Sejumlah santri memasuki bus saat penyerahan bantuan bus sekolah bagi pesantren di Kompleks Setda Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (10/12). Kementerian Perhubungan menyerahkan bantuan empat buah bus sekolah kepada sejumlah pesantren di wilayah Temanggung, M | ANIS EFIZUDIN/ANTARA FOTO

Kabar Utama

Tangani Klaster Pondok Pesantren

Upaya terpadu dinilai mendesak guna menyetop klaster Covid-19 di pesantren.

SALATIGA -- Klaster penularan Covid-19 di berbagai pondok pesantren (ponpes) masih terus bermunculan. Pemerintah dinilai perlu memberi perhatian dan respons luar biasa atas fenomena tersebut. 

Salah satu klaster terbaru muncul di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Dari sebanyak 190 kasus yang tercatat akhir pekan lalu, menurut Dinas Kesehatan Kota Salatiga, pasien 897 hingga 987 tertular di pesantren. 

“Artinya, ada 90 kasus baru dari penularan di lingkungan pondok pesantren di Kota Salatiga,” kata Kepala Dinkes Kota Salatiga, Siti Zuraida, Ahad (13/12). Sebagian besar penularan itu terjadi di ponpes di Kecamatan Sidorejo.

Wali Kota Salatiga, Yuliyanto, menuturkan angka yang lebih banyak. Menurutnya. pada 5 dan 7 Desember lalu telah dilakukan tes usap massal yang  menyasar santri dan ustaz dengan jumlah total mencapai 219 orang. Hasilnya, sebanyak 183 orang di antaranya terkonfirmasi positif Covid-19.

photo
Data Covid-19 di Pesantren - (FSGI)

Atas perkembangan tersebut, pengelola pondok telah melakukan langkah-langkah seperti melakukan ‘lockdown’ total. “Artinya tidak ada satu pun penghuni maupun orang dari luar yang bisa keluar masuk lingkungan pondok tersebut,” kata dia.

Kecamatan Cibereum di Tasikmalaya, Jawa Barat, juga sempat menjadi episentrum penularan di pesantren. Kasus ini bermula dari 48 santri yang ditemukan positif beberapa waktu lalu.

“Terakhir ada lagi 49 yang positif. Jadi, total semuanya 287 santri," kata Kepala Puskesmas Kersanegara, Kecamatan Cibeureum, M Ginanjar kepada  Republika, Ahad (13/12). Dari sekitar 287 santri yang terkonfirmasi positif, sebanyak 237 santri di antaranya telah dinyatakan sehat setelah melewati isolasi mandiri.

Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Cianjur, Jawa Barat juga mencatat temuan kasus positif Covid-19 di pondok pesantren. Dari tujuh yang terkonfirmasi positif pekan lalu, hingga kemarin jumlahnya telah mencapai 21 santriwati. Kejadian belakangan itu menggenapi fenomena yang sedianya sudah mulai dikhawatirkan sejak akhir pekan lalu.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang melakukan pemantauan sejak September mencatat saat ini ada setidaknya 1.449 santri tertular Covid-19. Jumlah itu tersebar di enam provinsi dan 18 kabupaten/kota. Di antara penularan terbanyak terjadi di Banyuwangi (Jawa Timur), Banyumas (Jawa Tengah), Kabupaten dan Kota Tasikmalaya (Jawa Barat), Cilacap (Jawa Tengah), Polewali Mandar (Sulawesi Barat), dan Bantul (DI Yogyakarta).

"Kalau infrastruktur dan protokol kesehatan atau prosedur standar operasional adaptasi kebiasaan baru (AKB) tidak memadai dan rendahnya kedisiplinan untuk patuh pada protokol kesehatan, potensi penularan Covid-19 menjadi tinggi,” ujar Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo.

Ia mengatakan, penularan tersebut terjadi karena aktivitas para santri di pondok pesantren cenderung bersama-sama dan dalam waktu sangat lama. FSGI mendorong Kementerian Agama memastikan dengan sungguh-sungguh infrastruktur adaptasi kebiasaan baru (AKB) di pondok pesantren.

Kemenag juga perlu memastikan protokol kesehatan mulai dari siswa bangun tidur, beraktivitas ibadah, belajar, makan, mandi, hingga tidur kembali.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Asosiasi Pesantren NU atau Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU KH Abdul Ghaffar Rozin mengungkapkan, sampai Selasa (8/12) tercatat sudah ada 207 kiai dan nyai yang wafat, diduga kuat akibat Covid-19. Menurut dia, wafatnya pada para guru di pesantren tersebut menjadi kehilangan yang sangat besar sekaligus ancaman serius bagi kalangan pesantren dan bangsa Indonesia. 

RMI PBNU melihat negara belum hadir secara optimal. Di antara indikatornya adalah tidak optimalnya koordinasi antardinas atau kementerian terkait penanganan Covid-19 di pesantren. Menurut dia, komunikasi publik selama ini juga tidak berpihak kepada pesantren, khususnya jika ada klaster pesantren. Bahkan, di beberapa daerah, pesantren sulit mengakses tes usap atau PCR.

 
Mengingat pesantren adalah aset penting bangsa Indonesia, RMI PBNU meminta negara untuk hadir secara lebih serius dengan pola penanganan terpadu.
GUS ROZIN
 

"Mengingat pesantren adalah aset penting bangsa Indonesia, RMI PBNU meminta negara untuk hadir secara lebih serius dengan pola penanganan terpadu," kata Gus Rozin, sapaan akrabnya, dalam keterangan yang diterima Republika

Gus Rozin berharap, Kementerian Kesehatan dapat menjadi lokomotif dengan menggandeng Kementerian Agama, pemerintah daerah setempat, dan ulama.  "Secara teknis, penanganan terpadu dapat diwujudkan dalam bentuk pembentukan tim task force untuk penanganan Covid-19 di pesantren mulai tingkat pusat sampai kabupaten/kota," kata dia. 

Dia menuturkan, pendekatan terpadu ini harus diawali sejak proses pencegahan dengan edukasi protokol kesehatan sampai penanganan jika ada kasus paparan Covid 19 di pesantren. Selanjutnya, pesantren juga membutuhkan akses ke dokter dan fasilitas kesehatan, kepastian tes swab dan PCR, serta dukungan ruangan isolasi atau karantina yang layak. 

Menurut dia, arus informasi publik terkait pemberitaan klaster pesantren juga perlu dikelola dengan baik dan berpihak pada pesantren sehingga pesantren tidak terpuruk selama dan pascapandemi akibat stigmatisasi Covid-19.

"Semua ikhtiar ini layak dan penting kita kerjakan bersama-sama demi memastikan masa depan pendidikan akhlak dan karakter bangsa," katanya.

Hoaks Ikut Berperan

Ketua Satkor Covid-19 RMI PBNU KH Ulun Nuha menilai, penyebaran Covid-19 di pesantren turut dipicu penanganan yang tak optimal, sektoral, dan kurang terpadu. Ia mencontohkan, program tes usap massal untuk pesantren tidak diawali dengan edukasi serta komunikasinya kurang optimal.

Akibatnya, di beberapa daerah banyak terjadi penolakan program tes swab oleh pesantren. "Ini terjadi karena tidak diawali dengan edukasi, apalagi situasinya di luar banyak hoaks terkait dengan Covid-19. Ada yang mengatakan bahwa pesantren akan di-Covid-kan, beredar video yang mengatakan seperti zaman PKI dan lain sebagainya," kata dia.

Kiai Ulun mengatakan, padahal simpel sekali kalau program tes swab ini dikomunikasikan dengan baik bersama ulama, lembaga keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah. Maka hasilnya akan sangat berbeda karena diawali dengan edukasi. "Apalagi, ulama yang berbicara. (Pesantren) bukannya menolak, pasti orang akan antre minta di-swab," ujarnya.

Dia juga menyayangkan komunikasi yang tidak berpihak pada pesantren. Ketika ada santri yang positif Covid-19, terkadang diumumkan kepala daerah di media sosial.

Bahkan, ada yang berkomentar dengan nada miring bahwa pesantren ini sebagai sarang penyakit dan menyebarkan virus. "Ini akan menimbulkan stigma yang efeknya bisa jangka panjang ke pesantren dan sangat tidak menguntungkan," kata Kiai Ulun.

Dia melanjutkan, Kementerian Kesehatan sebagai leading sector terkait kesehatan harus bertindak. "Jadi gerakan penyelamatan pesantren dari pandemi Covid-19 ini harus diawali dari optimalisasi informasi, edukasi, dan komunikasi karena keterbatasan pengetahuan pesantren ditambah dengan hoaks yang beredar," ujarnya.

 
Jadi gerakan penyelamatan pesantren dari pandemi Covid-19 ini harus diawali dari optimalisasi informasi, edukasi, dan komunikasi.
KIAI ULUN
 

Satkor Covid-19 RMI PBNU mencatat sampai Selasa lalu, ada 110 pesantren yang terpapar Covid-19. Akan tetapi, jumlah 110 pesantren itu dari awal masa pandemi Covid-19, jadi sebagian besar di antara mereka sudah berlalu.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, Waryono Abdul Ghafur juga mengungkapkan, pihaknya telah melakukan berbagai upaya meminimalisasi penyebaran Covid-19 di pesantren. Namun, ia mengakui ada sejumlah kendala yang dihadapi pesantren dalam pembelajaran daring.  

"Tidak semua pesantren berlokasi di perkotaan. Keterbatasan jaringan dan kuota internet ditambah santri berasal dari berbagai daerah yang tentu tidak sama dengan lingkungan sekolah biasa," kata Waryono melalui pesan tertulis kepada Republika, Sabtu (12/12).

Menurut dia, tantangan terbesar di pesantren adalah menjaga jarak fisik. Sebab, kamar santri selama ini dihuni beberapa orang. "Kemenag telah memberikan bantuan melalui BOP untuk penanganan Covid-19. Dana bantuan ini digunakan untuk menyediakan wastafel dan hand sanitizer. Pesantren juga terus berbenah untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19," kata dia.

Ia mengakui bahwa kasus positif Covid-19 masih terjadi di pesantren. Namun, tingkat kesembuhan di sana juga terus meningkat. "Kami mendapat informasi dari Kementerian Kesehatan, 90 persen lebih pesantren memiliki gugus tugas. Pesantren taat mengikuti protokol kesehatan yang berlaku dan mengutamakan keselamatan kiai, ustaz, dan santri," kata Waryono.

 
Kasus positif Covid-19 masih terjadi di pesantren. Namun, tingkat kesembuhan di sana juga terus meningkat.
 
 

Gugus Tugas Covid-19 Kemenag juga telah memberikan bantuan penanggulangan di sebagian pesantren yang terdapat kasus terkonfirmasi positif Covid-19. "Saya mengimbau seluruh pengasuh pesantren dan pimpinan lembaga pendidikan keagamaan Islam agar lebih ketat lagi dalam melaksanakan protokol kesehatan," ujarnya.

Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf mendesak Kemenag meninjau ulang munculnya klaster ponpes. Kemenag, katanya, harus segera turun dan melihat langsung dan memetakan sebab terjangkitnya para kiai atas Covid-19 yang mengakibatkan kematian.

"Dengan mengalokasikan bantuan khususnya bagi keluarga yang telah ditinggal wafat oleh para guru atau kiai tersebut," kata Bukhori kepada Republika, Ahad (13/12). Dia juga mengimbau agar program mitigasi benar-benar dilaksanakan di pesantren.

Jarak Jauh dan Jaga Jarak

Wakil Ketua Bidang Penguatan Tanggap Darurat dan Pemulihan Jaringan Persyarikatan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), Arif Jamali Muis mengatakan, pesantren Muhammadiyah merupakan salah satu sektor pendidikan pesantren yang paling minim mengalami kasus Covid-19. Hal itu dilandasi dengan ketatnya penerapan protokol kesehatan, juga mobilitas pesantren yang dibatasi.

photo
Petugas kesehatan melakukan tes usap kepada santri di Pondok Pesantren Darul Atsar Salamsari, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (16/10). Tes usap dilakukan bagi sedikitnya 500 santri yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia sebelum melaksanakan pembelajaran secara tatap muka sebagai wujud sinergi pihak ponpes dengan dinas kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19 - (AANTARA FOTO/Anis Efizudin)

“Pesantren Muhammadiyah, alhamdulillah minim kasus Covid-19,” kata Arif saat dihubungi Republika, Sabtu (12/12). Di tengah maraknya penyebaran kasus Covid-19 di klaster pesantren, Arif menilai bahwa pesantren Muhammadiyah terus berupaya menerapkan protokol kesehatan yang ketat. 

Tak hanya itu, Arif mengatakan, salah satu kunci penekanan penyebaran di klaster pesantren Muhammadiyah adalah tidak diwajibkannya pembelajaran tatap muka. Sedari awal pembelajaran tatap muka di pesantren dibuka, pihak pesantren Muhammadiyah selalu memfokuskan pembelajaran jarak jauh secara daring.

“Jika kami ingin melakukan pembelajaran tatap muka, itu pun selalu kami diskusikan terlebih dahulu dengan wali murid. Jika wali murid tidak berkenan, kami fokuskan pada pembelajaran jarak jauh,” ujarnya.

Dia menjelaskan, persoalan penerapan protokol kesehatan telah lumrah ditaati setiap pesantren. Namun, adanya mobilitas di kalangan pesantren, seperti tenaga staf ataupun guru-guru luar ke dalam pesantren menjadi permasalahan yang menyebabkan aktivitas penyebaran terjadi. Untuk itu, dia menyebut, pemerintah harus ambil fokus dalam menangani klaster ini.

photo
Seorang santri putri berkomunikasi dengan orang tua melalui telepon genggam di Pondok Pesantren Darussalam, Kersamanah, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (9/11). Selain menerapkan 3M, pondok pesantren tersebut juga memperketat protokol kesehatan seperti menyediakan pos paket bagi orang tua sehingga tidak dibolehkan bertemu anaknya dan menyediakan fasilitas telepon genggam untuk berkomunikasi dengan orang tua guna menghindari risiko penyebaran Covid-19 di lingkungan pesantren. - (CANDRA YANUARSYAH/ANTARA FOTO)

Wakil Ketua Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Islam (Persis) Jeje Zaenudin menuturkan, beberapa pondok pesantren di bawah naungan Persis melaksanakan pembelajaran dengan kapasitas hanya 50 persen dari biasanya. Cara yang dilakukan, di antaranya mengurangi jumlah santri yang belajar di pesantren sehingga sisanya belajar di rumah.

Cara lainnya, dengan menambah ruangan di titik lain untuk dijadikan asrama santri agar tercipta suasana yang membuat mereka bisa menerapkan jaga jarak fisik. "Ruangannya ditambah, misalnya yang tadinya hanya ada satu lokal asrama, kemudian dibuat lokal yang lain, misalnya di balkon masjid, atau yang tadinya ruangan kesiswaan itu difungsikan juga sebagai gurfah (kamar). Agar mereka bisa menjaga jarak saat berinteraksi di dalam ruangan," katanya kepada Republika, Sabtu (12/12).

Jeje juga menyampaikan, sebagian besar pondok pesantren tentu menginginkan pembelajaran tatap muka bisa normal kembali, menyusul program vaksinasi pemerintah. Sebab, pembelajaran seperti pesantren menuntut adanya komunikasi langsung antara ustaz dan santri.

"Jadi, diharapkan bila vaksinasi sudah merata dan sudah selesai semua prosedur hukumnya (kehalalan) itu secara bertahap, pembelajaran juga dibuka secara offline atau tatap muka dengan tetap menjalankan protokol kesehatan," ujarnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat