ILUSTRASI Raja Persia Sasaniya, Kisra atau Khosrow II. Dialah yang merobek-robek surat dari Rasulullah SAW. | DOK PXHERE

Tema Utama

Daulat Islam Atas Persia

Nabi Muhammad SAW telah meramalkan akhir riwayat Imperium Persia.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Berbilang abad, Imperium Persia menjadi negara adidaya. Pada zaman khulafaur rasyidin, kekaisaran tersebut akhirnya jatuh ke tangan Islam. Itu sekaligus membenarkan doa dan nubuat Rasulullah SAW. 

Senja Kala Negeri Kisra

 

 

Orang-orang kafir dan munafik di Madinah bergembira. Pada hari itu, mereka mendengar berita tentang kedatangan serombongan utusan dari Yaman, salah satu daerah kekuasaan Persia.

Delegasi yang diutus gubernur Yaman, Badzan bin Sasan, itu dikabarkan akan menangkap Nabi Muhammad SAW dan membawa beliau ke hadapan raja Persia, Kisra atau Khosrow II.

Sebelumnya, Rasulullah SAW mengirimkan surat kepada sejumlah penguasa non-Arab, termasuk dua negeri adidaya kala itu, Romawi Timur (Bizantium) dan Persia. Dalam suratnya, beliau mengajak mereka untuk memeluk Islam. Raja Bizantium, Heraklius, menerima surat tersebut dengan penuh penghormatan meskipun enggan memeluk Islam.

Berbeda halnya dengan Khosrow II. Sang raja Persia merobek-robek surat Nabi SAW. Ia murka melihat sebuah surat yang diawali dengan perkataan bismillah, “dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Pengasih”.

 
Sang raja Persia merobek-robek surat Nabi SAW. Ia murka melihat sebuah surat yang diawali dengan perkataan bismillah.
 
 

Menurut Khosrow, segala puja dan puji seharusnya tertuju hanya kepadanya seorang. Tidak hanya mencaci-maki Nabi SAW, ia pun memerintahkan gubernurnya di Yaman untuk membawa beliau kepadanya.

Setelah kata-kata serta perbuatan Khosrow itu disampaikan, Nabi SAW berdoa, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya.” Beberapa pekan kemudian, para utusan yang dikirim Badzan dari Yaman tiba di Madinah.

Salah seorang dari mereka berkata kepada Rasulullah SAW, “Jayalah sang raja dari para raja, Khosrow II! Badzan telah diperintahkan agar membawa Anda untuk menghadap Raja Khosrow. Jika Anda bersedia, Khosrow akan memenuhi segala permintaan Anda. Jika Anda menolak, dia akan membinasakan Anda dan kaum Anda semua!”

Rasulullah SAW mengamati penampilan para delegasi tersebut. Janggut mereka dicukur habis, sedangkan kumisnya dibiarkan tumbuh memanjang. Nabi SAW merasa kurang suka dengan gaya mereka. “Maukah kalian mengenal apa itu Islam?” tanya beliau.

Mereka menyimak penjelasan, tetapi masih bersikeras bahwa Khosrow adalah tuhan. Beliau lantas bersabda, “Bagaimana pendapat kalian bila ternyata Tuhanku telah membunuh tuhan kalian tadi malam?”

“Dari mana Anda tahu?”

“Tuhanku telah mengabarkannya kepadaku semalam,” jawab Nabi SAW tegas.

Rasulullah SAW lalu menyuruh para utusan itu agar kembali ke Yaman. Bila informasi kematian Khosrow itu salah, mereka bisa datang lagi ke Madinah untuk menangkapnya. Namun, jika benar raja Persia tersebut telah tewas pada malam itu, Nabi SAW mengimbau sebaiknya mereka dan seluruh masyarakat Yaman merenung, betapa meruginya menyembah kepada selain Allah SWT.

Mereka setuju dan meninggalkan Madinah. Begitu tiba di Yaman, para utusan tersebut menceritakan pertemuannya dengan Rasulullah SAW, termasuk apa itu Islam dan nubuat tentang kematian Khosrow. Badzan bersumpah bila perkataan Nabi SAW benar, dirinya akan memeluk Islam.

Padahal, waktu tempuh antara ibu kota Yaman, Sana’a, dan Madinah pada masa itu sekitar dua pekan. Adapun perjalanan normal antara Sana’a dan ibu kota Persia ditempuh rata-rata satu bulan. Jadi, alangkah luar biasanya bila seseorang di Madinah terlebih dahulu mendapatkan kabar penting dari Persia daripada orang-orang Yaman.

Satu setengah bulan kemudian, datanglah surat dari Persia ke Sana’a. Isinya mengabarkan kematian Khosrow, tepat pada waktu yang telah diramalkan sebelumnya oleh Rasulullah SAW. Setelah menerima kabar tersebut, Badzan mengumumkan dirinya beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW. Seluruh penduduk Yaman pun mengikutinya, mengucapkan dua kalimat syahadat.

photo
Ilustrasi mengenai penangkapan Khosrow II - (DOK Wikipedia)

Dentang kematian

Khosrow II merupakan raja ke-24 dari Dinasti Sasaniyah. Wangsa tersebut telah memerintah Kekaisaran Persia sejak awal abad ketiga Masehi. Kematiannya pada 28 Februari 628 menjadi petanda ajal bagi kerajaannya pula.

Situasi Persia sejak medio abad keenam memang diwarnai banyak prahara. Perebutan kekuasaan terjadi begitu banalnya di lingkungan elite setempat. Carl Sifakis dalam Encyclopedia of Assassinations (2013) menjelaskan, ayah Khosrow II, Hormizd II, mati dibunuh jenderalnya sendiri, Bahram. Dalam menjalankan aksinya, Bahram dibantu dua saudara ipar Hormizd, yakni Bostam dan Bindoe.

Maka, Khosrow menaruh dendam kesumat terhadap mereka. Di tengah pengasingannya, ia pun bekerja sama dengan raja Bizantium. Padahal, kerajaan yang berpusat di Konstantinopel itu adalah rival abadi Imperium Persia. Begitulah, nasionalisme dikesampingkan demi memenuhi ambisi politik pribadi.

photo
Ilustrasi pertempuran pasukan Bahram Chobin dan kaisar Persia, Khosrow II. - (DOK Wikipedia)

Target pertama adalah pamannya sendiri, Bindoe. Padahal, Bindoe-lah yang dahulu telah menyelamatkan nyawanya agar tidak dieksekusi mati Bahram. Bahram sendiri berhasil melarikan diri ke Turkistan sehingga lolos dari serangan Khosrow dan pendukungnya.

Setelah berhasil menduduki takhta, Khosrow mengkhianati janjinya untuk menyerahkan wilayah Armenia kepada Bizantium. Bahkan, putra Hormizd II itu mengumumkan perang terhadap Konstantinopel.

Berturut-turut, pasukannya mencaplok banyak daerah Bizantium, seperti Dara, Amida, Hierapolis, Edessa, Halab (Aleppo), dan Damaskus. Pada 614, kaisar Persia itu menyerbu Yerusalem dan membantai 90 ribu orang Nasrani setempat.

Namun, kejayaannya tidak bertahan lama. Sejak Heraklius memimpin Bizantium, Persia berkali-kali mengalami kekalahan perang. Para jenderal Persia bersama dengan sejumlah petinggi istana lantas menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Akhirnya, Khosrow berhasil dikudeta.

photo
Lukisan mengenai pertempuran prajurit Khosrow II melawan Raja Heraklius - (DOK Wikipedia)

Selama di tahanan, bekas raja Persia itu hanya diberi minuman air kotor dan roti kering. Dari balik penjara, dia dipaksa untuk menyaksikan eksekusi mati atas 18 anak kesayangannya. Nahasnya, dia pun kemudian dipancung algojo atas perintah putranya sendiri, Sheroye, yang berpihak pada kaum pemberontak.

Surat dari Sheroye itulah yang sampai ke tangan gubernur Yaman, Badzan bin Sasan. “Saya membunuh Khosrow atas nama rakyat Persia. Jika suratku ini sampai padamu, tetaplah taat sebagaimana ketaatanmu pada raja-raja sebelumku,” demikian bunyinya.

Alih-alih berkhidmat kepada raja Persia yang baru, Badzan dan seluruh penduduk Yaman berbaiat kepada Rasulullah SAW.

Hanya perlu 23 tahun sejak tewasnya Khosrow II untuk menyaksikan hancur leburnya Kekaisaran Persia. Dalam tempo dua dekade itu, kerajaan yang menganut agama Majusi tersebut mengalami belasan kali pergantian kepemimpinan. Empat dinasti yang berbeda saling berebut takhta sehingga semakin memperlemah sendi-sendi pertahanan negeri itu.

photo
Peta Imperium Persia Sasaniyah. Pada zaman Rasul SAW, kerajaan tersebut adalah salah satu negara adidaya di dunia dan menjadi rival Imperium Romawi Timur atau Bizantium. - (DOK WORDPRESS)

Kemenangan Islam

Dalam keadaan rapuh demikian, Persia sesungguhnya sangat rentan dihabisi Bizantium. Akan tetapi, bukan kerajaan Nasrani itu yang menyudahi riwayat Persia. Justru Islam-lah yang mampu merebut kedaulatan negeri di Dataran Tinggi Iran itu pada abad ketujuh.

Sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632, kaum Muslimin dipimpin Abu Bakar ash-Shiddiq. Selama masa pemerintahannya, sang khalifah berhasil mengukuhkan persatuan umat Islam di seluruh Jazirah Arab. Sahabat yang juga mertua Rasulullah SAW itu memulai ekspedisi militer untuk melawan kekuatan Persia di sekitar Sungai Eufrat dan Tigris pada 633.

Satu tahun kemudian, ayahanda sang ummul mu`minin Aisyah itu berpulang ke rahmatullah. Kepemimpinannya dilanjutkan Umar bin Khattab. Sosok bergelar al-Faruq itu pun meneruskan kebijakan Abu Bakar untuk menghalau Persia. Bagaimanapun, strategi yang diterapkannya cenderung defensif, yakni semata-mata mempertahankan wilayah Mesopotamia atau Irak.

Waktu itu, pasukan Islam yang dipimpin Sa’ad bin Abi Waqqash bertugas mengamankan Irak. Panglima Persia, Hormuzan, sudah menyingkir bersama pasukannya ke timur. Umar ingin agar Sa’ad tidak perlu mengejar balatentara Persia.

Akan tetapi, kebijakan sang amirul mu`minin dimaknai berbeda oleh Hormuzan, yang menyangka bahwa Muslimin takut kepadanya. Ia lalu memprovokasi letupan-letupan konflik di perbatasan Irak sehingga mengganggu ketenteraman penduduk setempat.

Gelombang pertempuran pun tak terhindarkan. Pasukan Islam berhasil mematahkan kekuatan tentara Hormuzan. Akhirnya, Persia terpaksa memohon perjanjian damai dengan Muslimin.

Sa’d membolehkan para prajurit yang sebelumnya ditawan untuk dibebaskan dengan sejumlah tebusan. Namun, Hormuzan dan sejumlah pendampingnya tetap ditahan, untuk kemudian dibawa ke Madinah.

Sesampainya di Kota Nabi, Hormuzan ternyata diperlakukan secara terhormat. Bahkan, kepadanya disediakan pakaian dari sutra bertatahkan emas dan mahkota sebelum menghadap amirul mu`minin. Sebab, memang demikianlah gaya busana para pembesar Persia umumnya, dan Muslimin pun membiarkannya mengikuti tradisi itu. Adapun Khalifah Umar berpakaian tak ubahnya rakyat biasa.

 
Hormuzan, bekas panglima Persia itu lantas menyatakan diri memeluk Islam.
 
 

Hormuzan gemetar ketakutan tatkala melihat Umar. Akan tetapi, sang khalifah kemudian membebaskannya. Bekas panglima Persia itu lantas menyatakan diri memeluk Islam. Sejak itu, ia tinggal di Madinah hingga akhir hayatnya.

Kelak, Hormuzan menjadi korban pembunuhan yang dilakukan Ubaidillah. Putra Umar bin Khattab itu gelap mata sehingga menghabisi beberapa pendatang Madinah, termasuk Hormuzan, yang ditudingnya berkomplot untuk membunuh ayahnya.

Hormuzan sudah ditawan dan bahkan menjadi Muslim. Bukannya mereda, Persia justru terus merongrong kedamaian Muslimin di perbatasan Irak. Umar kemudian merestui pembentukan ekspedisi militer di bawah pimpinan Nu’man bin Muqarrin.

Kedua belah pihak lantas bertemu di Nahavand—dekat Kota Hamadan, Iran. Perang pada tahun 642 itu dimenangkan Muslimin meskipun yang syahid cukup banyak, termasuk Nu’man sendiri.

photo
Lukisan Kastil Nahavand, salah satu benteng peninggalan Sasania yang tersisa. - (DOK Wikipedia)

Para ahli sejarah menjuluki Pertempuran Nahavand sebagai “kemenangan dari segala kemenangan”. Sebab, perang tersebut membuka jalan bagi penaklukan Islam atas seluruh Persia nantinya.

Sejak saat itu, militer para kaisar Majusi menjadi lemah sama sekali. Terlebih lagi, kebanyakan pemimpinnya terlalu sibuk berkonflik satu sama lain demi memperebutkan takhta. Maka nyatalah doa yang telah dipanjatkan Rasulullah SAW.

Dengan izin Allah, Muslimin menghancurkan Imperium Persia, sebagaimana Khosrow dahulu merobek-robek surat Nabi SAW.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat