Naura Nadhifatul (8) mengerjakan tugas sekolah secara daring melalui kiriman video dari gurunya di warung milik orangtuanya, Kelurahan Panggung, Tegal, Jawa Tengah, Jumat (20/11). | ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Opini

Daya Tahan dalam Mendidik

Mendidik anak tidak semudah apa yang dipaparkan di buku-buku parenting.

ANGGI AFRIANSYAH, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Mendidik anak tidak semudah apa yang dipaparkan di buku-buku parenting, begitu sebut beberapa teman yang sudah merasa kewalahan mendampingi anak belajar di rumah selama beberapa bulan ini.

Ketika penulis menjadi narasumber webinar, seorang ibu asal Jawa Barat mengeluh. ‘’Lama-lama saya gering gegara daring (sakit karena belajar daring),’’ demikian pernyataan ibu tersebut. Mendidik anak memang tidak pernah mudah, apalagi pada masa pandemi.

Beda usia tentu beda strategi dalam mendampingi anak. Dari obrolan dengan para orang tua dan yang penulis alami sendiri, untuk mendampingi anak-anak di rumah diperlukan ragam cara.

Jika tidak, baik orang tua maupun anak sama-sama merasa sulit mengarungi masa pandemi yang entah kapan akan berakhir. Di luar masa pandemi, para orang tua memang dituntut memiliki kesiapan mental untuk mendampingi anak-anak di rumah.

 
Para orang tua harus mampu memainkan berbagai peran dalam mendampingi anak-anak di rumah. 
 
 

Sal Severe (2020) menulis dengan jenaka mengenai peran orang tua anak prasekolah dalam buku Bagaimana Bersikap pada Anak, Agar Anak (Prasekolah) Bersikap Baik.

Severe menyebut, menjadi orang tua anak prasekolah memerlukan berbagai kualitas pribadi dan keterampilan teknis, yang memerlukan gabungan dari kemampuan yang dimiliki seorang guru, direktur rekreasi, mediator, ahli psikologi, pembimbing rohani, koki, dokter, penghibur, dan pengusir monster.

Apa yang disebut Severe hanyalah gambaran, bahwa para orang tua harus mampu memainkan berbagai peran dalam mendampingi anak-anak di rumah. Dengan demikian, orang tua lebih memiliki keeratan dengan anak-anak di rumah.

Tentu saja, hal tersebut merupakan hal yang sangat sulit untuk diterapkan, terutama bagi orang tua kelas pekerja di perkotaan atau bagi para orang tua pekerja migran.

Paparan Daniel Goleman dalam pengantar buku Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak karya Gottman dan DeClaire (2008) dapat menjadi gambaran betapa sulitnya menjadi orang tua masa kini.

Goleman menyebutkan, kondisi ekonomi baru membuat orang tua terpaksa bekerja lebih keras daripada generasi sebelumnya, untuk memberi nafkah keluarga mereka.

Kondisi tersebut menyebabkan sebagian orang tua semakin kekurangan waktu untuk dihabiskan bersama anak-anak mereka, bila dibandingkan waktu yang dimiliki para orang tua mereka pada zaman dahulu.

Karena itu, menurut Goleman, para orang tua perlu memanfaatkan saat-saat berharga yang mereka miliki bersama anak mereka dengan sebaik mungkin.

Salah satunya dengan berperan aktif dalam melatih anak-anak mengenai keterampilan manusiawi yang paling penting, antara lain memahami dan mengatasi perasaan yang merisaukan, mengendalikan dorongan hati, dan berempati.

 
Mobilitas pekerjaan dan tuntutan hidup pada masa kini,  membuat banyak orang tua harus terpisah dengan anak-anak mereka.
 
 

Ya, dengan kata lain, melatih sisi kemanusiaan dalam diri anak. Di tengah tekanan agar anak serba menguasai aspek teknologis, tentu kembali pada penguatan aspek-aspek kemanusiaan menjadi sangat penting.

Mendampingi dan melatih anak-anak secara intensif, tentu jenis kemewahan tersendiri yang dimiliki orang tua. Sebab, tidak semua orang tua memiliki kesempatan, baik secara kuantitas maupun kualitas dalam mendampingi anak.

Mobilitas pekerjaan dan tuntutan hidup pada masa kini,  membuat banyak orang tua harus terpisah dengan anak-anak mereka. Begitu juga, dengan semakin banyaknya orang tua tunggal yang membesarkan anak.

Atau, para orang tua yang meskipun tinggal bersama dalam satu rumah, waktu berjumpa dengan anak-anak sangatlah minim sehingga urusan pendidikan dan pengajaran diberikan kepada asisten rumah tangga, guru privat, ataupun sekolah.

Sebagai contoh, dalam perkara agama misalnya, mengajar mengaji anak-anak setelah shalat Maghrib merupakan sesuatu yang sangat mewah bagi para orang tua kini. Ini disebabkan oleh sejumlah alasan yang dihadapi orang tua.

Pada masa nonpandemi, orang tua yang merupakan para pekerja di wilayah perkotaan, harus pergi setelah shalat Subuh dan baru kembali setelah shalat Isya.

Karena itu, banyak orang tua yang kemudian menyerahkan pendidikan agama ke sekolah-sekolah keagamaan plus, yang biasanya dilaksanakan sehari penuh atau full day school yang biasanya berbiaya mahal.

 
Selain itu, anak-anak juga butuh waktu bermain bersama dengan orang tuanya, terutama bagi mereka yang berusia dini. 
 
 

Lalu, apakah pada masa pandemi, orang tua, terutama yang masih bisa bekerja dari rumah, mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam mendampingi anak? Dari diskusi penulis dengan beberapa orang tua, ternyata kondisinya tidak semudah yang diharapkan.

Karena, ternyata intensitas pekerjaan dari kantor tidak pernah menurun dan di sisi lain anak-anak pun, meski muatan kurikulum sudah disederhanakan, masih memerlukan pendampingan orang tua ketika memenuhi tugas-tugas yang perlu dikerjakan.

Selain itu, anak-anak juga butuh waktu bermain bersama dengan orang tuanya, terutama bagi mereka yang berusia dini. Sedangkan bagi anak-anak yang berada di jenjang lainnya, mereka membutuhkan orang tua yang mau memahami dan mendengarkan dengan telaten, terkait problem harian yang dihadapi.

Apalagi, problem remaja masa kini, seperti soal pergaulan, isu perundungan, dan gaya hidup yang jika tidak diantisipasi dengan baik oleh orang tua, akan menjadi ledakan bom waktu yang mengganggu tumbuh kembang anak.

Di situasi pandemi, anak-anak merasa sangat jenuh karena minimnya perjumpaan dengan teman-temannya. Sering kali, anak-anak dari keluarga berkecukupan secara ekonomi, merasa sunyi di tengah keramaian dan merasa ditinggalkan para orang tuanya yang sibuk.

Atau anak-anak yang tidak pernah ditanya apa sebetulnya keinginan dan cita-citanya. Mereka, karena merasa tidak didengarkan, kemudian memilih berdiam diri dan tidak berani mengungkapkan apa yang sebetulnya diinginkan.

Di sisi lain, bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka menghadapi tantangan yang berbeda. Anak-anak ini selalu diposisikan minor oleh lingkungan sekitar, baik di masyarakat maupun di rumah.

 
Yang perlu diakomodasi pemerintah agar akses merata bagi setiap keluarga, untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas.
 
 

Mereka dianggap bermasalah, tidak cakap, dan tidak serius belajar. Sementara itu, orang tua memiliki keterbatasan dalam mendampingi mereka karena harus berfokus pada pencarian nafkah. Tentu saja, situasi ini tidak dapat digeneralisasi.

Namun, secara faktual, anak-anak dari keluarga miskin, baik dalam situasi pandemi maupun tidak, selalu terimpit. Karena itu, kebijakan negara harus berpihak pada keluarga miskin. Apalagi, banyak dari mereka yang kemudian harus mengalami pemutusan hubungan kerja di kala pandemi ini.

Meski demikian, pendidikan keluarga tetap menjadi bagian penting. Pendidikan keluarga, tentu saja sangat bersifat partikular sehingga memiliki kekhususan dan perbedaan antarkeluarga.

Yang perlu diakomodasi oleh pemerintah adalah bagaimana akses yang merata bagi setiap keluarga, untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.

Sebab, dua hal tersebut yang sangat berkontribusi bagi kemampuan anak-anak. Mendidik anak-anak memerlukan stamina dan daya tahan yang kokoh. Selain juga kerendahan hati untuk selalu belajar dan mendengarkan anak-anak. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat