KH Manshur Anwar merupakan salah seorang ulama termasyhur dalam sejarah syiar Islam di Jombang, Jawa Timur. | DOK Pondok Pesantren Paculgowang Jombang

Mujadid

KH Manshur Anwar, Sang Alim dari Jombang

Dalam usia belia, ia sudah merantau ke Tanah Suci. Kiai Manshur dikenal sebagai pendakwah yang alim.

OLEH MUHYIDDIN

Kabupaten Jombang terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur. Daerah tersebut akrab dengan sebutan Kota Santri. Memang, ada banyak pondok pesantren dan berbagai lembaga pendidikan Islam yang berdiri di sana.

Bahkan, sebagian di antaranya berusia lebih dari satu abad. Tak mengherankan bila julukan lainnya untuk Jombang adalah pusat kebudayaan santri di Tanah Jawa. Sebab, nyaris seluruh pendiri pesantren di Jawa pernah berguru di sana.

Beberapa pondok pesantren yang terkenal di Jombang adalah Tebuireng, Denanyar, Tambak Beras, dan Darul Ulum Rejoso. Ada pula Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi'in yang berlokasi di Paculgowang, Desa Jatirejo, Kecamatan Diwek, Jombang. Perintisnya adalah KH Alwi sekitar tahun 1880 atau 19 tahun lebih dahulu daripada Tebuireng yang didirikan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Keluarga Kiai Alwi sangat dihormati khususnya masyarakat Jombang dan sekitarnya. Anak keturunannya pun meneruskan perjuangannya dalam berdakwah, syiar Islam, dan pembinaan umat, terutama melalui Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in. Salah satu cucunya yang akhirnya menjadi seorang ulama besar adalah KH Manshur Anwar.

Ia lahir dengan nama Abdul Barr pada 20 Sya’ban 1325 H, bertepatan dengan 1907 M, di Dusun Paculgowang, Jatirejo, Diwek, Jombang. Putra keempat dari pasangan KH Anwar Alwi dan Nyai Khodijah itu sejak kecil tumbuh besar di lingkungan pesantren. Wajar bila di kemudian hari dirinya menjadi sosok pendakwah yang alim. Terlebih lagi, mentalnya sudah dididik dengan penuh disiplin dan ketekunan.

Saat usianya masih 14 tahun, Manshur mengikuti kedua orang tuanya berangkat ke Tanah Suci. Kesempatan tersebut tidak hanya dimanfaatkannya untuk menunaikan haji. Sebab, Makkah dan Madinah merupakan pusat ilmu-ilmu agama Islam.

 
Saat usianya masih 14 tahun, Manshur mengikuti kedua orang tuanya berangkat ke Tanah Suci.
 
 

Sang ayah menitipkan anaknya itu kepada KH Baidlowi, menantu KH Hasyim Asy’ari yang sedang bermukim di kota kelahiran Rasulullah SAW. Seusai musim haji, Kiai Anwar dan istrinya kembali ke Tanah Air, sedangkan putranya itu tetap tinggal di Makkah.

Di bawah asuhan dan pengawasan Kiai Baidlowi, Manshur muda pun semakin giat menuntut ilmu. Apalagi, tidak sembarang orang bisa belajar di Makkah. Ia pun merasa bertanggung jawab untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.

Beragam ilmu dipelajarinya, mulai dari ilmu Alquran, hadis, fikih, gramatika bahasa Arab, akhlak, hingga tasawuf. Melewati setahun pertama, dirinya semakin bersemangat untuk menimba ilmu dari berbagai guru yang mengajar di Masjidil Haram.

Pada akhirnya, Manshur muda berkeinginan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi ke Universitas al-Azhar. Impiannya untuk menjadi mahasiswa di Kairo, Mesir, lantas disampaikan kepada Kiai Baidlowi.

 
Pada akhirnya, Manshur muda berkeinginan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi ke Universitas al-Azhar.
 
 

Menantu Hadratussyekh itu lantas menyarankannya agar terlebih dahulu meminta restu dari kedua orang tua. Surat pun dikirimkannya ke Tanah Air. Ternyata, ayah dan ibunya ingin agar Manshur kembali ke Tanah Air dan melanjutkan pendidikannya di sana, alih-alih negeri orang.

Dari jauh, mereka juga mengikuti kabar tentang situasi Makkah. Waktu itu, kota yang menjadi kiblat kaum Muslimin sedunia ini sedang dilanda huru-hara akibat pertentangan politik antara kubu Saud dan Syarif Hussain. Perlu waktu dua tahun agar kondisi setempat pulih kembali. Meskipun tidak diizinkan kedua orang tua untuk belajar ke Kairo, Manshur tidak patah arang. Ia tetap dengan spiritnya yang kuat sebagai pencari ilmu.

Sekitar empat tahun lamanya ia tinggal di Makkah. Usai musim haji tahun itu, putra daerah Jombang ini kembali pulang. Di kampung halamannya, masyarakat setempat telah menunggunya untuk menyebarkan dan mengamalkan ilmu-ilmu agama.

Menikah

Setelah pulang ke Tanah Air, Manshur tidak langsung menjadi ustaz atau pengajar. Ia memilih untuk meneruskan pencarian ilmunya ke pelbagai pondok pesantren. Salah satunya adalah Tebuireng, yang berjarak sekitar dua kilometer arah barat Paculgowang. Pendiri sekaligus pengasuh Tebuireng kala itu, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, merupakan sahabat ayahnya.

Setelah tiga tahun belajar di Tebuireng, Manshur kemudian melanjutkan rihlah keilmuannya ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Di sana, ia memperdalam ilmu-ilmu agama selama tiga tahun. Pengalamannya selama menjadi santri Lirboyo cukup berpengaruh bagi kepribadiannya hingga dewasa.

Semangat serta ketekunannya dalam mempelajari ilmu-ilmu agama membuat teman-temannya merasa hormat dan respek. Apalagi, saat itu ia sudah bergelar haji. Cukup langka kalangan santri menyandang titel demikian.

Kendati demikian, keilmuan dan gelar haji yang disandangnya tidak menjadikannya sombong. Karena itu, tak heran jika pendiri Pesantren Lirboyo, KH Abdul Karim, merasa senang dan menaruh simpati terhadap dirinya. Ia ingin agar Manshur menjadi menantunya.

Akhirnya, keluarga Lirboyo menghubungi ayahanda Manshur, KH Anwar Alwi. Rencana perjodohan pun disampaikan. Keinginan Kiai Abdul Karim untuk menjadikan Manshur sebagai bagian dari keluarganya ternyata disambut hangat oleh pihak Paculgowang.

Setelah lamaran, Manshur saat itu masih harus belajar di Pondok Pesantren Panji, Sidoarjo. Sebenarnya, keluarga dari pihak perempuan sudah menghendaki agar akad pernikahan segera dilaksanakan. Namun, Kiai Anwar menolak tawaran itu secara halus. Sebab, dalam pandangannya Manshur belum begitu pantas untuk naik ke jenjang pelaminan.

 
Prosesi akad nikah itu berlangsung serentak dengan peresmian berdirinya masjid Pondok Pesantren Lirboyo pada 1928.
 
 

Setelah beberapa waktu kemudian, baik keluarga pihak lelaki maupun perempuan bersepakat tentang tanggal akad nikah. Akhirnya, Manshur menikah dengan seorang putri Kiai Abdul Karim yang bernama Salamah. Prosesi akad nikah antara Kiai Manshur dengan puteri gurunya itu berlangsung serentak dengan peresmian berdirinya masjid Pondok Pesantren Lirboyo pada 1928.

Sore harinya setelah akad pernikahan, datanglah KH Anwar Alwi dengan maksud meminta KH Abdul Karim agar mengizinkan Manshur untuk meneruskan proses belajarnya di Pondok Pesantren Panji. Izin diberikan. Pasangan pengantin baru itu pun harus menjalani hidup terpisah untuk sementara. Sebab, Manshur berangkat ke Sidoarjo untuk melanjutkan tugasnya menuntut ilmu-ilmu agama.

Di Pondok Pesantren Panji, ia menjadi santri selama tiga tahun. Dalam pada itu, dirinya menahan rasa rindu kepada sang istri dengan sabar. Setelah ayahandanya wafat pada 1929, ia bertepatan dengan masa akhir studinya. Setelah itu, alumnus Makkah itu baru bisa berkumpul dengan istrinya.

Mengasuh pesantren

Setelah ayahandanya wafat, Kiai Manshur merupakan sosok yang dianggap paling mumpuni di antara anak-anak Kiai Anwar untuk mengasuh Pondok Pesantren Paculgowang. Ia dikenal sebagai seorang pengajar yang sabar, tekun, dan telaten. Selain itu, disiplin pun diterapkannya tidak hanya kepada para santri, melainkan juga putra-putrinya.

Pada masa kepemimpinan Kiai Manshur, Pesantren Paculgowang menambahkan sebutan “Tarbiyatun Nasyi'in” di belakang namanya. Ia juga mulai menerapkan model pendidikan madrasah di sana. Bagaimanapun, sistem pengajaran yang telah diwariskan kakek dan ayahandanya tetap dipertahankan.

Dedikasi dan semangat Kiai Manshur untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada pengajian kitab kuning. Lebih dari itu, ia juga merintis sistem pendidikan sekolah yang terbagi menjadi beberapa kelas. Berbagai fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan pun disediakannya agar menunjang proses belajar-mengajar di sana.

Tepatnya pada tahun 1931, Kiai Manshur mulai mendirikan sekolah madrasah level diniyyah. Materi pelajarannya diambil dari kitab-kitab salaf. Kelebihan dari sistem ini, antara lain, adalah pelajaran disampaikan secara tertulis. Di samping itu, para guru akan memberikan keterangan secara mendalam agar santri-santri seluruhnya betul-betul memahami materi pelajaran.

 
Kelebihan dari sistem ini, antara lain, adalah pelajaran disampaikan secara tertulis.
 
 

Sebagai ulama, Kiai Manshur juga sibuk mengisi berbagai pengajian, baik di pondok pesantren maupun majelis-majelis umum masyarakat. Dalam kesehariannya, ia selalu rutin membaca kitab kuning. Dari sekian kitab yang dibacanya, terdapat salah satu favoritnya, yakni Tafsir Jalalain sebagai wiridan.

Ketika usianya menginjak 76 tahun, Kiai Manshur sering jatuh sakit. Kendati demikian, ia tetap setia mengajar para santrinya. Dirinya tetap membimbing mereka meskipun hal itu dilakukannya sambil berbaring lantaran sakit. Bahkan, mubaligh yang aktif di Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) itu masih sempat mendirikan madrasah level tsanawiyah dan aliyah yang dinamakannya al-Anwar.

Namun, ketika kedua sekolah tersebut hendak diresmikan pada 1983, kondisinya semakin kurang fit. Pada suatu malam, keadaannya kian kritis. Pihak keluarga lantas melarikannya ke Rumah Sakit Umum (RSU) Jombang untuk mendapatkan penanganan medis.

Kiai Manshur menjalani perawatan secara intensif di sana selama 12 hari. Pada hari ke-10, sang sesepuh Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi'in itu memanggil putera-puterinya ke ruangan. Di sana, mereka seluruhnya diberi pesan dan nasihat.

 
Pada 15 Agustus 1983, sang alim kembali ke rahmatullah.Shalat jenazah dilaksanakan selama 27 kali, saking banyaknya jamaah yang ingin mengikuti.
 
 

Jenazahnya kemudian dibawa ke rumah duka. Lautan manusia, utamanya para santri dan ustaz, menyambutnya dengan isak tangis kesedihan. Lantunan tahlil bergema. Keesokan harinya, masyarakat berduyun-duyun bertakziah ke lokasi.

Shalat jenazah dilaksanakan selama 27 kali, saking banyaknya jamaah yang ingin mengikuti ibadah tersebut. Yang bertindak menjadi imam pertama kali adalah Kiai Adlan Ali dan disusul oleh para kiai lainnya hingga Kiai Machrus Ali. Hari itu, Indonesia, khususnya masyarakat Jombang, kehilangan seorang putra terbaiknya.

photo
Foto dokumentasi lama Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi'in yang berlokasi di Paculgowang, Desa Jatirejo, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur. - (DOK Pondok Pesantren Paculgowang Jombang)

Menjadi Target Buruan Penjajah

Nama KH Manshur Anwar cukup masyhur di kalangan masyarakat Jombang, Jawa Timur. Seperti halnya kaum ulama nusantara, keturunan pendiri Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi'in itu turut berjuang mengusir penjajah. Baginya, perjuangan tersebut adalah salah satu wujud jihad di jalan Allah (fii sabilillah).

Putra keempat dari pasangan KH Anwar Alwi dan Nyai Khodijah itu menyaksikan bagaimana kolonialisme Belanda dan Jepang memecah-belah umat Islam untuk kepentingan eksploitatif masing-masing. Maka ketika kemerdekaan Republik Indonesia akhirnya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, ia mendukungnya dengan sepenuh hati. Terlebih lagi, Jombang kala itu menjadi salah satu simpul perjuangan dalam upaya-upaya mempertahankan kedaulatan negeri.

Kiai Manshur tercatat pernah bergabung dengan Laskar Hizbullah yang beroperasi di daerah Tambak Oso, Sidoarjo. Saat itu, ia masih muda atau kira-kira baru menapaki peran baru sebagai kepala keluarga. Di tengah laskar tersebut, dirinya menjadi komandan yang membawahi ratusan gerilyawan Muslim.

 
Kiai Manshur tercatat pernah bergabung dengan Laskar Hizbullah yang beroperasi di daerah Tambak Oso.
 
 

Diceritakan, pada suatu waktu Kiai Manshur bersama rekan seperjuangannya, KH Thohir, ditugaskan untuk membawa sebuah surat penting. Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mempercayakan tugas itu kepada mereka.

Setelah berdoa dan mengucapkan wirid serta zikir, berangkatlah keduanya ke lokasi tujuan. Di tengah perjalanan, sadarlah mereka sedang diikuti mata-mata serdadu Belanda.

Hari mulai senja. Malam turun dan gelap meliputi. Kiai Manshur memutuskan untuk menginap di sebuah rumah yang kosong yang ditinggal pergi pemiliknya. Saat Kiai Manshur sedang beristirahat, sebuah bom jatuh tepat di rumah tersebut. Nyaris seluruh kamar di sana porak-poranda. Alhamdulillah, berkat perlindungan Allah SWT Kiai Manshur selamat dari petaka itu.

Sesudah menguasai dirinya, ia merenung sejenak. Bibirnya tak henti mengucapkan hamdalah, bersyukur ke hadirat Allah Ta’ala. Sesudah itu, ia kembali fokus pada tugasnya: mengantarkan surat dari Kiai Hasyim ke alamat tujuan.

Ada pula cerita lainnya. Suatu ketika, Kiai Manshur memimpin pertempuran di Tambak Oso. Dalam peristiwa itu, dirinya mengalami sakit pada bagian paha. Bahkan, rahangnya pun membengkak.

 
Ia kembali fokus pada tugasnya: mengantarkan surat dari Kiai Hasyim ke alamat tujuan.
 
 

Musuhnya tidak hanya serdadu Belanda, tetapi juga nyamuk-nyamuk ganas setempat. Daerah Tambak Oso waktu itu masih berupa rawa-rawa. Karena terus bertahan di sana, ia pun diserang kawanan nyamuk penular penyakit malaria.

Usai pertempuran, kondisi Kiai Manshur ternyata tak kunjung membaik. Malaria masih menderanya. Terpaksa, dirinya pulang ke kampung halaman untuk beristirahat. Saat itulah, datang satu kompi pasukan Belanda ke Desa Jatirejo.

Sebagian mereka meringkus seorang warga dusun setempat. Si warga dipaksa untuk membocorkan lokasi persembunyian Kiai Manshur. Kendati tak mendapat yang diinginkannya, para serdadu itu terus bergerak. Sampailah mereka di halaman rumah Kiai Manshur. Seisi rumah digeledahnya tanpa ampun.

Sementara, di dalam kamar Kiai Manshur sedang terbaring sakit. Pemimpin kompi tersebut mengira bahwa lelaki yang sedang tidur di atas ranjang kamar bukanlah orang yang dicari. Akhirnya, para serdadu Belanda meninggalkan rumah tersebut. Kiai Manshur pun lolos dari upaya penangkapan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat