Penari mementaskan Tari Kele pada Ringkas Budaya Jabar Rengkuh Galuh di Halaman Astana Gede, Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (20/11/2019). Ringkas Budaya Jawa Barat Rengkuh Galuh yang digelar oleh Dinas Pariwisata Pemprov Jabar merupakan platf | ADENG BUSTOMI/ANTARA FOTO

Opini

Krisis Kemanusiaan, Post Truth, dan Tradisi Sunda

Agar tak mudah termakan hoaks dan post truth, budaya Sunda mengajarkan Kudu boga pikir.

NANANG SUMANANG; Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Ti iwung nungtung ka padung (Hidup itu harus seperti bambu, dari tunas hingga tua terus bermanfaat)

Memasuki awal tahun 2021, krisis kemanusiaan masih terus berlangsung. Muslim Palestina terus kehilangan tempat tinggalnya. Tanah tempat tinggal yang sudah dihuni para leluhur mereka dicaplok zionis Israel. Muslim Rohingya tetap terpinggirkan, terisolasi, dan tidak duakui Pemerintah Myanmar. Ini belum termasuk bencana kelaparan yang semakin menghebat di empat negara terdampak konflik, yakni Kongo, Yaman, Nigeria, dan Sudan Selatan (Paparan Sekjen PBB Antonio Guterres/Republika September 2020).

Krisis ini semakin diperparah dengan perilaku manusia yang semakin melupakan hakikat dirinya sebagai makhluk yang tak lepas dari lingkungan sekitarnya. Banyak dari mereka yang lebih memikirkan diri sendiri atau kelompok kecilnya, sehingga mengabaikan mereka yang hidup dalam duka dan lara. Jadilah kelompok kaya menikmati hidup mewahnya, menumpangi kendaraan terbaiknya melewati pengemis dan kaum dhuafa di jalan raya.

Keadaan semacam ini seharusnya tidak terjadi bila setiap orang memahami hakikat dirinya. Mencari kesejatian manusia masih terus dilakukan oleh para filsusuf, ilmuwan, rohaniawan, dan budayawan. Pemaknaan apa itu manusia telah sangat lama menarik untuk diperbincangkan, juga sudah melahirkan banyak ilmu pengetahuan, pemikiran, teknologi, dan budaya.

Renaissance/aufklarung yang dianggap sebagai awal lahirnya manusia modern merupakan pemberontakan terhadap alam, tradisi agama dan mistisisme. Sejak itu Barat meyakini ilmu pengetahuan dan teknologi an sich, selain mempermudah manusia dan membuat nyaman, di sisi lain, juga melahirkan manusia yang kesepian, kesunyian, dan menderita secara kejiwaan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan hasil renaissance melahirkan budaya kapitalis yang hedonis,melahirkan keinginan bukan kebutuhan, juga dehumanisasi kebudayaan dan degradasi moral (Jujun S. Suriasumantri, 1984). “Manusia modern mereduksi intelegensia hanya sebatas rasio” ujar Syed Hussein Nasr, pemikir Islam dari George Washington University.

Revolusi Industri pertama di Inggris (1760-1840) selain melahirkan teknologi dan pengetahuan, telah mengubah dinamika sosial, budaya, ekonomi. Juga melahirkan penjajahan berupa nafsu eksploitasi sumber daya alam dan mengukuhkan strata atau kelas manusia. 

Revolusi sosial di Perancis (1789–1799) melahirkan negara-negara modern. Rakyat diberikan hak untuk menentukan nasibnya sendiri melalui demokrasi yang ditopang triumvirat demokrasi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, juga telah melahirkan kelas baru untuk memeras manusia atas manusia yang didasarkan oleh kepemilikan modal.

Revolusi tersebut pada kenyataanya, tidak menyejahterkan rakyat. Melahirkan sosiologi dan psikologi modern yang berkembang dengan sangat pesat di Amerika, terutama ketika kaum Protestan mencoba menggapai kebebasannya di benua baru Amerika. 

Dua kali perang dunia telah menjadikan kehidupan kita menjadi manusia yang telah kehilangan muka kemanusiaannya. Korban manusia bergelimpangan, rumah hancur, kehilangan anggota keluarga, cacat seumur hidup, trauma yang sulit disembuhkan dll, sesungguhnya telah mempermalukan kemanusiaan kita.

Kemudian dilanjutkan dengan perang-perang lainnya yang dibalut dengan berbagai propaganda kebohongan untuk melegalkan menguasai suatu negara, menjadi akar post truth yang sekarang berkembang. Emmanuel Levinas seorang filsuf Prancis menggambarkan dengan kata “Perang mengakibatkan moral menjadi bahan tertawaan”(P.A. Van der Weij, terj. Kees Bertens, 1988), atau menurut Nietzche sebagai “Unwertung aller Werte”, diskualifikasi nilai-nilai, yang dalam bahasa lainnya adalah krisis yang tidak ada tandingnya dan tidak berkesudahan.

Istilah posttruth yang pertama kali diperkenalkan oleh Steve Tesich dalam artikelya The Goverment of Lies tahun 1992 telah melegalkan skandal Watergate dan Perang Teluk  membuat tenang masyarakat Amerika, bukan karena fakta, tetapi karena penggiringan opini yang terus menerus, sehingga masyarakat Amerika bisa menerima ketika tentara Amerika membumi hanguskan Irak dan menjatuhkan kekuasaan Saddam Husein, opini tersebut dijalankan walaupun penuh dengan kebohongan.

Posttruth yang menyebar sebagai akibat dari berkembang teknologi informatika telah menjauhkan manusia dengan fakta dan membelah manusia menjadi “pemuja” dan “pembenci”. Fakta dan akal sehat menjadi tidak berfungsi selama kepuasan emosinya tercapai. Manusia kembali terjatuh dengan serendah-rendahnya (asfalas safiliin).

Pembangunan bangsa Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya. Adanya keserasian antara membangun fisik dengan pembangunan spiritual, intelektual, mental dan moral.Pembangunan yang hanya mementingkan fisik semata, akan mengakibatkan kegagalan membangun manusia yang bahagia dan sejahtera,yang mengerti akan kemanusiaannya.

Pendidikan yang tidak menghasilkan pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan, hanya menghasilkan baut-baut industry, tidak lebih baik dari pada pendidikan politik etis yangdilaksanakan penjajah.Pembangunan fisik semata hanyaakan mendatangkan keterasingan, kesepian dan depresi. World Health Organization mencatat tahun 2020 hampir 800 ribu jiwa bunuh diri/tahun (pusdatin Kemenkes 2020) sebagian besar karena depressi.Pandemi Covid-19 menambah daftar depresi, terutama wanita (Sambutan Hari Ibu 2020 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)

Membangun manusia dalam konteks Indonesia adalah membangun manusia berdasarkan budayanya. Sunda sebagai sebuah suku bangsa di Indonesia, walaupun ada yang mengatakan bahwa Sunda adalah sebuah agama kuno, tapi jelas telah menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan yang lahir dari dialog dialektis panjang antara manusia dengan dirinya, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya telah melahirkan pandangan hidup sendiri orang Sunda terhadap dirinya, masyarakatnya, lingkungan hidup/ alam semesta serta kepada Tuhan YME.

Sebagaimana suku-suku lain di Indonesia yang akomodatif dengan segala perubahan, yang kemudian dirumuskan dengan kearifan lokalnya, maka pengaruh Hindu, Budha, Islam dan bangsa Barat turut juga mempengaruhi perkembangan pandangan hidup orang Sunda, ”ngindung ka waktu, mibapa ka jaman”

photo
Penari mementaskan Tari Kele pada Ringkas Budaya Jabar Rengkuh Galuh di Halaman Astana Gede, Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (20/11/2019). Ringkas Budaya Jawa Barat Rengkuh Galuh yang digelar oleh Dinas Pariwisata Pemprov Jabar merupakan platform gerakan kebudayaan, dengan tujuan menguatkan nilai budaya sunda yang tercermin dalam perilaku masyarakat Jabar sekaligus melestarikan kesenian dan menarik wisatawan - (ADENG BUSTOMI/ANTARA FOTO)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sunda memiliki dua arti; Pertama, suku bangsa yang mendiami daerah Jawa Barat. Yang kedua bahasa yang dituturkan oleh suku Sunda. Tentunya definisi suatu suku bangsa tidak sesederhana yang kita dapati dalam kamus. Menurut Lucky Hendrawan (dipost oleh Ahmad Yanuana Sumantho dalam Atlantis Sunda Land, 30 Juni 2016), Sunda berasal dari tiga suku kata: Su berarti Sejati/ Abadi, Na berarti Api, dan Da berarti Besar, Luas, Agung. Menurutnya Sunda berarti “Api besar yang sejati”atau Matahari, yang berarti Sunda adalah ajaran yang menerangi seluruh umat manusia.

Pernyataan K.H. Hasan Mustofa(1852-1930), seorang Kyai yang banyak menulis renungan tentang kesundaan mengatakan bahwa Urang Sunda mah geus Islam memeh Islam aya (Supena:2012) yang berarti memang budaya Sunda sejak dahulu sudah mengandung ajaran-ajaran Islam. 

Ajip Rosidi (1938-2020) dalam tulisannya Kajian Falsafah Sunda menuliskan Pandangan hidup orang Sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda dibagi menjadi lima kelompok;

1. Pandangan hidup orang Sunda sebagai pribadi manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta.Harus berbudi bahasa dan tingkah laku yang baik (Kudu hade gogog hade tagog), mempunyai sifat berani, teguh pendirian (Henteu gedag bulu salambar), bisa mengayomi diri sendiri dan orang lain (kudu landung kandungan kedah laer aisan)sehingga akan dikenang kebaikannya oleh manusia (Hirup ulah manggih tungtung, paeh ulah manggih beja).Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik harus ada guru yang baik dan benar. 

2. Pandangan hidup tentang hubungan dengan masyarakat. Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh adalah peribahasa Sunda yang sudah terkenal. Intinya adalah saling mengasihi (kudu nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah), saling memberikan informasi/ pengetahuan dan saling menjaga, melindungi, mengarahkan dan membimbing kepada kebaikan, sehingga terhindar dari hina, dan nista di dunia dan di akherat kelak.

3. Pandangan hidup tentang hubungan dengan alam. Orang Sunda dianjurkan untuk Siger/ siniger Tengah yaitu berada dalam posisi di tengah; tidak kekurangan dan juga tidak berlebihan. Alam diyakini memberikan kebahagiaan yang maksimal kepada manusia asal dijaga kelestariannya. Alam dibagi tiga bagian;Tonggoh (dataran tinggi), Lebak (dataran sedang) dan landeuh (dataran rendah), dimana Tonggoh lahan yang diperutukan bagi selain manusia: tumbuhan, hewan, dan makhluk Allah lainnya. Sementara Lebak untuk aktifitas manusia, dan Landeuh untuk kegiatan tersier.

4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal, Nu Murbeng Alam, Nu Mahawisesa, Nu Mahakuasa, Nu Mahaasih dsb, yang semuanya mencerminkan sifat-sifat Tuhan dalam Islam.

5. Pandangan hidup tentang mengejar kemajuan dan kepuasan batin.Orang Sunda menghindari persaingan, mengutamakan kerjasama untuk kepentingan bersama (Kudu paheuyeuk-heuyeuk leungeun). Lebih menghargai musyawarah, bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan menyelesaikannya (Ulah puraga tamba kadenda) Tidak menunda pekerjaan yang belum selesai apalagi menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya. 

Agar tidak mudah termakan dan menyebar hoaks dan post truth, budaya Sunda mengajarkan Kudu boga pikir rangkepan dan Nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat