kedelai.

 
Memang, sudah saatnya pemerintah melakukan campur tangan yang serius terkait pasokan dan harga kedelai. 
 
 

Ini yang kemudian mendorong para perajin untuk melakukan libur produksi massal selama beberapa hari. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena dianggap, tidak memberikan perhatian kepada perajin tahu dan tempe terkait kenaikan harga kedelai.

Memang, sudah saatnya pemerintah melakukan campur tangan yang serius terkait pasokan dan harga kedelai. Alasannya tak lain karena kedelai sudah menjadi bahan makanan yang sangat penting bagi masyarakat. Di sisi lain, kebutuhan kedelai selama ini sangat bergantung pada impor.

Ini merupakan kondisi yang sangat ironis. Bahan pangan pokok yang telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat sehari-hari malah harus mengandalkan pasokan impor. Padahal, Indonesia memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan bahan pangannya sendiri.      

Hal ini yang membuat intervensi pemerintah sangat dibutuhkan. Jika melihat data yang ada, pasokan kedelai lokal kita hanya sekitar 400 ribu ton per tahun. Sementara itu, berdasarkan pernyataan Kementerian Pertanian (Kementan), produksi kedelai lokal sepanjang 2020 hanya mencapai 300 ribu ton.

 
Jika dapat memenuhi kebutuhan kedelai dari dalam negeri, kita tidak akan terlalu terpengaruh oleh kondisi di luar negeri. 
 
 

Di sisi lain, Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) menyebutkan, pasokan impor kedelai Indonesia mencapai 2,6 juta ton sampai 3 juta ton per tahun. Dari data itu bisa terlihat berapa kebutuhan kita dan bagaimana impor sangat mendominasi peredaran kedelai yang ada di Tanah Air. Apakah akan selamanya kebutuhan kedelai kita mengandalkan pasokan impor?

Pemerintah memang menyatakan terus mendorong daerah-daerah sentra untuk terus menanam kedelai secara swadaya. Akan tetapi, para petani menghadapi hambatan yang berat karena harga jual panen yang rendah.

Ini yang membuat petani beralih ke komoditas lain yang lebih menjanjikan. Jika mengacu pada Permendag Nomor 7 Tahun 2020, harga acuan pembelian kedelai lokal tingkat petani sebesar Rp 8.500 per kilogram. Akan tetapi, nyatanya kebijakan harga itu tidak berjalan di lapangan.

Kini, sudah saatnya pemerintah untuk lebih serius dalam melakukan intervensi untuk pemenuhan pasokan kedelai di Tanah Air. Jika dapat memenuhi kebutuhan kedelai dari dalam negeri, kita tidak akan terlalu terpengaruh oleh kondisi di luar negeri. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat