Yazdgard III menjadi kaisar terakhir Imperium Persia Sasaniyah. Kerajaan Majusi itu ditaklukkan kaum Muslimin di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Jatuhnya Persia ke Tangan Islam

Muslimin berhasil mengalahkan militer Persia yang dipimpin Kaisar Yazdgard III.

 

OLEH HASANUL RIZQA

Kemenangan Muslimin dalam Perang Nahavand pada 642 sangat berdampak bagi Imperium Persia. Kerajaan itu tidak lagi berdaya menghadapi serangan-serangan dari luar.

Apalagi, para pemimpinnya terlalu sibuk bertikai satu sama lain. Keruntuhan negeri yang pernah menjadi adidaya berbilang abad lamanya tinggal menunggu waktu saja.

Khalifah Umar bin Khattab merasa yakin, inilah saat yang tepat bagi kaum Muslimin untuk menaklukkan Persia. Kala itu, Dataran Tinggi Iran terbagi ke dalam tiga wilayah besar, yakni Azerbaijan di utara, Isfahan di tengah, dan Fars di selatan. Sang amirul mu`minin memutuskan target pertamanya adalah Isfahan. Dengan menguasai pusat Kerajaan Persia, syiar Islam diharapkan akan semakin mudah tersebar ke seluruh negeri tersebut.

Kaisar Yazdgard III mendirikan benteng pertahanan di Merv, Khurasan—kini sekitar Kota Mary, Turkmenistan. Raja Persia itu tidak sanggup menyaingi kekuatan militer Islam. Penyebab utamanya bukanlah kurangnya amunisi atau sedikitnya jumlah tentara, melainkan tiadanya persatuan yang kokoh.

 
Raja Persia itu tidak sanggup menyaingi kekuatan militer Islam. Bukan karena kalah jumlah tentara, melainkan tiadanya persatuan yang kokoh.
 
 

 

Pasukan yang ada cenderung terpecah belah. Kebanyakan jenderal Persia seperti memiliki agenda masing-masing. Kepatuhan terhadap raja selaku panglima tertinggi nyaris tidak terasa.

Umar mengangkat Khalid bin Walid sebagai pemimpin misi penaklukan Persia. Sebelumnya, sosok berjulukan “Pedang Allah yang terhunus” itu sukses memimpin berbagai ekspedisi, termasuk pembebasan Syam (Suriah) dari tangan Romawi Timur (Bizantium).

Kabar pengangkatan Khalid semakin mencemaskan Yazdgard. Namun, jenderal Muslim yang masyhur karena tidak pernah sekali pun kalah dalam 100 pertempuran itu lebih dahulu berpulang ke rahmatullah. Ibnu Walid wafat dengan tenang pada 642 di Homs, Suriah (sumber lain mengatakan: Madinah).

Abdullah bin Utsman kemudian diangkat sebagai komandan pasukan Muslim yang hendak menyerang Isfahan. Sementara itu, Nu’aim—saudara Nu’man bin Muqarrin—memimpin pasukan untuk merebut kembali Hamadan, lalu ke Rey. Setelah berhasil menguasai Rey, Nu’aim bergerak ke utara, menuju daerah pesisir selatan Laut Kaspia.

photo
Peta Imperium Persia Sasaniyah. Pada zaman Rasul SAW, kerajaan tersebut adalah salah satu negara adidaya di dunia dan menjadi rival Imperium Romawi Timur atau Bizantium. - (DOK WORDPRESS)

Dari Bahrain, al-A’la bin al-Hadrami melancarkan serangan untuk menduduki Fars. Misi yang disusun al-A’la tanpa sepengetahuan Khalifah Umar itu berakhir kegagalan. Amirul mu`minin kemudian menunjuk Sa’ad bin Abi Waqqash untuk menggantikan al-A’la. Umar juga mengutus Utbah bin Ghazwan dan pasukannya untuk membantu bala tentara yang telanjur diterjunkan al-A’la dan masih bertahan di sekitar pantai Fars.

Maka, secara garis besar Persia benar-benar terkepung dari tiga penjuru sekaligus: utara, tengah, dan selatan. Pada 651, Umar mengizinkan pasukan Muslimin untuk memulai misi merebut Khurasan, benteng terakhir Raja Yazdgard. Pasukan Islam itu dipimpin Ahnaf bin Qais.

 
Secara garis besar Persia benar-benar terkepung dari tiga penjuru sekaligus: utara, tengah, dan selatan.
 
 

Selain Merv, kota-kota penting di provinsi tersebut adalah Herat, Nishapur, dan Balkh. Ahnaf dan pasukannya memasuki Herat dari Tabasin. Kota tersebut berhasil dikuasainya tanpa perlawanan yang berarti. Target selanjutnya adalah Nishapur, yang juga dapat direbutnya dari tangan Persia.

Pasukan Muslimin semakin mendekati Merv. Yazdgard berencana melarikan diri ke Merv Ruz, sebuah kota di dekatnya. Ahnaf tentunya tidak akan membiarkan raja Persia itu kabur. Cepat-cepat ia bertolak ke Balkh.

Beberapa waktu kemudian, pasukan Muslimin tiba di Merv Ruz, dan menunggu bala bantuan dari Kufah. Setelah itu, bala tentara Islam berangkat lagi. Kali ini, tujuannya adalah Balkh untuk mengepung kekuatan terakhir sang kaisar Persia di kota dekat perbatasan Persia-Takharistan itu.

Strategi Umar

Status Yazdgard masih sebagai raja Persia, tetapi negeri seluas itu kini terasa sempit baginya. Mau ke mana ia sekarang? Bila tetap bertahan di Balkh, bala tentaranya tak akan sanggup menghadapi pasukan Muslimin. Satu-satunya jalan yang mungkin ialah kabur ke luar negeri, bersama dengan seluruh keluarga, pasukan, dan harta kekayaannya yang amat banyak itu.

Yazdgard meminta bantuan raja (khaqan) Turki—suku bangsa penghuni Asia Tengah—yang menguasai negeri Samarkand. Khaqan Turki setuju untuk membantu Yazdgard setelah melihat begitu banyak harta yang dibawanya. Mengetahui persekutuan antara Persia dan Turki, Ahnaf bersurat kepada Umar.

Setelah mencerna laporan situasi lapangan, sang khalifah lantas memerintahkan Ahnaf untuk bertahan di Merv, dan jangan menyeberangi Sungai Amu Darya sekalipun untuk mengejar musuh. “Tetaplah di posisi kalian sekarang. Jangan seberangi sungai. Jadikanlah pegunungan tetap di belakang kalian, dan sungai di hadapan sebagai parit (pemisah) antara kalian dan musuh!” begitu pesan Umar.

Aliansi khaqan Turki dan Yazdgard berhadapan dengan pasukan Muslimin. Namun, antara kedua belah pihak tidak ada yang berinisiatif menyerang terlebih dahulu. Masing-masing hanya memantau dari jauh.

photo
Peta aliran Sungai Amu Darya - (DOK Wikipedia)

Ahnaf sempat mengirimkan seorang utusan untuk menghadap pemimpin Turki. Dalam suratnya, komandan Muslim itu menegaskan, pasukannya akan terus berada di seberang sungai, tidak akan melintasi Amu Darya.

Khaqan Turki menerjunkan sejumlah mata-mata untuk menyusup hingga ke sisi lain sungai. Tiga orang mata-mata itu kemudian tertangkap. Para pengintai tersebut berusaha menyerang Ahnaf sehingga dibunuh. Khaqan Turki menyaksikan dari kemahnya sendiri. Tampak olehnya, pasukan Muslimin ternyata tidak bergerak, tetap bertahan di seberang Amu Darya meskipun terjadi insiden tersebut.

Yakinlah ia akan kebenaran surat dari Ahnaf. “Tidak ada gunanya kita berada di sini dan memerangi mereka. Mari kita kembali pulang! Biarlah Persia menghadapi masalahnya sendiri,” kata sang khaqan kepada pasukannya sendiri.

Mendengar itu, Yazdgard terkejut sekaligus bingung. Sebab, sekutunya itu kini meninggalkannya.

Dalam kondisi kalut, kaisar Persia itu memutuskan untuk mengikuti khaqan ke ibu kota Turki di daerah Mongolia. Keputusan itu sontak diprotes sebagian besar prajurit dan komandan Persia. Mereka keberatan bila harta kekayaan Persia yang begitu banyaknya dibawa lari dari negeri sendiri ke negeri asing.

“Apa yang Anda lakukan?” tanya seorang jenderal Persia.

“Saya akan menyusul Khaqan ke timur,” jawab Yazdgard.

 “Tunggu dulu! Mengapa kita harus meninggalkan negeri dan bangsa kita sendiri? Lebih baik kembali ke negeri sendiri dan berdamai dengan orang Arab (Muslimin). Kita lebih menyukai musuh yang mau mengurus kita di negeri kita sendiri daripada musuh yang mengurus kita di luar negeri kita!” kata jenderal tersebut dengan nada tinggi.

Namun, Yazdgard bergeming. Perpecahan pun menjadi konflik terbuka. Pasukan Persia yang menolak keputusan sang kaisar berhasil unggul. Sang raja dan segelintir pengikutnya yang tersisa terpaksa kabur ke luar kota. Bahkan, mereka sampai ke Fergana, ibu kota Turki di Samarkand.

photo
Jatuhnya Persia ke tangan kekuasaan Islam sudah dinubuatkan jauh-jauh hari oleh Rasulullah SAW. Setidaknya, kisah Suraqah bin Malik menjadi saksi kebenaran prediksi Nabi SAW itu. - (DOK WIKIPEDIA)

Nasib Yazdgard

Orang-orang Persia yang memberontak kepada Yazdgard lantas bertolak ke barat. Sesampainya di Khurasan, mereka meminta perdamaian dengan Muslimin, serta menyerahkan seluruh harta kekayaan raja Persia yang dibawanya kepada Ahnaf.

Sang komandan Muslim menerimanya dengan baik serta menjamin keselamatan jiwa mereka. Maka berbondong-bondong orang-orang itu kembali ke rumahnya masing-masing dengan perasaan puas.

Ahnaf menulis laporan kepada amirul mu'minin di Madinah. Tidak hanya mengabarkan kemenangan Muslimin, tetapi juga mengirimkan seperlima dari total harta rampasan perang yang diperolehnya.

Setelah membaca laporan tersebut, Umar berpidato di hadapan khalayak, “Allah telah menghancurkan raja Majusi itu dan menceraiberaikan mereka. Sekarang, tak ada sejengkal tanah pun milik mereka yang akan membahayakan Muslimin!”

Meskipun berhasil lolos dari kepungan pasukan Islam, nasib Yazdgard toh tetap berakhir nahas. Ia memang mendapatkan suaka politik dari khaqan Turki, tetapi raja Majusi ini hidup terlunta-lunta di negeri orang. Kondisinya amat jauh berbeda dengan masa lalu, ketika dirinya bergelimang harta dan kekuasaan.

 
Kepala Yazdgard lalu dibawanya ke Merv sebagai barang bukti untuk mengambil hadiah.
 
 

Yazdgard terus bertahan hidup hingga tampuk kekhalifahan beralih dari Umar ke Utsman bin Affan. Pada masa Khalifah Utsman, pemberontakan sempat terjadi di Khurasan. Yazdgard sangat gembira mendengar kabar itu. Dirinya bersiap untuk pergi ke sana. Namun, kerusuhan tersebut dapat diatasi dengan cepat oleh pemerintahan Islam.

Lama kelamaan, para pendukung Yazdgard tidak lagi mempercayainya, apalagi menghormatinya. Lelaki itu sekarang tak ubahnya seseorang yang bangkrut, dilucuti dari semua kekuasaan dan kekayaan. Para simpatisan satu per satu meninggalkannya seorang diri.

Kini, ke mana lagi dia akan berlindung? Bumi terasa sempit baginya. Sementara itu, pihak Muslimin sudah menyebarkan mata-mata dari Persia untuk membawanya ke Madinah sebagai tawanan perang.

Mengetahui informasi tersebut, Yazdgard panik. Ia bersembunyi di sebuah pabrik penggilingan di tepi sungai. Si pemilik pabrik ternyata mengetahui bahwa yang berlindung di sana adalah seorang buronan yang lama dicari-cari penguasa.

Malam harinya, ia pun diam-diam mendekati bangsawan Persia itu dan memancungnya. Kepala Yazdgard lalu dibawanya ke Merv sebagai barang bukti untuk mengambil hadiah.

photo
Pelabuhan Merv, kota tua di Asia Tengah, saat ini di wilayah Turkmenistan - (DOK Wikipedia)

Air Mata Suraqah

Ada satu fase dalam kehidupan Suraqah bin Malik yang tak mungkin dilupakannya. Dahulu, ia masih kafir sehingga berupaya membunuh Nabi Muhammad SAW. Saat itu, Rasulullah SAW dalam perjalanan hijrah bersama Abu Bakar ash-Shiddiq.

Suraqah berhasil menemukan Nabi SAW yang sedang berdiri seorang diri di padang pasir. Dalam benaknya, terbayang 100 unta betina sebagai hadiah dari pemuka Quraisy bagi siapa pun yang berhasil menangkap sang pembawa risalah Islam itu, hidup atau mati. Dengan semangat, pemuda dari Kampung Madlaji itu memacu kudanya untuk mengejar target buruan.

Namun, seperti ada tembok tak kasat mata, seketika kuda Suraqah terkapar. Ia pun terempas ke pasir gurun. Tiba-tiba, ia melihat sosok yang diburunya itu mendekat. Nabi SAW tersenyum kepadanya, lalu mengulurkan tangan, membantunya berdiri.

Suraqah terkesima. Akan tetapi, hasratnya untuk mendapatkan hadiah 100 ekor unta tak terbendung. Ia pun kembali berusaha membunuh Nabi SAW. Lagi-lagi, kudanya rebah, seperti menabrak dinding yang tak terlihat. Kejadian yang sama terjadi tiga kali berturut-turut sehingga pemuda ini mengurungkan niatnya.

“Aku berjanji tak akan mengganggu Tuan lagi,” kata Suraqah kepada Nabi SAW, “tetapi kumohon berjanjilah, bila kelak Tuan dan agama Tuan menang, sudilah kiranya memberikan kepadaku jaminan keselamatan.”

Nabi SAW lalu meminta Abu Bakar untuk menuliskan jaminan tersebut di atas sekerat tulang untuk Suraqah.

 
Wahai Suraqah, bagaimana pendapatmu bila kelak engkau mengenakan pakaian kebesaran raja Persia?
 
 

“Wahai Suraqah, bagaimana pendapatmu bila kelak engkau mengenakan pakaian kebesaran raja Persia?” tanya Nabi SAW saat memberikan tulang tersebut.

Yang ditanya terperangah. Persia adalah sebuah kerajaan besar! Bagaimana mungkin dirinya yang hanya seorang pemuda dusun bisa memakai baju raja Persia!? Suraqah hanya tersenyum, lalu pamit kepada Nabi SAW untuk kembali ke Makkah.

Bertahun-tahun kemudian, Rasulullah SAW berhasil membebaskan Makkah. Beberapa bulan berselang, beliau wafat. Adapun Suraqah diberi usia panjang oleh Allah SWT sehingga turut berperan dalam misi pembebasan Persia. 

Dalam Perang Qadisiyah—sekira enam tahun sebelum Perang Nahavand—Muslimin berhasil mengalahkan pasukan Persia. Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash membawa banyak harta rampasan perang ke Madinah. Di hadapan khalayak, Khalifah Umar bin Khattab secara tak terduga memanggil Suraqah.

Amirul mu`minin menyuruhnya untuk memakai seluruh busana raja Persia, lengkap dengan gelang, jubah, dan mahkotanya. Setelah itu, Suraqah dipandanginya dari kaki hingga ujung rambut, dan berkata, “Masya Allah, betapa gagahnya seorang anak Desa Madlaji memakai ini!”

Mendengar itu, air mata Suraqah pun pecah. Sebab, dirinya teringat lagi akan perkataan Rasulullah SAW dahulu. “Demi Allah, kekasihku (Nabi SAW) tidak pernah berbohong! Kekasihku tidak pernah berbohong!” serunya sambil menangis tersedu-sedan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat